Kejaksaan Agung Hangus, Kepercayaan Publik Ikut Hangus

Oleh : Oktavia Tri Sanggala Dewi, S.S., M.Pd (Aktivis Dakwah Islam, Jambi)

Kebakaran besar terjadi di gedung Kejaksaan Agung, Jalan Hasanuddin Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada tanggal 22 Agustus 2020. Kebakaran terjadi di gedung utama Kejaksaan Agung yang berada persis di balik gerbang utama korps Adhyaksa itu. Api terlihat berkobar di sisi sebelah kanan gedung. Meski belasan mobil pemadam kebakaran mulai berdatangan, namun api terus membesar. Bahkan, api hampir melalap habis empat lantai dari enam lantai gedung utama Kejaksaan Agung itu. Api mulai merambat ke arah gedung sebelah kiri. Belum diketahui pasti asal muasal kebakaran ini. Namun, gedung yang terbakar ini merupakan kantor Jaksa Agung dan para Jaksa Agung Muda. (Kompas.com, 22/08/2020).

Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut mengusut penyebab kebakaran Kejagung. Pengusutan oleh KPK penting untuk memastikan kebakaran tersebut murni kecelakaan atau justru telah direncanakan pihak tertentu, untuk menghilangkan berkas atau barang bukti yang tersimpan di Gedung Kejaksaan Agung. (Viva.com, 24/8/2020) Bareskrim Polri juga didesak untuk menuntaskan kasus kebakaran yang melahap Kejagung, sehingga bisa meredam berbagai dugaan dan sekaligus mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintah (Sindonews.com, 26/08/2020)

Kebakaran ini menuai tanggapan dari berbagai pihak. Sebab berkaitan dengan dokumen dan arsip penting negara yang tentu sangat berperan untuk menegakkan keadilan hukum di Indonesia. Harus ada investigasi mendalam untuk mencari tahu penyebab kebakaran gedung Kejagung tersebut. Apakah saat itu ada tugas piket yang berjaga dan bisa memadamkan api serta mencegah membesarnya api atau memang gedung Kejagung tidak memiliki alat pemadam kebakaran sehingga api tidak tertangani. Logikanya, gedung sebesar Kejagung tentu memiliki perencanaan administrasi dan teknis yang mempuni yang telah dikelola oleh para insinyur bangunan. Sudah pasti segala mitigasi bencana telah dirancang sedemikian rupa. Oleh karena itu perlu adanya keterbukaan dalam memberikan keterangan terkait berkas-berkas yang terbakar. Terlebih, Kejagung saat ini tengah menangani banyak kasus besar yang menyita perhatian publik seperti Kasus Bank Bali, Kasus Djoko Tjandra, Jiwasraya, dan Kasus Jaksa Pinangki Sinar Malasari.

Meski Jaksa Agung dan Menkopolhukam telah menjelaskan berkas kasus korupsi aman, tampaknya publik terlanjur berprasangka negatif. Prasangka-prasangka negatif tersebut mengindikasikan tengah terjadi krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi. Publik seolah tak percaya dengan penjelasan pemerintah. Mengingat, rekam jejak pemerintahannya terlalu sarat dengan kepentingan oligarki. Dari insiden ini, KPK sendiri tak terlalu menonjolkan peran. Sejumlah kalangan menilai upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air mengalami kemunduran. Ironisnya, gerakan pemberantasan korupsi justru kian dilemahkan, melalui revisi UU KPK, pemerintahan Jokowi juga banyak memberikan pengampunan kepada para terpidana korupsi. Kebijakan ini menunjukkan bahwa tidak ada komitmen serius dari Pemerintah dalam memberantas korupsi. Dengan demikian cita-cita Indonesia bebas korupsi hanyalah mimpi kosong. Karena alasan itu pula, mantan penasihat KPK, Busyro Muqaddas, menyebutkan Presiden Jokowi bukanlah panutan dalam memberantas korupsi.

Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan rincian keharaman hukum seputar harta yang didapat dengan kecurangan. Khusus untuk para pejabat, Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang melarang mereka mendapatkan harta di luar gaji mereka dari negara. Itulah yang disebut sebagai kekayaan gelap menurut pandangan Islam. Islam telah mengharamkan segala bentuk suap (risywah) untuk tujuan apapun. Suap adalah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara yang batil, atau membatalkan hak orang, atau agar haknya didahulukan dari orang lain. Nabi saw. telah melaknat para pelaku suap, baik yang menerima maupun yang memberi suap. Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan penerima suap (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram. Korupsi termasuk tindakan kha’in (pengkhianatan). Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat negara dengan sewenang-wenang, baik dengan memanipulasi ataupun melakukan tekanan kepada pihak lain untuk menyerahkan sejumlah harta yang bukan haknya; apakah itu harta milik negara, milik umum, atau milik orang lain. Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram. Pada masa Rasulullah saw. pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelakunya di-tasyhir atau diumumkan kepada khalayak.

Pemberantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa diubah sesuai kepentingan. Karena itu sudah saatnya umat kembali pada syariah Islam yang datang dari Allah Maha Sempurna.
Previous Post Next Post