Karut Marut Serapan Anggaran Corona di Jawa Tengah

Oleh. Alfiyah Kharomah., STr. Battra
Praktisi Kesehatan Jawa Tengah

Tak henti-hentinya penanganan wabah corona menuai masalah di tengah kasus Covid-19 yang tak kunjung melandai. Kasus Covid-19 update terakhir hari Kamis, 6 Agusutus 2020, di Jawa Tengah berjumlah 10.563 kasus terkonfirmasi, dengan jumlah pasien yang dirawat 2.640 orang dan yang meninggal berjumlah 958 orang (https://corona.jatengprov.go.id/). Namun, Serapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di Jawa Tengah masih rendah. Serapan anggaran tersebut berkisar 30 persen atau Rp 600 miliar dari total APBD Jateng sebesar Rp1,987 triliun. Masalah Anggaran yang tak terserap menambah daftar panjang karut marut penanganan pandemi Covid-19. 

Dilansir dari media Indonesia, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo berjanji akan segera menyerap seluruh anggaran Covid-19 pada tahap ketiga pengucuran dana jaring pengaman sosial (JPS).

Dalam rangka percepatan penyerapan anggaran, Ganjar telah memerintahkan jajarannya untuk mempercepat penyerapan anggaran dalam menangani pandemi covid-19 yang bersumber dari pos belanja tak terduga. Ia mengklaim Pemprov Jateng sudah melakukan perencanaan sesuai dengan skema penanganan covid-19, termasuk anggaran untuk sejumlah kebutuhan masyarakat yang mendesak seperti jaring pengaman sosial di dinas sosial.

Lebih detail lagi, Anggota DPRD Jawa Tengah, Riyono menyebut bahwa anggaran tersebut terbagi dalam tiga pos yakni penanganan kesehatan, penanganan dampak enonomi, dan jaring pengaman sosial. Ia menyebut dari tiga pos tersebut, yang paling banyak adalah haring pengaman sosial, yakni sebanyak Rp 1,337 triliun. Anggaran sebesar itu untuk tiga dinas. Rp 16,97 miliar untuk Dinas Perhubungan Jawa Tengah, Rp 1, 94 miliar untuk Sekretariat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk logistik pemakaman, dan Dinas Sosial sebesar Rp 1,301 triliun. Tetapi baru terealisasi Rp 319 miliar.

Ia juga menyinggung pos anggaran Dinas Kesehatan Jateng dan tujuh rumah sakit pemprof hanya sebesar 426 miliar. Sedangkan untuk penanganan dampak ekonomi sebesar Rp 222 miliar. Kesimpulannya total anggaran yang baru terealisasi baru 28,13 persen. Menurutnya kinerja pemerintah daerah sangat lambat.

Lambatnya serapan anggaran tersebut membuat pertumbuhan ekonomi masyarakat Jawa Tengah hanya 2,6 persen. Padahal, Badan Pusat Statistik Provinsi Jateng mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2019 mencapai 3,68 juta jiwa. Jumlah itu naik pada Maret 2020 sebanyak 0,83 persen atau 301.500 orang. Dengan demikian, total penduduk miskin menjadi 3,98 juta jiwa. Pemerintah harus cepat dan tanggap mengatasi permasalahan tersebut. 

Gayung bersambut, tak beda dengan di daerah, di tataran pemerintah pusat Presiden Republik Indonesia kembali mengeluhkan soal realisasi penyerapan belanja anggaran pemerintah untuk penanganan virus corona atau Covid-19. Kepala Negara menyebut, penyerapan stimulus untuk penanganan Covid-19 yang telah terealisasi baru mencapai Rp 145 triliun dari total sebesar Rp 695 triliun. Artinya baru 20% anggaran penanganan Covid-19 yang sudah terpakai. 
Kepala Negara menilai kondisi ini menunjukkan bahwa aura penanganan krisis di kementerian/lembaga masih belum terbentuk. Menurutnya, kementerian/lembaga yang ada masih terjebak pada pekerjaan harian, dan tidak tahu prioritas yang harus dikerjakan. Atas dasar itu, Jokowi meminta jajarannya untuk bisa mengatasi persoalan ini secara detail. Dengan demikian, pemerintah bisa melakukan manajemen krisis dengan baik. Kerja pemerintah pun bisa lincah dan cepat dalam mengatasi berbagai masalah yang ada.

Sejak awal, secara kritis masyarakat menilai bahwa kebijakan yang diambil oleh beliau tidaklah efektif mengatasi akar masalah. Contoh jaring pengaman sosial saja,  diawal sudah menemui kendala pendataan pekerja informal yang terdampak virus Corona. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan anggaran ini masih berbentuk gelondongan karena pihaknya masih mencari data pekerja di sektor informal. “Data mengenai itu belum lengkap. Indonesia tidak seperti negara lain yang NIK-nya sudah lengkap,” ujar Sri Mulyani (1/4/2020).

Oleh sebab itu, dia menambahkan pemerintah akan mengoordinasikan data-data ini dengan data BPJS Tenaga Kerja. Jadi jelas, bakal lama realisasinya. Pendataan saja baru mau dilakukan awal April. Dan, terbukti, sampai bulan Agusutus 2020 anggaran dana yang terserap hanya mencapai 28 persen saja. 

Statement Menkeu juga menunjukkan negara sebenarnya tidak punya uang untuk memberi jaring pengaman nasional. Terbukti dengan tindakan Menkeu akan membuka rekening khusus untuk menampung donasi dunia usaha yang ingin membantu kegiatan pencegahan atau penanganan virus corona. Donasi yang terkumpul akan dikelola oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai leading sector dari gugus tugas penanganan Covid-19 secara nasional.

Masyarakat juga mengkritisi pos anggaran penanganan Covid-19 yang terserap lebih banyak pada jaringan pengaman sosial dan penanggulangan dampak ekonomi akibat covid-19.

Untuk dana kesehatan hanya pada urutan ke-5 yakni sebesar Rp 87, 55 triliun. Padahal, tenaga medis dan tenaga kesehatan adalah pejuang di garda terdepan dan terakhir saat pademi ini berlangsung. 

Sejak awal, pemerintah sudah salah mengambil kebijakan untuk mengatasi masalah pandemi. Sesungguhnya, pemerintah berlepas tangan akan nasib masyarakat. Dana negara yang semestinya dipergunakan untuk kepentingan rakyat, entah menguap di mana. Sungguh kontras dengan tanggung jawab yang dimiliki oleh Khilafah, sebagai cerminan pelaksana Islam kaffah. Islam agama yang sempurna. Tak ada satu pun perkara di dunia yang lepas dari aturan Islam. 

Sejak awal wabah, pemerintah seharusnya segera menerapkan lockdown yang sesuai syariat, agar virus terkunci hanya pada satu wilayah saja. Dengan demikian penanganan akan lebih mudah. Selain itu, juga membatasi para wisatawan/ TKA asing yang akan datang ke Indonesia.

Namun, apa yang dilakukan pemerintah justru sebaliknya. 
Islam memandang kehidupan seseorang sangat berarti. Lebih-lebih jika itu kehidupan seorang muslim. Nilai nyawa dalam Islam begitu tinggi. Nyawa bahkan dalam ranah Ushul Fiqih masuk dalam kategori “al-Dharūriyāt al-Khamsah” (lima hal primer yang wajib dipelihara). Artinya, pada asalnya, nyawa manusia tidak boleh dihilangkan begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tak peduli nyawa orang muslim maupun kafir.

Terkait hal tersebut, Allah berfirman dalam QS Al Maidah: 32,
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Terlebih posisi negara yang berkewajiban mengurusi urusan rakyatnya, tidak boleh ceroboh apalagi bermain-main dalam membuat kebijakan. Jika ia tak serius justru akan membawa bahaya besar bagi kehidupan rakyatnya. Negara tidak boleh berkompromi dengan masalah nyawa rakyatnya, apalagi lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada nyawa. Jika ekonomi ambyar bisa dibangun kembali, namun jika nyawa yang hilang, tak bisa dihidupkan.

Namun nyatanya, itulah yang terjadi pada rezim hari ini. Kapitalisme telah menjadi kaidah dalam mengatur kehidupan bernegara. Sehingga yang ada di kepala penguasa dan jajarannya hanyalah keuntungan dan kekuasaan. Jangankan sense of crisis, secuil pun tak ada belas kasihan pada umat ini.
Jika sudah nampak nyata kedzaliman dan ketidakberpihakan pemerintah dengan umat ini, bukankah sudah waktunya mereka menerapkan aturan Allah yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat kelak?

Wallahu a’lam bisshawab.
Previous Post Next Post