Karut Marut Pendidikan di Tengah Pandemi

Oleh: Mahrita Julia Hapsari, M.Pd*
*) Praktisi Pendidikan

Polemik pembelajaran jarak jauh (PJJ) seakan tak berkesudahan. Permasalahan yang muncul seakan tak pernah terselesaikan dengan tuntas. Kali ini Mendikbud mencoba mengurai benang kusutnya dengan merevisi SKB empat menteri yang ditandatangani bulan Juni 2020 lalu. 

Empat menteri tersebut adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Revisi itu diakui sebagai hasil evaluasi. Apa saja yang direvisi. mas Menteri? Pertama, memperbolehkan sekolah di zona kuning untuk tatap muka langsung. Kedua, membuat kurikulum darurat untuk yang PJJ. Ketiga, adanya modul sebagai pegangan bagi orang tua dalam mendampingi anak-anaknya belajar di rumah (kompas.com, 07/08/2020). 

Mas Menteri berharap, kendala PJJ bisa dikurangi dengan tiga kebijakan tersebut. Benarkah demikian, atau hanya mubazir, atau bahkan menambah masalah? Mari kita butiri satu persatu. 

Pertama, boleh tatap muka langsung di zona kuning. Kita semua mengetahui bagaimana karakter virus covid-19 ini. Yang entah telah bermutasi seperti apa sehingga tak lagi bisa dispesifikasikan tertular kepada siapa. Jika awal-awal wabah, informasi yang berkembang, tentang kelompok rentan tertular wabah yaitu para manula dan yang memiliki penyakit penyerta. Ternyata akhir-akhir ini tidak selalu demikian. Ada yang berusia produktif yang dia sehat-sehat saja, meninggal karena covid. 

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan data kematian anak akibat Covid-19 di tanah air hingga saat ini (20 Juli 2020). Dilansir dari tempo.co, persentase kematian anak akibat covid di Indonesia lebih tinggi dari negara-negara lain di seluruh dunia. Jelas sesuatu yang mengkhawatirkan. Apakah tetap memaksa sekolah offline dengan persentase kemarian tertinggi di dunia? Apakah hendak mempertahankan "prestasi" itu? Miris. 

Kedua, kurikulum darurat. Berdasarkan Siaran Pers Kemdikbud Nomor 211/Sipres/A6/VIII/2020, ada penyederhanaan kurikulum dari kurikulum nasional. Sekolah diberi fleksibilitas untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pelajarnya. 

Ada tiga opsi, yaitu menggunakan kurikulum nasional, kurikulum darurat, atau penyederhanaan kurikulum mandiri. Jauh sebelum Mas Menteri mengeluarkan siaran pers plus menyiapkan kurikulum darurat, para guru telah berinovasi dengan menyederhanakan kurikulum. Memilah dan memilih materi mana yang perlu diajarkan dan tidak, di tengah kondisi wabah. Jadi, takkan berdampak signifikan dalam mengurai benang kusut PJJ.

Ketiga, modul pembelajaran untuk PAUD-TK dan SD. Kurikulum tematik sejak awal telah membuat bingung para orang tua juga gurunya. Semua mata pelajaran dicampur aduk seperti gado-gado. 

Tak jelas kompetensi apa yang mau dicapai. Ada buku pegangan siswa, isinya hanya pertanyaan-pertanyaan, ini sih LKS namanya. Walhasil, siswa belajar dengan menjawab selalu searching. Adalah brainly yang selalu setia menjawab setiap pertanyaan siswa. 

Bagaimanakah bentuk modul yang diterbitkan oleh Kemdikbud? Apakah benar-benar sesuai dengan kebutuhan siswa dan kemudahan pendampingan? Jika memang sesuai, apakah selesai masalah PJJ? Saya pikir tidak, karena akar masalahnya bukan itu. 

Ada dua kelompok orang tua atau ibu yang stres mendapingi anaknya belajar di rumah. Pertama, yang tak memiliki fasilitas memadai. Satu HP untuk bersama, kuota terbatas. Jangankan untuk kuota, untuk makan sehari-hari pun susah. Si ayah di PHK, terdampak ekonomi covid. Ada ayah yang mencuri HP demi anaknya bisa belajar online. Ada anak yang harus bekerja demi membeli kuota, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Tragis. 

Kelompok kedua, orang tua yang tak sempat meng-upgrade diri. HP difungsikan hanya untuk sosmed. Ketika ada aplikasi pembelajaran, duluan bilang tak bisa sebelum mencoba memahami. Akhirnya guru yang ketumpukan omelannya. 

Jika kelompok kedua mungkin bisa dengan modul. Syaratnya, si orang tua memiliki waktu membersamai anak, tidak sibuk dengan dirinya sendiri. Dan open mind bahwa pendidikan anak juga tanggung jawabnya, bukan hanya pihak sekolah. 

Sedangkan pada kelompok pertama, negara perlu berperan dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Sehingga si ayah bisa menjalankan kewajibannya mencari nafkah. Para anggota keluarga bisa dengan mudah menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. 

Untuk itu, Mas Menteri perlu duduk bersama seluruh pejabat negeri. Karena ini bukan hanya masalah pendidikan. Namun menyangkut masalah politik dalam negeri, ekonomi, sosial, energi, pemberdayaan manusia, bahkan hukum. 

Asalkan para pejabat mampu berpikir out of the box. Berpikir secara komprehensif, tak hanya terkotak pada bidangnya masing-masing. Dan memiliki pandangan jauh ke depan, hingga ke akhirat. Bahwa jabatan yang saat ini dimiliki, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. 

Maka, menyelenggarakan pemerintahan yang sejalan dengan kemauan Sang Pencipta. Jelas akan menjamin kelangsungan hidup manusia sebenar-benar manusia. Dan mampu memberikan solusi pada seluruh permasalahan hidup manusia secara tuntas. Wallahu a'lam []
Previous Post Next Post