Kapitalis Mengamputasi Hak Pendidikan di Masa Pandemi

By : Meisy M
 (aktivis dakwah kampus)

Tragedi pandemi seketika mampu mengubah tatanan dunia terutama dalam bidang pendidikan. Saat ini, masih terjadi polemik ditengah masyarakat mengenai sistem pembelajaran di masa pandemik. Ada opsi untuk pembelajaran tatap muka di sekolah dengan menggunakan metode shift dan menerapkan aturan protokoler kesehatan. Sementara opsi lainnya, pembelajaran secara daring.

Sejak akhir Maret lalu, puluhan juta murid di Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh atau daring demi mengurangi dampak pandemi COVID-19. Namun, riset terbaru dari Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) mendapati bahwa program tersebut tak diwujudkan dengan baik di lapangan. 

Hanya, Mendikbud Nadiem mengakui penerapannya tak semulus dugaan . Pada acara peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020 yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemendikbud pekan lalu (2/5), ia mengaku “kaget” bahwa banyak siswa tak memiliki akses listrik dan sinyal internet memadai. “Ada yang bilang tidak punya sinyal televisi. Bahkan ada yang bilang tidak punya listrik. Itu bikin saya kaget luar biasa," katanya.  Menurut Nadiem, kondisi tersebut tak terbayangkan bagi dirinya yang hidup di Jakarta. Ia pun menyadari bahwa pandemi ini kian menelanjangi ketimpangan yang mengakar di Indonesia.

Sementara itu untuk memilih pembelajaran langsung di sekolah, tentu saja ada rasa khawatir. resiko penularan virus masih sangat besar. Sedangkan memilih pembelajaran daring, konsekuensi kuota membengkak, fasilitas teknologi yang kurang memadai serta proses transfer knowledge dan aspek pembelajaran lain yang tak terpenuhi karena keterbatasan dalam segala hal.

Padahal, sebagaimana dirasakan, efektifitas yang dirasakan pembelajaran jarak jauh ini bersifat sangat minim. Baik sekolah maupun orantua mengeluhkan beratnya biaya internet dan minimnya fasilitas belajar. Belum lagi soal kurikulum dan para tenaga pengajar yang tak mampu mengimbangi berbagai keterbatasan akibat pandemic. Tinggal di daerah terpencil, menjadi cerita sendiri bagi murid dan guru di masa pandemi covid-19. Mereka harus mengeluarkan daya ekstra agar bisa belajar. Seperti halnya berita seorang siswa yang bernama Dimas Ibnu Elias siswa SMP di Rembang yang tetap berangkat kesekolah karena tak punya HP. Barangkali, bagi keluarganya, beras jauh lebih dibutuhkan daripada ponsel pintar dan kuota internet," kata Kepala SMPN 1 Rembang Isti Chomawati, Kamis 23 Juli 2020.  Tak hanya itu, Kampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT menjadi salah satu wilayah yang terisolir dari berbagai akses kehidupan saat ini. Untuk menuju kampung Todang Ili Gai, harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer dengan jalan setapak yang berbukit. Sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, kehidupan masyarakat kampung Todang memang masih jauh dari semua akses baik, listrik, jalan hingga telekomunikasi.

Selama masa pandemi Corona, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tidak bisa terlaksana karena diliburkan oleh pemerintah untuk mencegah penularan virus asal Wuhan, China itu. Maka pemerintah tersebut membuat kebijakan pembelajaran melalui radio. Tetapi, kebijakan itu tidak bisa diterapkan pelajar di kampung Todang. Pasalnya, orangtua siswa mengaku tidak bisa membeli radio. Hal ini membuat aktivitas belajar mengajar di SDN Todang pun tidak berjalan karena sekolah juga tidak menyiapkan radio.

"Anak-anak tidak belajar, guru juga tidak mendampingi anak didik belajar di rumah. Kita tak punya biaya membeli radio," ungkap, Lukas Lupa, warga Dusun Todang, Desa Hokor kepada Liputan6.com. lantaran tidak mampu membeli radio maka sampai saat ini belum terlaksananya pembagian rapor siswa.

Disisi lain tak semua orang tua siap membersamai anak-anaknya belajar di rumah terutama dalam jenjang pendidikan dasar. Belum lagi para orang tua yang sibuk beraktivitas diluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Maka hal ini justru makin menurunkan efektivitas pembelajaran jarak jauh. 

Tidak meratanya pembangunan infrastruktur dalam masyarakat terutama dalam pembelajaran jarak jauh yang menuntut sarana telekomunikasi dan ketersediaan jaringan, memaksa puluhan juta pelajar kehilangan haknya. Padahal  selama ini pemerintah tengah gencar melaksanakan berbagai proyek pembangunan infrastruktur. Namun mengapa pendidikan masih sangat miskin pada saat ini?

Inilah bukti nyata dari sistem sekuler-kapitalis itu sendiri, pendidikan kerap dijadikan aset (alat) pengeruk keuntungan sehingga lahirnya kebijakan yang terikat dengan kepentingan penguasa bukan kepentingan rakyat. 

Maka masa pandemi ini menyingkap kegagalan pembangunan kapitalistik  yang jor-joran membangun infrastruktur namun tidak member daya dukung atau manfaat bagi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.

Jika ditelaah sedikit saja, akan terlihat jelas bahwa hal ini disebabkan karena penerapan sistem sekuler-kapitalis yang ketidakmampuannya dalam memadamkan konflik yang dipicu karena keengganan mengadopsi sistem dari sang pencipta. 

Pada hakikatnya pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang sesuai syariat islam dan berada dinaungan khilafah. Sistem pendidikan islam yang mampu mencetak manusia cerdas dan bertakwa. Dan merupakan pilar penting bagi keberlangsungan peradaban islam yang memuliakan dan menyejahterakan umat manusia. Yang mana pendidikan yang menjadikan para generasinya menjadi generasi yang berada dalam atmosfir kebenaran sekaligus memiliki berbagai keahlian terapan yang terkini yang dibutuhkan islam dan kaum muslim.

Maka dalam hal ini negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Sejarah mencatat, pada tahun 1250M negara khilafah sangat perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dibangunlah pusat-pusat pendidikan, perpustakaan dan oservatium dengan fasilitas yang lengkap bagi para pelajar. Namun, keberhasilan sistem pendidikan islam tidak berdiri sendiri tetapi didukung oleh lain yakni sistem ekonomi islam dan sistem pergaulan yang menjunjung tinggi akhlakul karimah.
Previous Post Next Post