Hijrah; Membangkitkan Kembali Hukum Islam Dan Sinkronisasi Memerdekakan Diri Dari Dosa

Oleh : Tiktik Siti Mukarromah 
(Ibu Rumah Tangga)

Akhir-akhir ini kata hijrah sedang booming dibicarakan banyak orang. Dimulai dari awal mula sejarah hijrah itu sendiri dalam Islam, sampai digunakan pada “billingual” fi’il orang-orang yang ingin merubah hidupnya menuju lebih baik. 
Berasal dari kata هاجر-يهاجر-مهاجرة-وهجراة-مهاجر-مهاجر yang memiliki makna keluar, berpindah, menjauhi, meninggalkan. Awal mula adanya kata hijrah adalah saat berpindahnya Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasalam dan para sahabat dari Mekah ke Madinah dengan tujuan mengubah kehidupan jahiliyyah agar menjadi kehidupan yang penuh dengan keta’atan, dengan memerdekakan orang-orang pada masa itu untuk menjadi hamba Allah seutuhnya. Saat peristiwa inilah Umar bin Khattab ra menjadikan awal perhitungan tahun Hijriah.

Banyak alasan mengapa awal mula penanggalan tahun Hijriah ditandai dari hijrahnya Nabi dan para sahabat dari Mekah ke Madinah, salah satunya yakni berkat hijrahlah Islam dapat tersebar luas ke seluruh dunia, memberikan pembebasan dan kemerdekaan hakiki bagi umat manusia.

Sebelum Nabi berhijrah, keadaan manusia saat itu sangat dikungkung dalam keterpurukan. Keadaan politik yang carut marut, peradaban manusia belum saja menemui puncaknya, bahkan ibadah yang tak jelas arah sembahnya ke mana dan pada siapa.

Untuk keadaan politik saja, yang saat itu dikuasai oleh dua adidaya yakni Persia dan Romawi sangatlah mendominasi wilayah kekuasaannya. Semena-mena mengeksploitasi harta, tenaga, dan nyawa masyarakatnya. Peradaban manusia dalam menentukan halal-haram, baik-buruk, terpuji dan tercela ada dalam tolak ukur hawa nafsu para petinggi. Maka, jika ada titah yang dikeluarkan penguasa, haruslah dipenuhi tanpa tapi. 

Bobroknya ruhiyah masyarakat dalam melaksanakan ibadah menjadi bentuk keprihatinan lain pada masa sebelum Hijriah. Orang-orang selalu menyembah binatang, benda-benda alam, bahkan rajanya sendiri. Seperti halnya Rustum si raja Romawi yang menyembah Raja Qisroh karena kedudukan dan harta yang melebihi dirinya. 

Semenjak itulah Islam datang, dengan adanya hijrah Nabi dan para sahabat. Salah satunya adalah dengan Sa’ad bin Abi Waqhos mengutus Ruba’i bin Amir untuk mendatangi Rustum dan bernegosiasi. 

Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya, Al-Bidayah wa an-Nihayah, dalam bab Perang Qadisiyah menceritakan kisah Ruba’i bin Amir saat menemui Rustum. Di hadapan Rustum ia berkata, “Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama hamba menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju keluasannya; dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”

Penjelasan Ruba’i bin Amir adalah kenyataan. Umat manusia mendapatkan pembebasan dan kemerdekaan hakiki hanya dalam Islam. Bangsa Arab yang semula penyembah berhala, terbagi menjadi beberapa kelas sosial; bangsawan, rakyat jelata dan budak. Oleh Islam mereka diubah menjadi umat bertauhid dan setara kedudukannya di hadapan Allah SWT. Abdullah bin Mas’ud ra. adalah seorang dhuafa dan penggembala kambing. Bilal adalah mantan budak Habsyah. Keduanya sejajar dengan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dan Abdurrahman bin Auf ra. yang bangsawan dan saudagar.

Inilah proses hijrah tauhid yang Nabi bawa dan sebarkan untuk menghilangkan penghambaan terhadap sesama makhluk agar menyembah Allah seutuhnya.

Adapun bentuk hijrah lainnya dalam kehidupan manusia kini adalah berpindahnya pengambilan sumber hukum. Yang biasanya hukum di negara kita berasal dari mufakat pikir manusia, maka bisa beralih kembali pada asal yakni Al-Quran dan hadits. Karena sejatinya, jika hukum dibuat atas dasar hawa nafsu manusia maka hukum tersebut bersifat lemah. Jika memang ingin berhijrah seutuhnya dalam pengambilan hukum, maka kokohkan iman agar mampu konsisten dan berani ambil ‘resiko’ akan ketegasan hukum Islam.

Karena satu-satunya pondasi dalam berhijrah adalah mengokohkan keimanan. Dan inilah dasarnya. Menurut Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, “hijrah itu meninggalkan yang Allah larang, bukan mengerjakan yang Allah perintahkan”. Karena sejatinya mengerjakan perintah Allah itu lebih mudah ketimbang meninggalkan larangan-Nya. Sebagai contoh, seorang hamba pergi ke mesjid untuk menunaikan sholat berjama’ah tapi menggunakan kendaraan hasil riba. Di sini terdapat perintah dan larangan. Mana yang lebih berat? 

Dengan begitu, untuk berhijrah tidak sebatas diukur dari ucapan dan perubahan cover saja. Melainkan dilandasi oleh iman dan niat kita. Seberapa totalitas kah hijrah kita? Dan diniatkan untuk apa? Dalam hadits Nabi dikatakan:
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hari ini bisa saja kita muda, besok sudah pasti berubah tua. Bisa saja sekarang kita di atas tanah, besok bisa saja kita ada di bawah tanah. Begitulah perubahan singkat dalam hidup. Maka, jika tidak ada paksaan untuk berhijrah menuju ke yang lebih baik, akan jelas sia-sia lah hidup kita. Sangat merugi. Jika sudah berhijrah maka landasi lah hijrah itu dengan keimanan.

Hijrahnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam dan para sahabat dulu telah mampu menyulap negeri jahiliyyah menjadi penuh dengan keta’atan. Negeri yang rakyatnya memeluk Islam baik secara damai maupun melalui peperangan (futuhat) maka akan terbebas dari eksploitasi dan penindasan. Dicontohkan saat pasukan Amr bin al-‘Ash ra. menaklukkan Mesir mereka melindungi umat Kristen Qibthi (Koptik) dan tidak memaksa mereka memeluk Islam. Itu sebabnya hingga kini mereka tetap eksis di negeri Mesir. Begitupun saat satu negeri berhukum pada sumber yang haq yakni Al-Quran, maka kehidupannya akan tertata rapi dalam aturan Islam kaffah.

Demikianlah, Islam datang membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama mahluk/manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah subhaanahu wata’ala. Ketika ini terwujud, manusia akan terbebas dari kedzaliman dan keburukan agama-agama, ideologi dan ajaran selain Islam. Kelapangan dunia pun akan dirasakan oleh segenap kaum Muslim dan umat manusia pada umumnya. janji Allah subhaanahu wata’ala:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
"Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi ". (TQS al-A’raf [7]: 96).
Previous Post Next Post