Dispensasi Nikah: Solusi Tambal Sulam ala Sekuler

Oleh: Reski Pratika
(Aktivis Intelektual Muslimah)

Angka pernikahan dini di Indonesia melonjak selama masa pandemi Covid-19. Praktik pernikahan dini didapati tetap marak meski pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi 19 tahun melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019.  Namun faktanya, regulasi ini belum menekan praktik pernikahan dini di Indonesia. Dispensasi ke pengadilan semakin meningkat.  

Selama rentang periode Januari-Juli terdapat sekitar 240 permohonan dispensasi nikah masuk dalam Pengadilan Agama Jepara, Jawa Tengah."dari 240 pemohon dispensasi nikah, dalam catatan kami ada yang hamil terlebih dahulu dengan jumlah berkisar 50-an persen. Sedangkan selebihnya karena faktor usia yang belum sesuai aturan, namun sudah berkeinginan menikah,” kata Ketua Panitera Pengadilan Agama Jepara Taskiyaturobihah seperti dilansir dari Antara di Jepara pada Minggu (26/7). 

Banyaknya permohonan dispensasi nikah tidak hanya terjadi di Pengadilan Agama Jepara, melainkan hampir menyeluruh setelah ada penambahan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. (Jawapos.com/ 26 Juli 2020)

Data ratusan remaja mengajukan dispensasi nikah di berbagai daerah menegaskan 2 problema yang lahir dari kebijakan dispensasi nikah ini: 1) Dijalankan bersamaan dengan pendewasaan usia perkawinan dengan harapan menurunkan angka pernikahan dini 2) Menjadi ‘jalan keluar’ untuk memaklumi fenomena seks bebas di kalangan remaja. Kebijakan dispensasi nikah dan membuat undang-undang untuk menambah ambang batas usia minimum menikah bukanlah solusi atas masalah. 

Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susilowati Suparto mengatakan, peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi. Serta Kurangnya pengawasan orangtua terkait kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar di rumah juga menjadi salah satu pemicu maraknya pernikahan dini. " Tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini,” tambahnya (kompas.com/ 8 Juli 2020)

Sementara itu, dosen FH Unpad Sonny Dewi Judiasih menjelaskan, praktik perkawinan di bawah umum rentan terjadi pada perempuan di pedesaan yang berasal dari keluarga miskin serta tingkat pendidikan yang rendah.

Sejumlah faktor yang memengaruhi praktik pernikahan dini ini di antaranya adanya faktor geografis, terjadinya insiden hamil di luar nikah, pengaruh kuat dari adat istiadat  hingga minimnya akses terhadap informasi kesehatan reproduksi.

Dilansir dqri laman msn.com, PPA menilai praktek perkawinan anak akan memberi dampak buruk yang berkepanjangan. Mulai dari faktor yang berkaitan dengan kesehatan hingga kemiskinan, kelahiran bayi dengan berat badan rendah, prematur, komplikasi kehamilan lainnya yang akan berdampak pada kekerasan rumah tangga, hingga pemberian pola asuh yang tidak tepat pada anak. Masalah ini tidak berhenti disini saja, kesiapan mental anak yang menikah di bawah umur 18 tahun akan dianggap membuat anak putus sekolah. Berpendidikan rendah kemudian berkorelasi dengan pendapatan yang rendah pula akan berujung pada tingginya resiko kemiskinan pada generasi selanjutnya.

Akar masalahnya adalah kemiskinan dan minimnya peluang untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi, serta tidak adanya aturan pergaulan antar laki-laki dan perempuan sehingga seks bebas merajalela. Memberi dispensasi nikah bagi remaja yang hamil di luar nikah justru menambah masalah baru.  Aliih-alih mengurangi angka pernikahan dini, justru hal tersebut membuka peluang legalisasi pergaulan bebas.

Pemecahan masalah tersebut tidak bisa dilakuakan dengan hanya dispensasi nikah dan menambah ambang batas usia minimum untuk menikah, akan tetapi mencabut akar yang menjadi sumber masalah. Bangsa ini membutuhkan pemberlakuan system ijtimaiy Islam agar generasi siap memasuki gerbang keluarga dan  mencegah seks bebas remaja. 

Solusi untuk mengatasi problem tersebut harus dilakukan secara sistematis 
Berikut beberapa tugas dan tanggung jawab negara yang ditetapkan Islam:

Pertama, Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam dan mengajarkan pengetahuan hukum syariat kepada peserta didik.

Pendidikan merupakan hak seluruh rakyat dan menjadi kewajiban negara untuk menunaikannya secara baik. Sistem pendidikan berbasis akidah ini akan melahirkan individu yang kuat imannya, penuh ketakwaan pada Allah SWT, dan sungguh-sungguh dalam beramal ketaatan sebagai bukti keimanan yang diyakininya.

Produk pendidikan Islam adalah munculnya generasi umat yang menjadikan Islam sebagai standar dalam perbuatannya.

Kedua, Negara wajib menerapkan sistem pergaulan Islam.
Yakni yang akan memberlakukan ketentuan syariat dalam interaksi di masyarakat. Seperti kewajiban menutup aurat, larangan khalwat, larangan ikhtilat tanpa hajat syar’i, dll.
Negara juga wajib menyediakan Qadli hizbah yang akan bertugas di tempat-tempat umum untuk memastikan tidak adanya pelanggaran hukum. Jika ada kasus pelanggaran, maka petugas ini akan segera menyampaikan sanksi sesuai ketentuan hukum syara’.

Ketiga, Negara wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya. Di antaranya memastikan kepala keluarga memiliki pekerjaan layak untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya.

Dalam kondisi ini, para ibu tidak akan dituntut ikut bekerja membantu mencari nafkah. Mereka akan memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan peran utama sebagai ibu pendidik anak-anaknya. Para ibu juga akan hadir mendampingi dan menjaga mereka dari setiap ancaman bahaya.

Negara wajib memastikan tidak adanya konten-konten media yang merusak akidah dan merusak akhlak masyarakat. Seperti kemusyrikan, sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme), juga pornografi dan pornoaksi. Negara pun akan bertindak cepat memberi sanksi pada siapa pun yang melanggar

Keempat. Negara menerapkan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat.
Pelanggaran berupa zina akan dikenakan sanksi rajam bagi pelaku yang sudah pernah menikah, dicambuk dan diasingkan untuk pelaku yang belum pernah menikah.
Pembuat dan penyebar konten-konten porno akan diberikan sanksi ta’zir yang jenisnya ditentukan berdasarkan pendapat Khalifah.

Maraknya perzinaan di kalangan remaja merupakan produk sistem kapitalis sekuler liberal. Karenanya, kasusnya akan terus muncul selama sistem rusak ini diterapkan dalam kehidupan.

Solusi tuntas yang akan menyelesaikan masalahnya hanya ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan dengan tegaknya Khilafah Islamiyah, insya Allah. Wallahu a’lam.
Previous Post Next Post