Cadas Jalan Pilkada


Oleh : Shafayasmin Salsabila*
Founder MCQ Sahabat Fillah Indramayu

Di tengah pandemi, suhu politik di Indramayu mulai menghangat. Pasalnya, pada 9 Desember mendatang, hajatan pemilihan ketua daerah (Pilkada) akan digelar. Meski menjadi pembahasan tersendiri, apakah etis untuk tetap mengadakan perhelatan di tengah keterbatasan anggaran akibat Covid-19.

Realitasnya, panggung tidak pernah sepi dari para kandidat. Setidaknya 20 nama bakal calon bupati, siap berkompetisi. (liputan6.com, 2/7/2020) 

Sayangnya, perhelatan ini dikhawatirkan rentan berbumbukan money politics. Bahkan praktek terlarang ini diprediksi akan mengalami lonjakan, akibat situasi pandemi. Di mana rakyat sedang terkiwir-kiwir dengan lembaran rupiah. 

Kegundahan ini disampaikan langsung oleh Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Indramayu, sNurhadi. Kondisi pandemi bisa jadi akan dimanfaatkan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya.

Beliau mengatakan, "yang jelas bisa dilihat dari pemilu yang kebetulan saat masa kampanye ada bencana, memang biasanya ada saja yang membagi-bagikan bantuan dengan embel-embel untuk mempengaruhi pemilih." 

Gayung bersambut, sebagian besar masyarakat Indramayu justru "welcome", bersikap permisif, menerima dengan lapang dada praktik money politics ini. Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia (Cikom-LSI) Network Denny JA, melakukan survey terhadap 440 responden.

Hasilnya miris. 56,8 persen pemilih di Kabupaten Indramayu menganggap money politics adalah hal lumrah dan mereka senangi. Dengan kata lain, masyarakat Indramayu memiliki kecenderungan pragmatis perilaku terhadap money politics. Memandangnya sebagai suatu kewajaran (TribunCirebon.com, 6/8/2020). 

Pertanyaannya, apakah yang bisa masyarakat harapkan, dari seorang pemimpin yang menguasai panggung dengan jalan pintas, berupa kekuatan uang. Tidakkah terpikirkan, dari mana uang yang digunakan untuk mengikat suara. Tentunya jika modal politik sedemikian besar, maka ada masanya modal tersebut harus kembali di tangan. 

Inilah salah satu pupuk bagi suburnya skorupsi. Nyatanya, ada andil bersama terhadap kekotoran sistem saat ini. Meski tidak ada satu pun nurani rakyat yang rela haknya dimakan oleh kerakusan. Tapi, pemantik api itu setia dalam genggaman. 

Sebagai seorang Muslim, kewajaran harus dikembalikan kepada aturan Allah, atau yang dikenal dengan istilah syariat. Bukan pada aspek manfaat, atau karena dilakukan oleh kebanyakan orang. Money politics sekalipun dirasa menguntungkan bagi konstituen yang notebene sedang membutuhkan uang, namun tetap dihukumi haram. 

Termasuk kecurangan dan tindakan suap (risywah). Seakan uang tersebut demi membeli suara rakyat. Semestinya suara rakyat diberikan semata karena dorongan keimanan, bukan "sogokan". Konsep "wani piro", khas lahir dari sistem kapitalis-sekuler. Di mana uang menjadi panglima. 

Rasulullah Saw. juga pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dalam Sunan mereka serta Imam Ahmad dalamMusnad-nya, dari Abdullah ibn Amr, ia berkata: "Rasulullah SAW melaknat orang yang memberi dan menerima suap." 

Memilih seorang pemimpin untuk mengurusi kemaslahatan umat, adalah kewajiban. Namun perlu ditegaskan, keberadaan sosok pemimpin semata untuk menerapkan syariat. Memerintah, mengatur dan memgambil segenap kebijakan dengan merujuk kepada rule buatan Allah Ta'ala.

Menetapkan dan memutuskan sejalan dengan Alquran dan sunah. Sebagaimana wasiat Rasul Saw. di saat haji wada, agar umatnya berpegang teguh pada keduanya (red, Alqur'an dan sunah). 

Sekularisme memaksa umat hidup dalam split personality (kepribadian ganda). Tersungkur di sepertiga malam, berderai air mata bersama khusyuk. Namun siang hari dijalani dengan melepaskan panduan agama. Sesuka hati dan bebas dalam berperilaku. 

Menilai baik-buruk, terpuji-tercela, kepantasan dan kewajaran berdasar atas nalar, kebiasaan atau dengan berpatokan kepada kebanyakan. Yang lain sumringah dengan "bom uang", kenapa saya, tidak? Begitulah pola pikir sekularisme.

Allah Ta'ala seakan tidak ada, pada saat tangan menerima lembaran rupiah dengan dalih "hadiah", tentu dengan pamrih tertentu. Karena dalam sistem kapitalis, tidak ada makan siang gratis (no free lunch). 

Tidakkah kita jengah dengan semua keganjilan ini. Bersikap diam pun berarti menegaskan diri dalam posisi penikmat kezaliman. Tentu ini adalah perkara berat, pada saat yaumul hisab di akhirat. Hari itu, akan ditampakkan lah segala kesalahan. Termasuk ketika bersikap permisif dan menganggap biasa perkara suap (money politics). 

Selanjutnya tinggal dipikirkan, jika muara dari semua ini adalah sistem hidup kapitalis-sekular yang menegasikan aturan Allah dan bertumpu pada limpahan uang. Apakah tidak sebaiknya untuk segera dicabut dan diganti dengan sistem milik umat, yakni sistem Islam. 

Tidakkah umat rindu untuk dapat hidup di rumahnya sendiri, dalam bi-ah (lingkungan hidup) miliknya. Sudah fitrahnya seorang hamba memilih hidup dalam aturan main dari Sang Penciptanya. Karena bila tidak, pengkhianatan telah dilakukan. Seorang hamba semestinya berserah, pasrah, sami'naa wa atho'naa. Tidak malah berserikat dalam menduakan aturan-Nya. 

Patut untuk direnungkan sebuah ayat menggugah dari Alqur'anul Karim. "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (TQS. Al Hadid [57]: 16)

Sudah saatnya kembali merenungi hakikat diri dan perbuatan. Bahwa diri ini hanya seorang hamba, hidup hanya untuk menuruti titah Sang Pencipta. Dan, sejatinya setiap perbuatan akan ada hisabnya. Maka hendaklah halal haram menjadi patokan.

Sudahi lalai dan kekhilafan, menuju hidup penuh berkah dengan kembali kepada kehidupan Islam. Cadas jalan pilkada janganlah menjadi bumerang, yang kelak akan menjadi penyesalan berkepanjangan. 

Wallâhu a'lam bish-shawab.
Previous Post Next Post