Tidak Sense of Crisis, Cacat Bawaan Pemerintah Kapitalistik

Oleh : Sulistiana 
(Aktivis Muslimah Bangka Belitung)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para menteri membuat kebijakan luar biasa (extraordinary) untuk menangani krisis akibat pandemi Covid-19, karena menganggap banyak menteri yang belum punya sense of crisis. Jika para menteri membuat kebijakan biasa saja seperti kondisi normal maka Jokowi mengancam akan merombak kabinet (reshuffle). Kinerja sejumlah sektor mendapat sorotan. Saat berpidato membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu, Jokowi mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja sejumlah bawahannya. "Saya harus ngomong apa adanya, tidak ada progres signifikan (dalam penanganan krisis akibat Covid-19). Tidak ada," kata Jokowi dalam video sidang kabinet tersebut yang baru diunggah Sekretariat Presiden di akun Youtube resminya, Minggu (28/6).

Ada beberapa sektor yang mendapat sorotan. Pertama, bidang kesehatan dengan anggaran Rp 75 triliun. Jokowi mengkritik penggunaan anggarannya baru sekitar 1,53%. "Pembayaran dokter, tenaga spesialis keluarkan. Belanja peralatan keluarkan," katanya. Dengan begitu, uang beredar di masyarakat tersebut dapat memicu aktivitas perekonomian. Kedua, bantuan sosial ke masyarakat. "Ini harusnya 100% sudah disalurkan," katanya. Ketiga, sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). "Segera stimulus ekonomi bisa masuk ke usaha kecil mikro, mereka tunggu semuanya. Jangan biarkan mereka mati dulu, baru kita bantu," kata Jokowi. (https://katadata.co.id. )

Sementara Sri Mulyani merinci bahwa kecilnya serapan anggaran ekonomi karena program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menghadapi ‘musuh baru’. Permasalahan ini terjadi di level operasianal dan proses administrasi. (https://www.idntimes.com ).

Penyebaran virus corona telah menginfeksi lebih dari 200 negara sejak kasus pertama di Wuhan, Cina. Berbagai ancaman resesi di depan mata, mulai dari bidang sosial sampai bidang ekonomi. Tak terkecuali Indonesia pun terdampak dari pamdemi covid-19 ini.

Perlu disadari, yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi adalah landasan yang benar dalam pengambilan kebijakan. 
Bisa dilihat ketidakseriusan pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk menangani wabah ini, tupang tindih dan saling melempar tanggung jawab terlihat dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pendapat para pakar dan tenaga ahli kesehatan tidak begitu didengar dan diperdulikan oleh pemerintah terhadap bagaimana penanganan dan mengatasi penyebaran virus covid-19 ini. Bahkan narasi yang dibawa malah ‘hidup berdampingan dan berdamai dengan covid’. Dengan alasan untuk menaikkan laju pertumbuhan ekonomi yang terpuruk akibat wabah corona ini maka kebijakan baru pun diambil yaitu dengan diberlakukannya New Normal.

Melihat semakin pesatnya laju penyebaran virus corona dan jumlah pasien terpapar covid naik di atas seribu per harinya. Hingga diputuskan menuju new normal pun, tidak ada perkembangan yang lebih baik. Semakin masifnya peningkatan paparan corona menunjukkan penerapan new normal beresiko tinggi bagi keselamatan rakyat. New normal ternyata malah menimbulkan klaster baru penyebaran. 

Pandemi corona membuka tabir bobroknya kapitalisme memimpin dunia. Selama masih dalam koridor kapitalisme, tidak akan lahir kebijakan benar karena selalu menguntungkan kapitalis.
Dunia membutuhkan tatanan baru. Dan sangatlah wajar bila ada harapan di tengah kegagalan ideologi kapitalisme. Harapan itu ada pada Islam. Tidakkah corona mengandung “hikmah”? Dibawah naungan kapitalisme, masalah terus bertambah.
Betapa menyedihkan kondisi rakyat dalam naungan negara kapitalis. Rakyat dibiarkan secara mandiri mengurus seluruh urusannya. Rakyat harus menanggung mahalnya biaya tes corona dan dijadikan ajang komersial bagi para kapitalis, melonjaknya harga pangan dikarenakan tidak merata distribusi karena dikelola oleh para kapitalis, menjamurnya pengangguran disebsbkan banyaknya pekerja yanag di PHK sementara WNA berdatangan masuk ke Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan, juga ekonomi yang semakin sulit dan semakin membebani rakyat dengan tingginya biaya hidup serta banyaknya pajak yang ditarik pemerintah dari rakyat. Karena dalam negara kapitalis tidak ada pemberikan jaminan apa pun pada rakyatnya. Negara hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha.

Seharusnya sebuah negara layaknya perisai bagi rakyatnya. Ia bertanggung jawab atas keselamatan rakyat. Juga berkewajiban memastikan kebutuhan mereka tercukupi. Disinilah peran negara. Apalagi di masa pandemi seperti ini, negara harus berperan lebih giat lagi.

Dalam Islam, Kepala Negara (Khalifah) menjalankan hukum Allah atas rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’iin (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Begitu jelas apa yang disabdakan Rasul, bahwa kepada para Pemimpin diserahi wewenang untuk kemaslahatan rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurus rakyatnya dengan baik atau tidak. Raa’iin bermakna penjaga yang diberi amanah atas bawahannya. 
Memang hanya sistem Islamlah yang mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tengah umat sekarang ini dan bisa menumbuhkan sense of crisis terhadap permasalahan umat, Karena Islam terlahir untuk menyelamatkan manusia dunia dan akhirat. Islam adalah seperangkat tuntunan hidup yang langsung dibuat oleh Al-Khaliq Sang Pencipta manusia, yaitu Allah SWT. Sehingga ketika manusia mengalami masalah, Islam pun punya solusinya.

Wallahu a’lam bish-shawabi 
Previous Post Next Post