Tak Libatkan Swasta, Pelayanan Kesehatan Sumbar Tertinggal

Oleh : Sri Ariyati, SH

Kesehatan merupakan hal urgen yang menjadi kebutuhan dasar bagi setiap individu. Sebagaimana kata pepatah. Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat”. Namun, faktanya kenapa negara kaya dilanda krisis layanan kesehatan? Selama pandemi pelayanan kesehatan Covid-19 membuka mata warga Sumbar akan pentingnya kehadiran rumah sakit swasta bertaraf internasional.

Sehingga warga Sumbar mendesak pemerintah daerah untuk membuka ruang selebar-lebarnya bagi investasi swasta, terutama di bidang kesehatan. Dengan penduduk 5,5 juta saat ini dan ancaman virus serta berbagai penyakit yang terus meningkat, kehadiran rumah sakit swasta akan sangat membantu masyarakat. (Padang, Beritasatu.com).

Harapan terhadap sebuah rumah sakit berskala internasional seperti RS Siloam kini semakin mengemuka di Padang sejak Covid-19 merebak di Tanah Air. Mereka yakin, jika swab test dilakukan lebih cepat dan masif, jumlah warga Sumbar yang terdeteksi positif Covid-19 akan melonjak dan rumah sakit bakal kewalahan.

Pemerintah setempat diminta untuk kembali mengizinkan investasi Ismail Ning, pengusaha nasional asal Padang, yang pernah mencapai tahap ground breaking tahun 2013. Nilai investasi Ismail mencapai sebesar Rp 1,4 triliun. Investasi yang dimaksudkan adalah sebuah superblok, mencakup hotel, apartemen, pertokoan, sekolah, dan RS Siloam.

Tawaran untuk mengundang investor menandakan negara berlepas tangan dengan cara mendorong praktek liberalisasi dan komersialisasi sektor kesehatan. Akibatnya membawa dampak buruk bagi rakyat miskin negeri ini.

Pertama, Pemberlakuan sistim pembayaran yang disebut “user fees” pada pelayanan kesehatan publik. Disini, hampir tidak ada pembedaan antara RS pemerintah dan RS swasta, sehingga menyempitkan kesempatan bagi rakyat kurang mampu (miskin) untuk memperoleh pelayanan kesehatan murah. 

Kedua, Adanya segmentasi dalam pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat. Artinya, setiap golongan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan berdasarkan kemampuan ekonominya. Orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan apa adanya, sementara orang kaya akan mendapatkan pelayanan lebih bagus dan canggih. Hal ini, bagaimanapun sangat bertentangan dengan prinsip “pelayanan kesehatan untuk semua”, tanpa pandang bulu.

Ketiga, Karena tujuan pelayanan kesehatan sekarang ini adalah mengejar profit semata, maka faktor “kemanusiaan” menjadi semakin terpinggirkan dalam hal pemberian pelayanan yang layak. 

Keempat, Karena sistem kesehatan sudah dikomersialisasi atau diliberalisasikan, maka pelayanan kesehatan hanya bersifat individual, bukan lagi sebagai sebuah gerakan kolektif untuk menyehatkan bangsa. Padahal pengembangan sistem kesehatan nasional berfungsi untuk menguatkan sumber daya manusia (SDM), yang tentunya berpengaruh terhadap laju perkembangan ekonomi bangsa.

Pemberian layanan kesehatan kepada rakyat saat ini, belum menyentuh sebab yang menjadi dasarnya yaitu kemiskinan, yang diakibatkan ketimbangan ekonomi akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal. Sistem ini telah melahirkan ‘wabah kemiskinan global’ yang menjadi induk bagi berkembang biaknya segala jenis penyakit mematikan di negeri-negeri berkembang wabah corona misalnya dan ketidakmampuan rakyat miskin mendapatkan obat dan perawatan medis yang berkualitas dan gratis karena semua pelayanan ujung-ujungnya adalah bisnis dari si pemilik modal besar. 

Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, IMF dan WTO, selama ini hanya menjadi alat dari kepentingan negara maju dan perusahaan farmasi multinasional. Artinya penerapan konsep jaminan kesehatanpun hanya pemanis yang bertujuan untuk mendapatkan untung besar dari bisnis kesakitan rakyat. Dan berujung pada kesengsaraan dan bencana kemanusiaan. Semua itu bermula dari abainya penguasa memberikan perhatian dan perlindungan bagi rakyatnya.

Maka dari itu dapat kita sadari bahwasanya kapitalisme memandang pelayanan kesehatan adalah jasa ekomomi artinya negara merasa merugi jika kesehatan diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Dan dengan melibatkan swasta negara bisa cuci tangan memberikan pelayanan kesehatan yang layak kepada rakyat dan memberikan kesempatan kepada swasta untuk terjun mengurusi bisnis kesehatan. Maka dari itu bisajadi kesehatan akan menjadi barang langka untuk bisa dirasakan semua kalangan. Terlebih ditengah kondisi pandemi yang semakin memilukan.

Dalam Islam, kesehatan merupakan kebutuhan yang menjadi perhatian penting dan wajib diberikan secara merata. Pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara Islam (Khilafah) yang dibiayai dari kas Baitul Mal.  Adanya pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan.

Hal itu sudah dijalankan sejak masa Rasul saw. Delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa.  Nabi saw. Kemudian merintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal yang digembalakan di sana.  Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih. 

Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi saw. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum Muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal.  Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan.  Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Mal.  Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman.  Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan. 

/Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat/
Pertama,  universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. 

Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. 

Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. 

Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana tidak kecil.  Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah.  

Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya.  Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya.  Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, secara berkualitas.

Betapa kita merindukan perlindungan dan pelayanan dari sebuah negara Islam (Khilafah) yang telah berhasil tercatat dalam tinta sejarah. Wallahu 'alam bii shawwab
Previous Post Next Post