Srebrenica Terluka, Semesta Diam Seribu Bahasa

Oleh : Sumiyah Ummi Hanifah
Member Akademi Menulis Kreatif dan Pemerhati Kebijakan Publik

Airmata duka kembali membanjiri warga Muslim Bosnia, di Tanah Pemakaman Peringatan Genosida Potocari, sebuah desa yang terletak di dekat kota Srebrenica, pada Sabtu, 11 Juli 2020 yang lalu.

Mereka larut dalam momen peringatan 25 tahun tragedi pembantaian Muslim di Srebrenica, Bosnia.

Peringatan mengenang tragedi berdarah tersebut, berlangsung tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Sebab, selain karena situasi dan kondisi yang kurang bersahabat, (akibat pandemi Covid-19), peringatan kali ini sekaligus menjadi upacara penguburan sembilan korban yang sudah diidentifikasi selama setahun terakhir.

Peristiwa ini dihadiri oleh kurang lebih 3000 kerabat korban pembantaian.
Salah satu dari mereka bernama Sehad Hasanovic. Ia dengan perasaan duka menuturkan,
"Sulit ketika kau melihat seseorang memanggil ayah mereka, sedangkan kau tidak memilikinya" katanya sambil terisak.

Kala itu, ia hanya mengingat ayahnya yang bernama Semso pergi ke hutan, namun tidak pernah kembali ke rumahnya. Setelah beberapa tahun kemudian, hanya ditemukan tulang-belulangnya saja.

Tentu masih banyak "Sehad Hasanovic-Sehad Hasanovic" yang lain. Yang juga merasakan kesedihan dan trauma yang mendalam, akibat pembantaian tersebut.

Kilas balik sejarah, pada tanggal 11 Juli 1995, pasukan Serbia dengan brutal mengepung dan membunuh lebih dari 8000 pria dan anak lelaki warga muslim Bosnia, hanya dalam waktu beberapa hari. 

Pasukan yang dipimpin oleh Ratka Mladic, melakukan penyerangan terhadap warga muslim Bosnia, yang sedang berlindung di Pangkalan Penjaga Perdamaian PBB di desa Potocari, Srebrenica. Kota yang merupakan daerah kantong muslim warga Srebrenica, yang letaknya berada di ️Timur Laut Bosnia. 

Selama perang Bosnia, wilayah Srebrenica dikepung oleh pasukan Serbia, antara tahun 1992-1995. Saat itu milisi Serbia mencoba merebut wilayah tersebut dari penduduk muslim Bosnia dan Kroasia, untuk perluasan wilayah negaranya.

Padahal, pada tahun 1993 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan bahwa Srebrenica sudah dinyatakan sebagai "Daerah Aman".
Namun faktanya, sebanyak kurang lebih 450 Tentara Belanda yang ditugaskan untuk melindungi warga sipil di Srebrenica "gagal" melakukan tugasnya. Sehingga terjadilah pembantaian massal warga muslim di wilayah tersebut. 

Tercatat sebanyak 15 ribu pria melarikan diri ke pegunungan, namun mereka berhasil ditangkap dan dibantai di hutan.

Ada sekitar 6.900 orang korban telah ditemukan dan diidentifikasi, selain itu ditemukan pula sedikitnya 80 kuburan massal di wilayah itu (cnnindonesia.com, Minggu, 12/7/2020).

Komentar politik :
Pembantaian yang dilakukan pasukan Serbia terhadap kaum muslimin di Srebrenica, ️turut menjadi sejarah kelam yang meliputi Daratan Eropa. 

Tragedi memilukan ini, menjadi saksi bisu bagaimana keberingasan para tentara musuh, dalam mencapai hasrat mereka untuk menguasai dan berusaha mencaplok wilayah negeri kaum muslimin.

Kekejaman dan kesewenang-wenangan mereka, telah menyiratkan betapa besar kebencian mereka terhadap kaum yang notabene merupakan umat Nabi Muhammad Saw. ini. 

Sehingga seribu satu cara akan mereka tempuh, untuk menguasai wilayah itu. Termasuk dengan cara mengusir warga muslim dari kota kelahirannya. 

Ini adalah bagian dari kampanye brutal Serbia dalam upaya pembersihan etnis Muslim dari wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Republik Serbia.

Tragedi semacam ini bukan pertama kali terjadi. 
Fakta sejarah telah membuktikankan, bahwa kaum muslimin di seluruh dunia selalu menjadi sasaran empuk penyerangan dan pembantaian pihak musuh-musuh Islam.

Dunia pastinya tidak akan pernah lupa, bagaimana tentara Israel membombardir tanah suci Palestina, umat muslim Uighur yang "digenosid" di China, umat muslim India dan Uighur yang dibakar hidup-hidup karena mempertahankan akidahnya.

Pembantaian demi pembantaian kaum muslimin sering terdengar di telinga kita, tanpa ada satupun kekuatan yang dapat menolongnya.

Amisnya aroma darah para korban pembantaian itu, tidak sanggup membuat para pembunuh brutal itu merasa iba, mengapa?

Bahkan, Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 193 negara (termasuk Indonesia) itu pun tidak bisa berkutik.

Mereka justru terkesan tidak serius dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan umat Islam.

Para pemimpin negara Islam ikut-ikutan menjadi "gagu". Mereka lebih suka duduk manis bersama dengan delegasi negara kafir, daripada membahas masalah keadilan bagi umat Islam.

Semesta tiba-tiba menjadi diam tak bersuara, ketika yang menjadi korban pembantaian massal itu adalah Muslim.

Namun anehnya, jika yang menjadi korban pembantaian itu adalah non Muslim, maka mereka akan langsung berteriak dan bertindak dengan cepat.

Padahal, seperti yang kita ketahui bahwa misi PBB adalah memelihara perdamaian dunia.

Lantas perdamaian macam apa yang mereka maksudkan?

Dan bagaimana mungkin mereka dapat memelihara perdamaian dunia, jika tidak terpenuhi nilai-nilai keadilannya.

Melihat kejanggalan ini, hendaknya kita sedapat mungkin menganalisa dengan ketajaman mata dan hati. 

Apa sesungguhnya motif berdirinya PBB?
Benarkah mereka hadir untuk mewujudkan perdamaian dunia, sebagaimana slogan mereka?

Jawabannya tentu saja tidak.
Hal ini jelas terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.

Hampir semua kebijakan itu merugikan umat Islam, bahkan seringkali kaum muslimin yang tidak bersalah harus menerima hukuman akibat kebijakan yang keliru dan jauh dari keadilan.

Seperti yang terjadi saat ini, umat Islam sulit mencari keadilan dan perlindungan.
Bahkan ketika musuh-musuh Islam menyerang dari segala arah, umat ini hanya diam dan pasrah. 

Inilah yang terjadi, jika umat Islam tidak memiliki pemimpin (Khalifah) yang akan menerapkan semua syari'at Islam dalam setiap aspek kehidupan.

Yakni dalam satu wadah (institusi) yang bernama Khilafah.

Dalam Islam, seorang pemimpin (Khalifah) adalah pelindung bagi rakyatnya.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, 
"Sesungguhnya imam (khalifah) laksana perisai, orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya. (H.R. Muslim)

Sejarah menuliskan, Islam berhasil memimpin peradaban dunia, selama hampir 1300 tahun lamanya. 

Dengan penerapan Syari'at Islam yang kaffah (menyeluruh), maka keadilan akan dirasakan oleh segenap rakyat yang berlindung di bawah naungan negara Khilafah tersebut.

Baik itu muslim maupun non muslim, mereka semua akan mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum syara'.

Sehingga akan terwujud negara yang aman, damai, sejahtera dan senantiasa diberkahi Allah Swt, baldatun toyyibatun warrabbun ghafur.

Wallahu a'lam bishshawab.
Previous Post Next Post