POLITIK DINASTI HASIL MUTLAK DEMOKRASI

OLEH : HJ.PADLIYATI SIREGAR,ST

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik.

Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020.

"Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota," kata Ujang kepada Kompas.com, Sabtu (18/7/2020).

Politik dinasti sebuah dua kata yang tidak asing lagi di kalangan perpolitikan. Politik dinasti atau dinasti politik adalah sistem politik dengan munculnya calon kepala pemerintahan dari lingkungan keluarga yang sedang berkuasa. Bagaimana tidak wajar apabila jabatan kepala pemerintahan diteruskan oleh saudara, anak, atau kerabat dekat nya ? Bagi pihak yang bukan keturunan yang mampu menjalankan pemerintahan tidak bisa ikut andil dalam menjalankan sebuah pemerintahan.

Politik oligarki yg dibangun parpol berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa adalah keniscayaan dalam demokrasi. 
Demokrasi meniscayakan pemenang mendapat suara terbanyak. Bisa diraih dengan dana besar, ketenaran atau pun pengaruh jabatan yg sedang dimiliki.  

Maka kemungkinan penyalahgunaan wewenang bisa terjadi. Penyalahgunaan wewenang itu akan ada. Hanya saja,dalam dalam sistim demokrasi biasanya akan disiasati. Inilah yang terjadi di  Indonesia saat ini memang sedang diwarnai fenomena oligarki dan dinasti politik yang menguat.
Tak hanya di level nasional, dinasti politik ini juga terjadi pada politik di tingkat daerah.

Oligarki akan menyebabkan segenap kebijakan semata diarahkan pada pemenuhan kepentingan eksklusif para elite, pengusaha, dan rekanannya. Tidak meng­herankan bila kemudian di negara-negara yang demokrasi kesejahteraan rakyatnya tersendat. Tertelan oleh kartel politik (Kartz dan Meir 1995) yang menyebabkan tumpahan kemakmuran tidak kunjung melimpah. 

Dalam atmosfer seperti ini baik elite maupun akhirnya masyarakat banyak akan menjadi semakin terbiasa memanipulasi proses politik, menciptakan kebiasaan dan kewajaran untuk rekayasa politik. Hasilnya sangat spektakuler: hasil Survei Pusat Penelitian Politik LIPI tahun ini menunjukkan 46,7% (hampir separuh) masyarakat Indonesia menganggap bahwa politik uang dan dinasti politik pada saat pemilu adalah sebuah kewajaran.

Karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi.
Ini bukan sekedar anomali dari praktik demokrasi. Karenanya menolak politik dinasti hanya terjadi bila demokrasi disingkirkan.

*Syarat Memilih Pemimpin dalam Islam*

Dalam setiap sistem pemerintahan, terdapat metode dan mekanisme dalam suksesi kepemimpinan. Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan berkenaan dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum

Rasulullah SAW menegaskan, setiap orang adalah pemimpin (kullukum ra'in wa kullukum mas`ulin 'an ra`iyatih). Namun, tidak setiap orang layak menjadi pemimpin dan berhak memegang tampuk kepemimpinan tertinggi.

Untuk itu diperlukan 7 syarat  yang wajib dipenuhi agar dia boleh memegang tampuk pemerintahan.

Apabila salah satu dari ketujuh syarat ini kurang, maka jabatan pemerintahan  ini tidak dapat diberikan. 

Pertama, muslim. 
Kerana itu, Pemimpin secara mutlak tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan hukum mentaati orang kafir itu tidak wajib. Kerana Allah SWT. berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin.” (Q.S. An Nisa': 141)  

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Kedua, laki-laki. 
Maka, wanita tidak boleh menjadi pemimpin.Dengan kata lain, pemimpin  wajib laki-laki. Dia tidak boleh seorang wanita. Rasulullah  bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.” Ikhbar (pemberitahuan) Rasulullah dengan menafikan keberuntungan pada orang yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang wanita adalah larangan terhadap kepemimpinan wanita.   

Ketiga, baligh. 
Tidak boleh anak-anak diangkat menjadi khalifah. Sebab ada riwayat dari Ali Bin Abi Thalib ra. bahawa Rasulullah SAW bersabda: “Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas orang yang tidur hingga bangun, atas seorang anak kecil hingga baligh, dan orang gila sampai akalnya kembali.” Dan siapa saja yang diangkat pena dari dirinya, dengan sendirinya tidak sah untuk mengurusi perkaranya. Kerana menurut syara’, dia tidak dibebani hukum (ghairu mukallaf). 

 Keempat, berakal. 
Tidak sah orang gila menjadi pemimoin,berdasarkan sabda Nabi SAW: “Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas orang yang tidur hingga bangun, atas seorang anak kecil hingga baligh, dan orang gila sampai akalnya kembali.” Siapa saja yang diangkat pena dari dirinya, maka dia tidak termasuk seorang mukallaf. Kerana akal menjadi manath (tempat) pembebanan hukum dan menjadi syarat sahnya mengatur berbagai urusan. 

Kelima, adil, 
Yaitu orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya (bertakwa dan menjaga muru’ah). Jadi tidak sah orang fasik diangkat menjadi seorang pemimpin. 

Keenam, merdeka. 
Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi pemimpin, kerana dia adalah milik tuannya sehingga dia tidak memiliki autoriti untuk mengatur, bahkan terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, dia tidak layak untuk mengurusi orang lain, apalagi menjadi penguasa atas manusia. 

Ketujuh, mampu melaksanakan amanat kepemimpinan. 
Sebab hal ini termasuk syarat yang dituntut oleh bai’at. Jadi, tidak sah bai’at kepada seseorang yang tidak sanggup untuk mengemban urusan umat berdasarkan kitab dan sunah. Kerana berdasarkan kitab dan sunah inilah dia dibai’at.
Previous Post Next Post