Politik Dinasti, Cacat Bawaan Demokrasi

Oleh : Neneng Sriwidianti
Pengasuh Majelis Taklim dan Member AMK

Akhir-akhir ini media diramaikan dengan pemberitaan Gibran Rakabuming Raka putra sulung Joko Widodo, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020. Pro kontra pun ramai membicarakannya. 

Fakta di atas menjadi bukti bahwa sistem demokrasi telah melahirkan penguasa-penguasa yang haus akan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Aji mumpung, itulah kata yang tepat.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik.

"Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden sedang punya kuasa, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota." Kata Ujang kepada Kompas.com, (18/7/2020).

Politik dinasti yang diperkuat oleh politik oligarki adalah keniscayaan yang dibangun oleh sistem demokrasi. Mereka akan mengerahkan segala daya upaya agar menjadi pemenang dengan mendapatkan suara terbanyak. Semua akan mudah mereka dapatkan karena pengaruh jabatan yang sedang dimiliki.

Terlebih lagi, ini diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah yang berasal dari kalangan petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam pasal 7  huruf r Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan Kepala Daerah.

Hal ini semakin memuluskan jalan mereka untuk membangun dinasti politik dan oligarki politik di tanah air. Akhirnya beberapa kerabat elit politik melenggang di karpet merah kekuasaan. 

Menolak dinasti politik yang akan menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang adalah harga mati. 

Caranya, segera campakkan sistem demokrasi sekarang dan  beralih kepada sistem yang berdasarkan syariat Allah Swt.

Islam sebagai agama universal, mempunyai seperangkat aturan dalam hal memilih pemimpin. Pemimpin dalam Islam diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapatkan dukungan nyata umat, karena mereka dikenal dengan ketakwaannya dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh hukum-hukum syariah.

Kepemimpinan syar'i sesungguhnya berbicara tentang dua hal : sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan. Dua-duanya harus sesuai syariah.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fii Al-Islam menyebutkan syarat-syarat syar'i yang wajib ada pada seorang pemimpin (Imam/khalifah) yaitu : (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa; (4) berakal; (5) adil (tidak fasik); (6) merdeka; (7)  mampu melakukan amanah kepemimpinan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.

Dalam memilih pemimpin, bukan hanya sosok pemimpinnya saja, tetapi sistem kepemimpinannya juga harus syar'i. Yaitu seperti sistem kepemimpinan yang dibangun oleh Rasulullah saw. di Madinah. Diteruskan oleh para sahabat sampai tahun 1924 ketika kekhilafahan Utsmani terakhir runtuh.

Oleh karena itu, kebutuhan mendesak saat ini untuk segera berjuang kembali menegakkan khilafah Islam. Karena khilafah adalah sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Rasulullah saw.

Di dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman : 

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi"..." (TQS al-Baqarah [2] : 30)

Wallahu a'lam bishshawab.
Previous Post Next Post