Perjodohan Massal Industri, Investasi Pendidikan Materi

Oleh : Apt. Siti Jubaidah, M.Pd
(Praktisi Pendidikan)

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan baru-baru ini meluncurkan gerakan pernikahan massal atau penyelarasan antara pendidikan vokasi, dunia industri dan dunia kerja (DUDI). Dilansir dari Antara new.com (27/5/2020) tujuan utama dari gerakan ini agar program studi vokasi di perguruan tinggi vokasi menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia industry dan dunia kerja. Direktur Jendral Pendidikan vokasi Wikan Sakarinto optimis bahwa program ini menguntungkan banyak pihak. DUDI akan diuntungkan dengan skema pernikahan tersebut. Dengan adanya “Link and Match” lulusan pendidikan vokasi juga akan semakin dihargai oleh industry dan dunia kerja buka semata-mata karena ijazahnya melainkan karena kompetensinya yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mendorong upaya membangun ‘perjodohan’ atau kerjasama antara perguruan tinggi atau Kampus dengan industri. Strategi ini dinilai penting agar perguruan tinggi dan industri bisa terkoneksi untuk saling memperkuat keduanya. Menurut Nadiem, Kampus bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia usaha. Pemerintah, kata Nadiem, memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak Kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian. Dia menjelaskan, bahwa Kemendikbud telah menjalankan program Kampus Merdeka. Salah satunya untuk menghasilkan mahasiswa yang unggul dan bisa menjadi pendisrupsi revolusi industri 4.0 (Lensaindonesia.com 7/7/2020)

Salah satu kasus ini seolah-olah perjodohan massal menjadi terobosan program yang “Brilliant” padahal ini telah terjadi di tahun sebelumnya tetapi tidak dilakukan oleh pemerintah. Pemikiran masyarakatpun menjadi terkontaminasi karena adanya pembelajaran aplikatif yang tidak hanya teoritis dan menjenuhkan. Memang, program pendidikan vokasi terkesan menjanjikan. Karena setelah lulus SMK atau perguruan tinggi, peserta didik bisa langsung bekerja. Menjadi fakta yang tidak dipungkiri juga pendidikan advokasi ataupun kejuruan berorientasi keuntungan semata dengan kata lain matrealistik. 

Seharusnya menjadi pelajaran bahwa peran pemerintah bukan sebagai pendukung, regulator dan katalis (mempercepat aksi dan reaksi) hanya sebatas itu saja, Kebijakan ini kian memperjelas mandulnya negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyatnya. Seluruh proses pendidikan dan pengajaran, penelitian juga pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan seharusnya dibiayai penuh oleh negara dan dimanfaatkan seluruhnya untuk kepentingan masyarakat. Bukan sebaliknya, menyerahkan ke dunia industri yang jelas-jelas kemanfaatannya untuk kepentingan para pemodal dan dikomersilkan pada masyarakat. Pemerintah semakin mengokohkan peran Lembaga Pendidikan sebagai pencetak tenaga kerja bagi industri. Pendidikan yang semestinya bervisi membangun kepribadian utuh manusia sbg hamba Allah khalifah fil ardhi dikerdilkan hanya mencetak manusia bermental buruh.

Kembali kepada Sistem Pendidikan Islam 
Merujuk dari nasihat Imam Al-Ghazali di dalam kitab Bidayatul Hidayah “jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia”. Dalam aturan Islam, pendidikan merupakan sarana untuk menumbuhkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta'ala sehingga manusia memiliki adab dan perilaku yang mulia. 

Negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Sejarah mencatat, pada tahun 1250 M negara khilafah sangat perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dibangunlah pusat-pusat pendidikan, perpustakaan dan observatorium dengan fasilitas yang lengkap bagi para pelajar.

Dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki, ilmuwan Muslim sangat berkontribusi pada perkembangan banyak ilmu pengetahuan modern seperti fisika, kimia, kedokteran, matematika, dan juga astronomi. Contohnya adalah Namun, keberhasilan sistem pendidikan Islam tidak berdiri sendiri tetapi didukung oleh sistem lain seperti sistem ekonomi Islam dan sistem pergaulan yang menjunjung tinggi akhlakul karimah.

Sebagai contoh Ilmuwan muslim yang jarang didengar yaitu Ibnu Al-Baitar Lewat risalahnya yang berjudul Al-Jami fi Al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obatan yang Sederhana), beliau turut memberi kontribusi dalam dunia farmasi. Di Dalam kitabnya itu, dia mengupas beragam tumbuhan berkhasiat obat (sekarang lebih dikenal dengan nama herbal) yang berhasil dikumpulkannya di sepanjang pantai Mediterania. Lebih dari dari seribu tanaman obat dipaparkannya dalam kitab itu. Seribu lebih tanaman obat yang ditemukannya pada abad ke-13 M itu berbeda dengan tanaman yang telah ditemukan ratusan ilmuwan sebelumnya. Tak heran bila kemudian Al-Jami fi Al-Tibb menjadi teks berbahasa Arab terbaik yang berkaitan dengan botani pengobatan. Capaian yang berhasil ditorehkan Al-Baitar melampaui prestasi Dioscorides. Kitabnya masih tetap digunakan sampai masa Renaisans di Benua Eropa.

Dari sini terlihat sangat nyata bahwa Islam mencetak generasi cerdas dan bertaqwa. Karya mereka dijadikan sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, bukan menjadikan ilmu hanya sebatas materi dalam jangka yang pendek. Kecerdasan yang dimiliki para Ilmuwan Muslim tidak sebatas hanya ilmu duniawi saja tetapi ilmu agama mereka miliki untuk pertanggung jawaban kepada sang Khalik.
Wallahu a'lam Bisawab
Previous Post Next Post