Menghentikan Naiknya Kasus Perceraian

Oleh : Ummu Nadiatul Haq
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Kasus perceraian di Kabupaten Kuningan selama adanya pandemi corona fluktuatif. Hal ini terbukti dengan meledaknya kasus pada bulan Juni sebanyak 388 kasus, sedangkan bulan Mei sebanyak 96 kasus dan April 191 kasus.  Sebelum pandemi Januari hanya 351 kasus, Februai 286 kasus dan Maret 275 kasus.  Hakim Pengadilan Agama Kuningan, Drs H Zulkifli SH MH, menjelaskan bahwa kasus perceraian karena ekonomi paling tinggi di tengah pandemi ini, terutama untuk kasus cerai gugat yang dilakukan oleh kaum hawa.  Pada tahun 2019 kasus yang diputus adalah 2.982 kasus. Sebanyak 2.048 kasus di antaranya adalah kaum perempuan yang menggugat. Sedangkan kaum adam 838 orang yang meminta cerai. (Kuninganmass.com, 16/07/2020)

Pemicu utama kasus ini adalah masalah ekonomi.  Ketika berumah tangga tentu urusan kebutuhan hajatul udhawiyah seseorang akan bertambah ketika menjadi berdua, kemudian punya anak.  Semua urusan menjadi tanggung jawab kepala keluarga, mulai dari sandang, pangan dan papan serta kebutuhan urgen lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.  Biaya pendidikan dan kesehatan saat ini tidak bersahabat dengan dengan kaum papa.  Mereka digiring dengan kebijakan-kebijakan negara yang menyengsarakan dan membebani masyarakat secara merata, seperti BPJS yang terus naik dan biaya pendidikan yang saat ini dilakukan secara daring tentu menambah biaya kuota dan pulsa untuk pembelajaran setiap harinya.

Dalam sistem kapitalis-liberalis sebelum pandemi maupun sesudah adanya pandemi  jelas kondisi perekenomian menunjukkan keadaan yang tidak sehat.  Banyak kasus perceraian karena ekonomi menandakan bahwa banyak keluarga yang belum mampu untuk menanggung beban ketika berkeluarga.  Tentu ini disebabkan karena faktor ekternal keluarga yaitu kesulitan mendapatkan pekerjaan bagi kaum laki- laki, dan dibarengi dengan ide kesetaraan gender yang  menyebabkan perempuan dan laki-laki harus terjun dalam sektor ekonomi, terutama dunia kerja.  

Penyebab kemiskinan atau kesulitan ekonomi adalah karena kultural dan struktural/sistemik.  Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan yang disebabkan karena gaya hidup, perilaku maupun budaya yang dimiliki oleh individu atau kelompok.  Di sistem kapitalis, gaya hidup masyarakatnya tidak menunjukkan kesederhanaan. Terkadang dalam rumah tangga satu keluarga dengan keluarga lain akan dijadikan bahan perlombaan dalam mengumpulkan harta kekayaan.  Ketika seorang suami tidak mampu memenuhi keinginan istri dalam tuntutannya, hal ini menimbulkan benih-benih keretakan rumah tangga.  Sehingga keluarga ini menjadi miskin karena merasa belum seperti orang lain.  Kemiskinan struktural atau sistemik yaitu kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas). Melainkan karena ketidakmampuan sistem atau negara dalam menyediakan kesempatan bekerja bagi si miskin.
Kondisi perceraian karena alasan ekonomi ini tentu harus diselesaikan oleh negara, tidak boleh dibiarkan kasus demi kasus terus bertambah tanpa ada solusi untuk menghentikannya. Kemiskinan kultural maupun struktural hanya bisa diatasi dengan penerapan syariat Islam.  Negara sejatinya menjadi pelayan dan pelindung rakyat.  Melayani rakyat dengan memberikan fasilitas kesehatan yang mudah diakses yang murah atau gratis.  Fasilitas pendidikan yang memudahkan untuk belajar.  Harga bahan pangan yang murah dan berkualitas, dan tentunya kemudahan dalam lapangan pekerjaan.

Memang dalam pandangan Islam perceraian tidak dilarang akan tetapi dibenci oleh Allah Swt. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw, bersabda: 

“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.” (HR. Abu Daud)

Tetapi, wajib ada upaya dari penguasa untuk melindungi keutuhan keluarga demi menjaga generasi yang berkualitas. Karena dengan keutuhan keluarga akan terjadi kenyamanan anggota keluarga, meraih target misi dan visi, membangun dan menjaga generasi yang berkualitas calon pemimpin peradaban masa depan.

Selain itu, Islam memandang pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat). Sebuah akad yang membawa konsekuensi tanggung jawab yang besar bagi suami maupun istri untuk menunaikan kewajiban dan hak pada masing-masing.  Sehingga harus ada pembinaan terhadap calon suami dan calon istri yang akan berkeluarga dengan tsaqofah Islam yang matang. Untuk menjadi bekal dalam menyelesaikan persoalan yang muncul ketika berkeluarga.

Dalam sistem Islam yang agung dan memiliki syariat sempurna tentu akan mudah menyelesaikan kasus perceraian yang terus naik saat ini.  Keluarga yang terjamin pemenuhan pokoknya, tentu akan menjadikan keluarga tenang dan tentram.  Karena aturan pemenuhan nafkah sesuai dengan dalil syara' dalam menjalaninya. Seorang laki-laki akan didorong untuk memenuhi nafkah keluarga dengan segenap kemampuannya.  Sedangkan perempuan diutamakan di rumah menjadi ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga).  Ibu yang mendidik anak-anak calon generasi cemerlang tanpa terganggu dengan kewajiban mencari sesuap nasi.  Negara akan memfasilitasi kemudahan bagi kepala keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nafkah ini.

Oleh karenanya, Islam memiliki pengaturan menyeluruh tentang kehidupan termasuk urusan keluarga.  Jika sebuah keluarga dibangun berlandaskan pondasi yang kokoh yaitu akidah Islam, yakni sesuai dengan ketentuan syariah Islam, maka keluarga yang penuh ketenangan dengan izin Allah akan terwujud.  Ketika seluruh hukum Islam diterapkan dalam seluruh lini kehidupan tentu kasus perceraian tidak akan melonjak seperti saat ini. Sebab, setiap keluarga muslim akan berupaya maksimal untuk mempertahankan pernikahannya. Apalagi pernikahan berkaitan dengan kualitas generasi mendatang. Karena dari keluargalah akan lahir generasi yang kuat dan tangguh, yang akan membawa negeri ini kepada peradaban yang gemilang. Maka menjadi kewajiban setiap pasangan suami-istri untuk membentuk ketahanan keluarga yang kuat. Menjaga ikatan pernikahan dan kehidupan keluarganya dengan selalu terikat dengan hukum Allah. Karena keberkahan dalam sebuah keluarga hanya bisa didapat dengan menerapkan syariah Islam secara kafah.

Wallahu a'lam bishawab.
Previous Post Next Post