Menanti Keadilan Sejati

Oleh: Yuli Ummu Raihan
Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik

Dunia maya sempat dihebohkan oleh sebuah tagar #Tidaksengaja, usai  pelaku penyiraman air keras terhadap Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan, yang dituntut hanya satu tahun penjara. Padahal, publik sudah menunggu lebih dari 3 tahun lamanya atas kejadian penyiraman air keras yang mengakibatkan mata Penyidik Senior KPK ini cacat permanen.

Jaksa  Penuntut Umum memutuskan hukuman satu tahun penjara bagi dua orang pelaku tersebut karena ketidaksengajaan pelaku. Keduanya dinilai melanggar pasal 353 ayat 2 KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Beragam reaksi muncul di masyarakat, salah satunya dari pengamat politik, Rocky Gerung. Ia mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiram adalah air keras kekuasaan. Rocky meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya. Pada Minggu, 14 Juni 2020 ia dan sejumlah tokoh lainnya mendatangi rumah mantan Penyidik Senior KPK ini untuk melihat apa yang sebetulnya terjadi dibalik butanya mata Novel Baswedan. Bukan masalah buta matanya saja, tapi lebih pada bahaya tuntutan jaksa ini sebagai air keras baru buat mata publik dan mata keadilan. Ia juga menilai tuntutan ini  irasional. Untuk itu, pihaknya membuat sebuah gerakan yang dinamai "New KPK" agar mata publik tidak dibutakan oleh air keras kekuasaan.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, juga menyayangkan tuntutan ringan ini. Ia berharap pengadilan objektif melihat kasus ini dan dalam proses keadilan. (merdeka.com, 12/6/2020)

Komika Bintang Emon juga turut bersuara terkait kasus ini. Ia menyampaikan kritik dalam video YouTubenya yang akhirnya viral di sosial media. 

Wajar publik menganggap tuntutan ini sebagai bentuk ketidakadilan. Karena kasus serupa dituntut hukuman lebih berat. Misalnya kasus Ruslan seorang suami yang menyiram istri dan mertuanya pada 18 Juni 2018 lalu didakwa dengan pidana penjara delapan tahun.  Majelis Hakim PN Pekalongan akhirnya menjatuhkan vonis 10 tahun penjara.

Ada juga kasus penyiraman air keras yang dilakukan Rika Sonata terhadap suaminya pada Oktober 2018 yang divonis 12 tahun penjara.

Ini hanya satu dari sekian banyak potret buruk peradilan di negeri ini. Hukum tajam pada mereka yang bukan pendukung rezim dan tumpul pada pro rezim. Tidak peduli siapapun mereka. Baik rakyat biasa maupun tokoh atau orang yang memiliki pengaruh. Bagai pungguk merindukan bulan. Berharap keadilan dalam sistem kapitalis yang berasal dari akal manusia yang terbatas. Maka, tidak heran jika produk yang dihasilkan akan menimbulkan pertentangan dan masalah. Kalaupun memberi solusi hanya sebatas solusi tambal sulam.

Berbeda dengan sistem Islam yang mempunyai seperangkat aturan yang sempurna karena  berasal dari Sang Pencipta dan Pengatur, Allah Swt. yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya.

Sejarah juga mencatat bagaimana keadilan itu benar-benar dirasakan saat Islam diterapkan. Adalah Qadli Syuraih yang menjadi Qadli  (hakim) di masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Kisahnya masyhur saat ia memenangkan seorang lelaki Yahudi atas kasus persengkataan kepemilikan baju besi. Ia juga pernah memenjarakan anaknya sendiri yang menjamin seorang fakir yang berhutang namun tidak sanggup membayar utang tersebut.

Kita rindu dan menanti sosok seperti Qadli Syuraih ini. Namun berharap ada sosok seperti beliau dalam alam demokrasi ini tentu mustahil. Jika ada maka akan banyak mendapat tekanan dari banyak pihak. 

Hanya Islam yang mampu mewujudkan keadilan. Karena hukum Islam digali dari Wahyu Allah yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw.  Ada Ijma' sahabat dan Qiyas yang menjadi sumber hukum, dimana metode penggalian hukumnya dilakukan dengan ijtihad syar'i.

Dalam Islam, sistem sanksi atau uqubat dibagi menjadi empat. Pertama hudud yaitu,  sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah Swt. Kedua, ta'zir  yaitu sanski-sanksi bagi kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Ketiga, mukhalafat yaitu sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa yang berwenang memberi perintah. Keempat, jinayat yaitu pelanggaran terhadap badan yang didalamnya mewajibkan qishas atau membayar diyat (denda) jika keluarga korban memaafkan pelaku. Jinayat juga bisa berupa sanksi atas tindak penganiayaan.

Kasus Novel Baswedan ini termasuk dalam jinayat. Pelakunya wajib membayar diyat dengan kadar sesuai ketentuan syariah.

Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Pada satu biji mata, diyatnya  50 ekor unta."

 Sanksi ini tentu akan memberi efek jera pada pelaku dan menebus dosanya. Sementara bagi korban akan merasakan keadilan dan akan menghilangkan dendam. Inilah hikmahnya sistem Islam. Penerapannya akan menjaga harta, kehormatan, agama, dan nyawa  manusia. Islam sangat sempurna mengatur bagaimana pemeliharaan nyawa dan kesehatan tubuh. Mengharamkan hal-hal yang membuat mudhorot bagi tubuh manusia. Baik untuk diri hamba itu sendiri apalagi untuk orang lain.

Keadilan dalam sistem Islam berlaku untuk siapa saja. Tanpa membeda-bedakan pelaku atau korbannya. Muslim atau non muslim , kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa. Tidak pula karena suku, ras apalagi kepentingan. Siapapun yang melanggar hukum akan dijatuhi sanksi yang sudah ditetapkan. Rasulullah Saw. sendiri pernah berkata jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya. Ini menjadi contoh bagi seorang pemimpin atau hakim dalam membuat keputusan.

Tidakkah kita rindu pemimpin dan  hakim  seperti ini? Masihkah kita mempertahankan sistem yang jelas tidak memberikan keadilan ini? Harus berapa banyak lagi ketidakadilan dipertontonkan, sehingga kita baru sadar jika saat ini kita hidup dengan aturan yang batil.

Bukankah sebagai seorang hamba tugas kita adalah beribadah. Maka, kita hanya bisa beribadah dengan kaffah jika Islam diterapkan di seluruh aspek kehidupan termasuk dalam peradilan 

Wallahu a'lam bishshawab.
Previous Post Next Post