Masa Pandemi Perceraian Meningkat, Ada Apa?

Oleh : Zidni Sa’adah 
(Ibu Rumah Tangga)

 Bukan perjanjian biasa, pernikahan adalah mitsaaqon ghaliizhan (perjanjian yang kuat), sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 21, yang artinya : “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” Ibnu Katsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mitsaaqon ghalizhan adalah memegangnya dengan cara yang patut dan melepaskan dengan cara yang baik. Karenanya, tak main-main kawin cerai semudah membalik tangan seperti fenomena yang marak terjadi saat ini. 

Perjanjian ini membawa konsekuensi masing-masing, bagi suami ada hak dan kewajiban yang melekat, demikian pula bagi istri. Istri yang taat pada suami karena ketaatannya kepada Allah mendapat balasan surga. Rasulullah saw bersabda : “Jika seorang wanita menuaikan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatan dirinya, dan taat kepada suaminya, maka dia akan masuk surga.”(HR.Ahmad). 

Hadits ini seharusnya menyemangati untuk menikah, punya suami dan mentaatinya. Pahala yang dijanjikan begitu besar, bahkan dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bazzar dan Thabrani dinyatakan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah saw dan berkata : 
“Saya datang kepada engkau sebagai utusan para wanita. Jihad itu diwajibkan hanya kepada kaum laki-laki. Jika mereka menang, mendapat pahala. Dan kalau mereka terbunuh mereka tetap dapat pada sisi Allah dengan mendapatkan rizki. Sedang kami kaum wanita yang senantiasa giat melayani suami, apakah kami tidak mendapat pahala?” 

Nabi saw menjawab : 
“Sampaikanlah kepada siapa saja yang engkau jumpai dari kaum wanita. Sesungguhnya ketaatannya kepada suaminya dan mengakui tugas dan haknya, dapat mengimbangi itu semua.”
 Karenanya wajar menjalaninya pun tak mudah dan memerlukan sejumlah pengorbanan. Manajemen diri, manajemen rumah tangga, benar-benar tak ringan. Salah manajemen berarti menuai dosa di dalam rumah. 

Sayang sekali jika pernikahan sebagai separuh dien menjadi sekedar peresmian tinggal satu atap. Sementara di dalamnya penuh dengan pengabaian terhadap aturan Allah. Penuh dengan perampasan hak pasangan, penuh dengan kesibukan menuntut hak dan meremehkan pasangan. ‘Rumahku surgaku’ berubah menjadi ‘rumahku nerakaku’. Na’udzubillah min dzalik. 

Memang tak dipungkiri kenyataannya biduk rumah tangga tidak selalu tenang dan harmonis. Adakalanya ada riak-riak kecil mengganggu, yang terkadang riak-riak tersebut semakin membesar menjadi gelombang yang bisa menghancurkan hingga terjadilah perceraian. 

Akan tetapi kasus perceraian yang terjadi di Indonesia secara umum sudah tidak bisa dikatakan wajar atau biasa, tapi luar biasa mencapai angka fantastis. Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan. Bahkan disebutkan di situasi pandemi covid 19 saat ini, di beberapa daerah di Jawa Barat khususnya kabupaten Bandung, kasus perceraian meningkat tajam. Sebagaimana hal ini diungkapkan  oleh Ahmad Sadikin  selaku Panitra Muda Gugatan Pengadilan Agama Soreang Kabupaten Bandung bahwa selama Juni 2020 terdapat 1102 perceraian yang sebelumnya rata-rata hanya paling 700 perceraian. Latar belakang perceraian rata-rata disebabkan kurang tanggungjawab terhadap nafkah, disamping karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun jauh lebih sedikit di bawah 5 persen. ( AYOBANDUNG.COM).

Dalam penanganan kasus perceraian, Pengadilan Agama berusaha melakukan serangkaian proses mediasi bagi pasangan suami istri, untuk memberikan pemahaman dan titik temu permasalahan agar pasangan batal bercerai. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Beberapa pihak menilai bahwa permasalahan ini muncul karena pandemi, sehingga menyebabkan munculnya tekanan kepada para ibu. Anak-anak sekolah dirumah, suami bekerja dari rumah, bahkan ada suami yang akhirnya terkena PHK sehingga mengharuskan para ibu berfikir dan berjuang keras mengelola keuangan, hingga ada yang terpaksa bekerja. 

Adanya fakta ini tentu membuat kita miris dan prihatin. Suasana karantina wilayah dan tetap di rumah berharap bisa lebih mempererat kebersamaan dalam keluarga. Namun, nyatanya ada yang justru sebaliknya, keluarga tercerai berai, timbul konflik yang meruncing dan berakhir pada perceraian. Mengapa dan ada apa ? Apakah benar meningkatnya perceraian disebabkan pandemi ? 

Di satu sisi memang tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi ini membawa dampak ketidakharmonisan rumah tangga yang berujung pada perceraian, akan tetapi sesungguhnya masalah ini sudah marak sebelumnya.  Sebagaimana diungkap oleh pejabat Pengadilan Agama, Ahmad Sadikin yang mengatakan bahwa setelah pandemi covid 19 ataupun sebelum, perceraian terjadi akibat itu-itu saja, yakni faktor ekonomi, pertengkaran hingga perselingkuhan. (TRIBUNCIREBON.COM)


Dari sini nampaknya pandemi bukanlah menjadi penyebab utama dari meningkatnya kasus perceraian di negeri ini. Akan tetapi lebih di latarbelakangi faktor lain sebagaimana disebutkan di atas. Faktor ekonomi, KDRT dan perselingkuhan bisa jadi baru sebatas sebagai penyebab langsung ketidakharmonisan keluarga, namun bukan berarti sebagai biang kehancuran dalam keluarga. Oleh karena itu perlulah mencari dan menyelesaikan biang kehancuran tersebut hingga ke akar-akarnya. Tidak sebatas dari penampakan luarnya saja. 

Meningkatnya angka perceraian menunjukkan bahwa struktur ketahanan keluarga di negeri ini kian lama kian rapuh. Harapan untuk terciptanya keluarga ideal yang diliputi suasana sakinah, mawaddah warahmah, kini semakin susah ditemukan. Yang ada malah sebaliknya, niat dan orientasi pernikahan mengalami perubahan, pasangan hidup tak lagi menjadi mitra meraih kemuliaan dunia dan akherat atau menjadi sahabat dalam kebaikan dan taqwa. Dan juga ada ketidaksiapan menghadapi beban baru dalam penuaian hak suami/istri dan anak-anak. Akhirnya, menimbulkan traumatis pada kedua belah pihak. Rumah tak lagi memberi suasana nyaman,  'sejuk',  'hangat' serta tempat yang selalu dirindukan bagi tiap anggota keluarganya.  

Inilah efeknya manakala konsep berumah tangga tidak sepenuhnya dipahami secara utuh berdasarkan pada nilai-nilai agama, terkhusus ajaran Islam.  Islam hanya dipandang sebagai ajaran ritual, hingga tak berpengaruh dalam perilaku keseharian baik dalam lingkup individu, keluarga, masyarakat dan negara. Sehingga dengan minimya pemahaman terhadap Islam secara utuh dan menyeluruh, ketika diuji kesulitan termasuk di situasi pandemi ini, tak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup, putus asa dan terjerumus pada kemaksiatan.  Salah satunya dalam lingkup keluarga, mengalami disharmoni bahkan disfungsi yang parah akibat himpitan ekonomi.  

Namun harus diakui rusaknya keluarga sebenarnya adalah efek dari kerusakan yang kini melanda masyarakat. Tidak sekedar karena persoalan individual anggota keluarga. Rusaknya keluarga bisa jadi bukan semata-mata karena anggota keluarga tidak memahami dan menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Misalnya seorang ibu terpaksa bekerja, dengan meninggalkan anak-anaknya karena terbelit oleh kemiskinan. Begitupun, dengan banyaknya anak yang bermasalah bisa saja bukan karena orang tua tak menjaga dan melindungi anak-anaknya di rumah. Namun, kondisi sistemlah yang mengancam dan menjerumuskan pada berbagai persoalan sosial. 

Demikian halnya dengan banyaknya kasus perceraian. Bukan karena sebatas disebabkan disharmonis antara pasangan suami istri. Namun sangat besar kemungkinan dipicu kemiskinan yang membelit keluarga, atau rusaknya moralitas karena maraknya pornografi dan pornoaksi dan kehidupan sosial yang rusak hingga berimbas pada keharmonisan hubungan suami istri. 

Dari sini, jika ditelusuri lebih jauh lagi, ada dua hal yang memicu beragamnya persoalan dalam keluarga. Dua persoalan tersebut adalah kemiskinan struktural dan rusaknya tatanan sosial. Dua keadaan inilah yang telah menyeret keluarga pada kehancurannya. 

Kemiskina struktural dan rusaknya tatanan sosial tentu tak lepas kaitannya dengan sistem (tata kelola) negara. Dan realitasnya, negara saat ini dikelola dengan tatanan demokrasi yang menjungjung tinggi nilai-nilai kebebasan, baik kebebasan ekonomi, kebebasan berprilaku dan berpendapat, hinggga kebebasan berkeyakinan. 

Nilai-nilai inilah yang memberikan pengaruh pada dua kondisi tersebut hingga menyeret keluarga pada kehancuran. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan keluarga dari kehancurannya hakikatnya adalah diperlukan upaya sistematik mengubah tata kelola negara yang menyengsarakan keluarga dengan tata kelola negara yang menyelamatkan dan menguatkan ketahanan keluarga.  Artinya, problem keluarga sejatinya merupakan problem sistemik, bukan problem individual anggota keluarga. Dari sini solusi yang diperlukan adalah solusi sistemik bukan solusi individual.

Islam memiliki aturan yang menyeluruh (sistemik) untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk berumah tangga. Jika saja seluruh hukum-hukum Islam diterapkan di muka bumi ini, tentu saja kasus perceraian yang terus meningkat ini tidak akan terjadi.  Seorang istri akan fokus menjalankan kewajiban dan menuntut haknya dengan baik, tanpa disertai gangguan pemikiran yang tidak benar mengatasnamakan memandirikan perempuan. Begitupun para suami akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. Sehingga pernikahan dipandang menjadi bagian dari ibadah bukan hal yang tidak mungkin terjadi. 

Dengan demikian setiap keluarga muslim yang hidup dalam naungan sistem Islam akan berupaya maksimal mempertahankan pernikahannya. Karena dari pernikahan akan lahir generasi berikutnya,. Kokohnya institusi rumah tangga akan menentukan ouput yang dihasilkan. Suami menjadi sosok pemimpin yang handal. Anak-anak menjadi bagian khoiru ummah. Seluruh anggota keluarga bahu membahu mengemban misi hidup. Bersama memberi warna. Bukan hanya warna diri dan keluarga sendiri, namun memberi warna bagi masyarakatnya dengan mengajak mereka agar memiliki ketundukan pada Allah. Kondisi ini bisa terwujud manakala keluarga muslim saat ini mau bangkit dari keterpurukan dengan jalan kembali kepada Islam kaffah dalam naungan Khilafah. 
Wallahu a’lam bishshowwab.
Previous Post Next Post