Kurikulum Moderasi, Tepatkah?

Oleh: Abida Wadiatun Ilahi
  Lagi, setelah menuai kontroversi di awal peluncurannya, ide ini kembali muncul di permukaan.  Dari media detikNews (11/07/2020) bahwa ditahun ajaran baru 2020/2021, Madrasah menggunakan kurikulum Pendidikan Agama Islam atau PAI dan Bahasa Arab yang baru. Kurikulum tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Agama atau KMA 183 tahun 2019. Kembali, dari detikNews, perubahan atau pembaharuan kurikulum ini bukan dari segi jenis mata pelajarannya melainkan substansinya.  Beberapa materi yang tergolong mendapat perubahan adalah yang dikatakan memuat ajaran 'radikal': mata pelajaran Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, al-Quran dan Hadis, serta Bahasa Arab. Mempertegas, Menteri Agama, Fachrul Razi dalam okezone.com (3/07/2020) menyampaikan " 'Moderasi beragama harus menjadi bagian dari kurikulum dan bacaan di sekolah. Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran, muatan tentang pemahaman keagamaan yang inklusif diperkuat, Kemenag juga mengintegrasikan moderasi beragama melalui bimbingan perkawinan, karena keluarga merupakan tempat transmisi nilai-nilai yang paling kuat. Materinya tidak hanya terkait konsep pernikahan dalam, tapi juga membahas persoalan kesehatan dan moderasi beragama.' Kata Menag seperti dikutip dari laman resmi Kemenag."
  Dari beberapa fakta rencana perubahan KMA di atas, dapat ditarik satu benang merah, yakni moderasi beragama. Semua itu dilakukan demi penguatan moderasi beragama. Istilah ini, sebenarnya muncul beberapa tahun terakhir, mengikut ramainya perdebatan dan pembahasan tentang Khilafah juga Jihad. Terlepas dari baik dan buruk serta benar dan salah pandangan yang tersebar di masyarakat luas terkait hal itu (Ajaran Islam).
  Jika ditelusuri, dalam situs Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI (8/10/2019) moderasi beragama diartikan sebagai proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasikannya. Dalam laman tersebut juga dijelaskan, hal ini bukan tentang memoderasi agama namun memoderasi cara manusia beragama karena hal itu selalu diperlukan bagi masyarakat yang beragam. 
  Dalam hal tersebut, dibedakan antara moderasi agama dengan moderasi beragama. Sejalan dengan yang disampaikan di atas, Agama tidak perlu dimoderasi namun cara orang beragama yang dimoderasi. 
  Dari makna moderasi beragama yang disampaikan pada situs Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, secara sekilas kita tenang bahwa itu baik-baik saja. Namun, perlu di perhatikan dan dikawal dalam penerapannya makna 'adil dan seimbang' dalam pernyataan tersebut dinisbatkan kemana. Karena kata adil juga seimbang adalah kata sifat yang senantiasa dipengaruhi. Begitu juga dengan makna 'berlebih-lebihan'. Apa yang mempengaruhinya tidak lain adalah sesuatu yang mendasar dalam kehidupan manusia. Bahasa umumnya persepsi kalau dalam Islam biasa disebut akidah. Ketika akidah atau pemikiran mendasar ini memiliki seperangkat metode untuk dijalankan disebutlah ia sebagai ideologi. Setiap ideologi memiliki pemikiran khasnya masing-masing, pemikiran mendasar yang mendasari pemikiran-pemikirannya yang lain. Termasuk dalam hal memandang keadilan atau adil dan seimbang. Hal ini perlu dibahas demi kehati-hatian dan menjaga dari salah jalur dalam memahami tuntunan. Jika memahami tuntunan agama secara adil dan seimbang itu adalah mengganti ajaran Islam yang 'dianggap' radikal (entah siapa yang berhak menilainya), maka itu dari sudut pandang selain Islam. Karena, isu radikalisme yang sering kali di arahkan kepada Muslim dan ajarannya ini, banyak pihak menyampaikan bahwa ia hanyalah propaganda barat sebagai pengganti isu terorisme yang dicanangkan mereka sebelum isu radikalisme ini muncul. Bukankah kita familiar dengan kalimat 'war on terrorism' nya presiden Amerika? Jadi, sekali lagi bahwa setiap ideologi memiliki cara pandang khas terhadap segala sesuatu.
  Di dunia ini, setidaknya ada 3 jenis ideologi besar: Kapitalisme, Sosialisme-Marxisme dan Islam. Ya, Islam juga merupakan sebuah ideologi karena dari segi apapun Islam memenuhi syarat sebuah ideologi. Kapitalisme, berdiri di atas landasan sekulerisme, yakni paham pemisaham agama dengan kehidupan bernegara. Mereka meyakini adanya Tuhan sebagai pencipta tetapi tidak sebagai pengatur. Kemudian Sosialisme-Marxisme, landasan mereka adalah materialisme. Tidak meyakini adanya tuhan, namun meyakin bahwa segala yang ada di dunia ini terjadi karena evolusi materi. Menganggap agama hanya candu yang harus dihindari. Sedangkan Islam, meyakini Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta sekaligus pengatur, memberi petunjuk kepada manusia menjalani kehidupannya agar selamat hingga kembali kepadaNya.
  Sebagai sebuah ideologi, Islam tentu sebagaimana ideologi lainnya memiliki cara pandang dan pemikiran tertentu terhadap segala sestuatu dan itu khas. Termasuk dalam memandang keadilan dan keseimbangan. Namun, sayang seribu sayang sejak diruntuhkannya institusi Islam kurang dari satu abad yang lalu, ideologi yang memimpin dunia adalah ideologi kapitalisme. Sehingga dalam moderasi beragama ini sangat mungkin, bahwa ruh dalam menjalankannya adalah Kapitalisme (bukan Islam). Kita khawatir bahwa, moderasi beragama yang dicanangkan dalam beberapa hal termasuk dalam kurikulum pendidikan Madrasah dan sekolah islam lainnya hanya akan memudarkan ajaran Islam yang sebenarnya dari para santri dan pemuda Muslim. Apalagi jika sebagai jalan menyampaikan ajaran Islam tidak relevan lagi. Berbahaya, sangat berbahaya.
  Kita berharap bahwa makna moderasi beragama ini tidak dipahami dan dijalankan melainkan sesuai dengan sebagaimana seharusnya. Sehingga tidak akan kita temukan penyalah gunaannya. Dan, ya, sesungguhnya jika moderasi ini digunakan sebagai dasar untuk merubah ajaran Islam dengan alasan yang tidak syari, tentu itu sudah dipengaruhi ideologi lain selain Islam. Begitu pun dengan apa yang kita dengar dewasa ini, dibuatnya sertifikasi bimbingan teknis mubalig setelah sebelumnya mendapat banyak pertentangan dengan melakukan sertifikasi penceramah. Padahal dakwah adalah kewajiban setiap Muslim. "Sampaikanlah walau satu ayat."
  Terakhir, moderasi beragama, dalam hal ini kurikulum yang dimoderasi, belum jelas akan dampak positifnya bagi tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam. Kurikulum moderasi yang katanya akan menghindarkan dari keekstriman dalam beragama. Ekstrim dalam sudut pandang siapa? Jangan sampai, opini yang tersebar saat ini nyata, bahwa ekstrim itu dijadikan julukan bagi mereka yang serius ingin taat beragama, serius memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Na'udzubillah. Hal ini sangat berbeda dengan bagaimana Daulah Islam menjalankan sistem pendidikannya. Yang tujuannya adalah membentuk kepribadian Muslim yang Islami. Apa yang pasti adalah perintah Allah agar kita masuk Islam secara keseluruhan. Mengambil Islam semuanya, bukan yang disukai saja, termasuk yang dewasa ini dituduh paham radikal. Jika itu ajaran Islam maka sesungguhnya yang salah adalah cara pandang mereka bukan ajarannya. Sangat perlu untuk ditelaah lebih baik lagi bagi kita selaku orang yang beriman. Dalam Firman-Nya: 
"Wahai orang-orang yang beriman! masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu." (TQS. al-Baqarah: 208)
Wallaahu a'lam.
Previous Post Next Post