Kesejahteraan Guru Semakin Jauh dalam Sistem Kapitalisme

By : Dian Mayasari

Pasca terbitnya Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud No. 6 Tahun 2020, tunjangan guru non-pns dihentikan. Disebutkan dalam pasal 6 Persekjen 6/2020, pemberian tunjangan profesi sebagaimana dimaksud ayat (1) dikecualikan bagi: a. guru pendidikan agama yang tunjangan profesi guru agama dibayarkan oleh Kementerian Agama; dan b. guru yang bertugas di satuan pendidikan kerja sama.Yang menjadi masalah adalah pasal 6 poin b. Tunjangan guru dalam Satuan Pendidikan Kerja sama (SPK) disetop. Melansir detik (21/07/2020), Forum Komunikasi Satuan Pendidikan Kerja Sama Indonesia mengadu ke DPR.

Hasil rapat dengar pendapat menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya Komisi X DPR RI mendesak Kemendikbud RI meninjau ulang Persekjen Kemendikbud RI No. 6/2020 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus Bagi Guru Bukan PNS serta Peraturan Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud No. 5745/B.B1.3/HK/2019.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai penghentian tunjangan guru di SPK mengganggu rasa keadilan terhadap profesi guru. Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi, mengatakan tunjangan guru adalah hak semua guru.

Ketua Forum Komunikasi Guru SPK Indonesia, Mochammad Cholid Riza mengatakan guru di SPK bukan hanya berasal dari sekolah internasional, tapi sekolah swasta biasa yang gajinya biasa-biasa saja.Sementara itu, Kemendikbud membantah disebut menghapus tunjangan, namun tak adanya tunjangan karena para guru SPK tak memenuhi standar yang ditentukan.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Dalam aturan tersebut pemerintah memotong tunjangan guru sebesar Rp3,3 Triliun.
Tunjangan guru dipotong dalam tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun.

Pemotongan anggaran di sektor pendidikan juga dilakukan pemerintah terhadap dana Bantuan operasional Sekolah (BOS), bantuan operasional penyelenggaraan PAUD, bantuan operasional pendidikan kesetaraan, serta bantuan operasional museum dan taman budaya. 
Pemotongan anggaran pendidikan dan tunjangan guru menunjukkan perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan sangat minim. Menjadi guru di tengah pandemi adalah tantangan tersendiri. Belum lagi tantangan di daerah pelosok yang susah sinyal. Bahkan ada guru yang rela mendatangi rumah siswanya satu per satu lantaran siswa tersebut tak memiliki sarana dan prasarana untuk belajar. Dari kebijakan ini, tampak jelas pemerintah tak memprioritaskan pendidikan sebagai masalah utama. Padahal, kesejahteraan guru berpengaruh pada produktivitas mereka sebagai guru.

Tatkala guru tak diberi fasilitas dan sarana yang mumpuni, gaji rendah, dan tunjangan pun harus lenyap, apa yang terjadi? Bisa-bisa pendidik negeri ini beralih profesi. Karena menjadi guru tak sejahtera, bisa saja mereka banting setir menekuni pekerjaan yang lebih memapankan hidup mereka.Padahal peran mereka sangat besar dalam membentuk generasi berakhlak mulia dan berkualitas.
Untuk menjadi seorang guru harus melewati proses panjang. Untuk mendapat tunjangan harus berjuang melalui program sertifikasi pendidikan profesional. Betapa banyak syarat yang wajib dipenuhi untuk satu profesi guru: Harus melalui ujian kualifikasi, seleksi kelayakan, hingga dinyatakan menjabat sebagai guru profesional. Eh, kini begitu mudahnya tunjangan disisihkan. Dengan alasan tak memenuhi standar dan syarat yang ditetapkan.

Jika pemerintah ingin melakukan efisiensi anggaran, mengapa tak memangkas anggaran lain yang lebih boros? Semisal memangkas gaji pejabat atau memangkas Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud yang dianggarkan hingga Rp567 miliar ini.

Dana sebesar itu lebih baik dialokasikan untuk prioritas yang lebih urgen di sektor pendidikan. Seperti membantu siswa yang terdampak pandemi, memberi insentif atau tunjangan terhadap guru/honorer, atau penyediaan fasilitas yang bisa menunjang pembelajaran jarak jauh terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Mengadakan program pelatihan dan peningkatan kompetensi guru di masa pandemi belumlah urgen dilakukan. POP Kemendikbud diketahui menggandeng banyak organisasi untuk pendampingan dan pelatihan guru yang diikuti melalui proses seleksi. NU, Muhammadiyah, dan PGRI diketahui mundur dari program tersebut karena dinilai seleksinya tidak jelas.
Anggaran pendidikan yang dibalut dalam sistem kapitalisme terlalu mengedepankan kepentingan dan kekuasaan. Rasa keadilan, empati, dan peduli terhadap dunia pendidikan tercederai kepentingan yang dibumbui kapitalisme. Pendidikan tak lagi menjadi wadah menanam bibit-bibit generasi unggul. Pendidikan justru dikapitalisasi seperti komoditas lainnya. Akibat penerapan sistem ini, lahirlah manusia-manusia miskin visi dan misi.Mengangkat menteri hanya untuk memberi ruang kekuasaan demi balas budi. Sekalipun tak memiliki kompetensi, jabatan menteri pendidikan berlatar apa pun bisa terjadi di ruang demokrasi kapitalis. Akibat salah penempatan orang, kebijakannya pun bisa ngawur dan ngasal.

Dalam Islam, pendidikan adalah modal dasar membangun sebuah peradaban. Pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan dalam islam memperoleh sumber pembiayaan pendidikan dari negara (baitulmal). Di masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan pendidikan berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur.

Sekadar diketahui, gaji guru di masa Khalifah Umar bin Khaththab sangat besar nilainya. Gajinya sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasi dengan harga emas hari ini bisa mencapai Rp62.730.000.Pemberian gaji ini tak memandang status pegawai negeri atau bukan, bersertifikasi atau tidak. Semua yang berprofesi guru akan diberi hak yang sama.

Tak heran bila di masa kejayaan islam, lahir generasi cerdas dan mulia sebab didukung sistem politik ekonomi yang memberi jaminan kesejahteraan; sistem sosial yang membentuk manusia bertakwa, yakni guru saleh dan salihah; serta sistem pendidikan yang menunjang segala kebutuhan dunia pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan bukan karena tidak ada sumber pembiayaan, melainkan karena sistem negara yang korup dan rusak. Oleh karenanya, sudah saatnya sistem negara ini ditata ulang sesuai dengan syariat islam
Previous Post Next Post