Kabinet Demokrasi VS Mu'awin Era Khilafah

Oleh : Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember

Viral, video Jokowi marah kepada kabinetnya di Sidang Kabinet Paripurna, rapat tertutup, (18/6/2020). Baru disebarkan sepuluh hari kemudian. Merasa jengkel karena menganggap menteri belum memiliki sence of crisis dan bekerja seperti kondisi normal. Karena itu Jokowi siap mempertaruhkan reputasi politiknya untuk membuat kebijakan, mulai dari membuat Perppu, membubarkan lembaga hingga reshuffle kabinet atas kepentingan 267 juta rakyat Indonesia.

Benar-benar keterlaluan, di saat rakyat menunggu, apa nggak punya perasaan? Suasana ini kritis kok bisanya anggaran gak segera dicairkan. Contohnya, biaya kesehatan yang dianggarkan sekitar 75 triliun, baru cair 1, 57 persen.

Kemudian penyaluran bantuan sosial untuk rakyat serta stimulus ekonomi bagi dunia usaha juga belum optimal. Begitu juga dengan  kementerian yang ditugaskan untuk ikut menangani dan memitigasi dampak pandemi Covid-19, demi pemulihan ekonomi, meningkatkan daya beli masyarakat, sekaligus menciptakan lapangan kerja.

Kekesalan dan kekecewaan presiden yang dipertontonkan kepada publik, sama artinya dengan menginformasikan kepada publik atas kegagalannya menangani wabah Covid-19. (Tribunnews.com, 30/6/2020)

Hal itu, ibarat menepuk air di dulang, yang akhirnya tepercik ke muka sendiri. Sebab, sudah diketahui khalayak umum ketika pengukuhan Kabinet Indonesia Maju, Presiden Jokowi menegaskan: "Tidak ada visi dan misi dalam kabinet ini, selain visi dan misi presiden." Hal ini tentu membawa konsekuensi dengan apa yang diucapkannya menjadi tanggung jawab presiden. Artinya, buruknya kinerja pembantu (kabinet) menjadi tanggung jawab presiden yang memberikan arahan. Bukan mencari 'kambing hitam' untuk menutupi kelemahan sendiri.

Lebih tepatnya merupakan "dagelan politik pencitraan." Kenapa dagelan? Karena lucu, video dishare setelah sepuluh hari kejadian, aneh bukan, memang sedikit memalukan. Mencari kambing hitam untuk menutupi kegagalannya sebagai presiden dalam memerintah atau memimpin lewat kinerja menterinya yang inkompeten.

Itulah gambaran kerja kabinet oligarki pejabat pemerintah, yang dipilih tidak mempunyai kapabilitas dalam menyelesaikan masalah rakyat. Hal tersebut sangat wajar, karena pejabat dipilih atas dorongan kepentingan partai yang sedang berkuasa. Yah, begitulah demokrasi.

Kemudian terjadilah bagi-bagi jatah atau kursi kekuasaan atas partai-partai pemenang pemilu. Akhirnya, penguasa bekerja bukan untuk rakyat, tapi untuk kepentingan partai dan ambisi kekuasaan. Termasuk mengamankan kepentingan para kapital yang telah memberikan sokongan dana saat proses pemilu. Jadi mustahil jika pemerintahan oligarki kapitalis bisa menangani pandemi, karena yang diutamakan adalah keuntungan semata.

Semua itu disebabkan karena asas yang diadopsi adalah sekularisme yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Mereka menuntut kebebasan untuk menuruti hawa nafsunya dengan mengabaikan wahyu. Mereka menafikan agama, dan lupa kalau semua perbuatannya diawasi Allah, serta di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi sistem demokrasi kapitalisme gagal menyejahterakan rakyatnya. Demokrasi adalah sistem utopis.

Hanya Islam yang bisa memberikan kebijakan yang sahih dan solutif.

Pemimpin yang amanah hanya lahir dari sistem  pemerintahan yang bersumber dari Allah yaitu khilafah.
Dalam sistem khilafah, seorang pemimpin (khalifah) bertanggung jawab penuh mengurusi dan melayani seluruh rakyatnya, termasuk saat pandemi.

Mengingat tanggung jawabnya yang begitu besar, syara' membolehkan untuk mengangkat pembantu. Yaitu dalam rangka mengemban tugas-tugas serta tanggung jawab kekhilafahan. Hukum mengangkat pembantu (mu'awin) adalah mubah. Ada dua mu'awin yakni:
1. Mua'win Tafwidh,  yaitu pembantu khalifah dalam bidang pemerintahan.

2. Mu'awin Tanfidz, yaitu pembantu khalifah bidang administrasi.

Adapun dalilnya,
sebagaimana termaktub dalam hadis berikut ini, “Sesungguhnya Allah menguatkanku dengan empat pembantu: dua dari penduduk langit yaitu Jibril dan Mikail. Dan dua dari penduduk bumi yaitu Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ibnu Abbas)

Oleh sebab itu, khalifah akan memilih mu'awin sesuai dengan
syarat yang ditentukan syariat. Yaitu seorang lak-laki, baligh, merdeka, berakal, dan adil. Dalam hal ini harus mempunyai kemampuan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya.

Mu'awin Tafwidh diangkat oleh khalifah, bersama-sama dengan khalifah memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Baik yang didelegasikan maupun tidak, bisa mengurusi dan memutuskan urusan-urusan dengan pendapatnya. Menggunakan ijtihadnya, berdasarkan hukum syara'.

Namun demikian, harus melaporkan setiap tindakannya kepada khalifah, baik yang kecil maupun yang besar.

Adapun khalifah wajib mengontrol tugas-tugas mu'awin, agar bisa melaksanakan tanggung jawab mengurusi urusan rakyat.

Sedangkan Muawin Tanfidz, pembantu khalifah dalam masalah operasional sebagai protokoler. Tugasnya semara-mata terkait administrasi. Untuk malaksanakan semua urusan diperlukan cara dan sarana-sarana tertentu. Departemennya merupakan instansi (aparat) yang berfungsi untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh khalifah, baik instansi ke dalam dan ke luar negeri. Ada instansi khusus bertugas memenuhi kepentingan rakyat, karena suatu keharusan. Instansi terdiri dari departemen, jawatan dan unit-unit tertentu. Departemen merupakan jawatan tertinggi, misalnya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, Industri dan lainnya. Diangkat seorang dirjen yang profesional, bertanggung jawab kepada khalifah dan terikat dengan hukum syara'. Adapun
pembiayaan departemen kemaslahatan diambilkan dari  baitulmal yang siap disalurkan kapan pun.

Ada tiga strategi dalam mengurusi departemen yaitu 
1. Sederhana dalam aturan, akan menyebabkan kemudahkan. Sebaliknya aturan yang rumit menimbulkan kesulitan.
2. Cepat dalam pelayanan.
3. Pekerjaan ditangani oleh ahlinya (profesional).

Jadi sangat gamblang, perbedaan antara pembantu (kabinet) dalam sistem demokrasi yang tidak punya wewenang karena visi dan misi sepenuhnya di tangan presiden. Dalam semua urusan menafikan agama (tidak terikat dengan hukum syara'). Jadi wajar jika menuai kegagalan, tidak akan bisa menyejahterakan rakyatnya. Demokrasi sistem batil harus dicampakkan.

Saatnya umat Islam kembali ke sistem khilafah yang berasal dari Allah dan Rasulullah. Pasti akan membawa rahmat bagi seluruh alam.
Allah berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. al-Maidah [5]: 50)

Wallahu a'lam bishshawab.

Catatan: Sumber, buku Sistem Pemerintahan Islam (Abdul Qadim Zallum)
Previous Post Next Post