Ilusi Keadilan di Sistem Demokrasi


Oleh : Nurhalidah Muhtar

Mengharapkan keadilan di sistem demokrasi bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Terombang ambing tanpa kepastian. Hanya menguras tenaga dan emosi. Toh pada akhirnya setiap masalah yang ditangani diranah hukum berakhir tanpa kejelasan. Dan tidak menutup kemungkinan pelaku berlakon seolah-olah jadi korban sehingga korban dijadikan pelaku. Sehingga keadilan hanya ada dalam angan. Fenomena keadilan seperti ini hanya ada dalam sistem demokrasi.

Terbukti dengan penanganan kasus penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan. Dimana Aksi teror Novel Baswedan terjadi pada 11 April 2017 lalu. Saat itu, Novel hendak pulang usai menunaikan salat Subuh di Masjid yang tak jauh dari kediamannya. Akibat dari aksi teror tersebut, Novel Baswedan mata kirinya mengalami buta. Naasnya pelaku penyiraman tak jua berhasil ditangkap. Bahkan kasus ini lebih kurang satu tahun jalan ditempat. Akhirnya sedikit menggembirakan pada tanggal 26 Desember 2019 lalu pelaku penyiraman air keras terhadap Novel berhasil di tangkap.

Sungguh sangat mencengangkan setelah sekian lama menanti, Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman pidana selama 1 tahun penjara. Tuntutan ini sangat tidak masuk akal dan menyita perhatian publik, termasuk Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), sayangnga KKRI tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Namun Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak Pihaknya berjanji akan memberikan sejumlah rekomendasi setelah persidangan berakhir.

Hal itu sesuai dengan Perpres 18 Tahun 2011 Tentang KKRI. Barita mengutip pasal 13. Disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya KKRI tidak boleh mengganggu tugas kedinasan dan mempengaruhi kemandirian Jaksa dalam melakukan penuntutan, sehingga untuk materi maupun teknis penuntutan adalah ranah Kejaksaan (Liputan6.com, 14/06/20).

Menanggapi hal ini Pengamat politik Rocky Gerung mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya (VIVAnews, 14 Juni 2020).

Namun Jaksa mempunyai alasan tersendiri ketika hanya menuntut 1 tahun penjara. Terlansir dilaman detikNews, Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke Novel Baswedan ke badan. Namun mengenai kepala korban. Jaksa mengatakan alasan selanjutnya memberikan tuntutan ringan adalah terdakwa mengakui perbuatannya. Selain itu, kedua terdakwa telah meminta maaf kepada Novel dan keluarga (11/06/20).

Korban telah kehilangan salah satu organ tubuhnya. Jaksa malah meringankan hukuman kedua pelaku dengan alasan-alasan konyolnya diatas. Bahkan selevel KKRI berpangku tangan melihat keputusan yang dinilai tidak relevan dengan apa yang dialami oleh korban. Dengan alasan bukan ranahnya untuk  melakukan intervensi. Padahal kecurangan hukum sudah jelas didepannya. Inilah Dampak dari peraturan yang diterapkan di indonesia telah berhasil mengkotak-kotakan lembaga/institusi, sehingga lembaga-lembaga tersebut tidak boleh ikut campur urusan lembaga lain meskipun kejahatan ataupun kecurangan terpampang jelas. Air bah protes dan ketidakpercayaan publik terhadap hukum di Indonesia ini bukan kali pertamanya.

Munculnya ketidakadilan hukum yang diterapkan di negeri ini adalah hal yang wajar. Hukum sangat bergantung pada siapa yang berkuasa dan kepentingan-kepentingan yang dibawanya. Persamaan didepan hukum menjadi tidak ada. Karena sejak lahirnya memang hukum itu tidak diperuntukkan bagi semua. Prinsip sekular yaitu memisahkan agama dari kehidupan menjadi biang bercokolnya hukum yang tidak adil. Prinsip-prinsip hukum sangat mudah berubah tergantung kekuatan, kekuasaan, dan kepentingan sehingga tidak akan ditemukan kebenaran yang hakiki, sebab hukumnya bersumber dari akal manusia. Inilah cacatnya hukum sekular yang sejati.

Lalu dimana kita akan memperoleh keadilan yang hakiki? Sudah pasti jawabannya hanya Islam. Islam memiliki keistimewaan hukum. Hukum persanksian dalam islam tidak hanya sebagai sanksi yang dijatuhkan di dunia tapi bisa menebus azab di akhirat.  Dan membuat efek jera terhadap pelaku.

Dalam penganiayaan atau penyerangan atas badan islam mewajibkan adanya qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

Artinya :َHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (al-Baqarah/2:178-179).

Apabila pelaku memperoleh ma'af dari korban maka pelaku dikenakan diyat. Diyat karena melukai, pemotongan, membuat cacat, menghilangkan anggota badan yaitu, 100 ekor unta bagi anggota badan yang berpasangan, 50 ekor unta bagi anggota badan yang berpasangan jika salah satunya dipotong/lukai, 33 ekor unta bagi luka kepala sampai otak, luka badan sampai perut. 15 ekor unta jika melukai kulit diatas tulang, 10 ekor unta jika melukai jari tangan atau jari kaki sampai terputus, 5 ekor unta jika meruntuhkan satu gigi.

Pengaturan dalam islam tidak sempit hanya mengurusi sholat, shaum, dan haji. Islam meliputi segala aktivitas kehidupan manusia. Dari bangun tidur sampai bangun negara, dari masalah ruhiyah sampai pada urusan daulah. Ini bukan hanya teori atau konsep, dan bukan pula filsafat belaka yang hanya dibicarakan dan diceritakan turun temurun pada generasi. Melainkan terbukti peradaban islam pernah berjaya serta tidak ada tandingannya dengan sistem buatan manusia. Wallahu a’lam bish-showab.
Previous Post Next Post