Food Estate" Solusi ala kapitalis

By : Dian Mayasari

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjadi penanggung jawab untuk membangun food estate (lumbung pangan) seluas 178 ribu ha (cnnindonesia.com, 09/07/2020). Food estate ini direncanakan bertempat di Provinsi Kalimantan Tengah, meliputi Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. Jokowi menyatakan food estate yang akan dibangun pada tahap awal seluas 30 ribu hektare.

Lalu, dalam waktu satu setengah tahun atau maksimal dua tahun akan ditambah lagi lumbung padi seluas 148 ribu ha. Menurut Jokowi pula, pembangunan food estate ini akan dimonitor Kementerian Pertanian dan Kementerian PUPR. Selanjutnya, pemerintah setempat seperti gubernur hingga bupati ikut memantau pembangunan tersebut. Pembangunan food estate ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi potensi krisis pangan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini sesuai peringatan kelangkaan bahan pangan yang disampaikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) beberapa waktu lalu. Bahwa krisis pangan akan melanda dunia. Pasalnya, saat ini sedang pandemi, di samping memang karena musim yang tidak bisa diatur dan diprediksi. Karenanya pemerintah mengklaim perlu menyiapkan cadangan logistik nasional untuk pangan.

Atas dasar ini, sedikitnya ada tiga hal yang perlu kita perhatikan perkembangannya terkait food estate ini: Pertama, tentang suntikan dana pemerintah kepada perusahaan sawit. Perlu diingat, sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com (17/01/2018), lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun sepanjang Januari—September 2017, yakni Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).
Kedua, harga BBM yang tak kunjung turun kendati harga minyak dunia tengah anjlok sempat menimbulkan polemik di awal pandemi Covid-19. Di tengah ekonomi yang mulai merosot, tentu semakin memberatkan rakyat ketika harga BBM tak ikut turun. Saat itu, Pertamina beralasan banyak kilang minyaknya yang sudah tua dan membutuhkan biaya peremajaan. Akibatnya, penurunan harga BBM memang tak dapat dilakukan.

Dari cnnindonesia.com (29/06/2020), Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengaku pihaknya bisa saja menurunkan harga BBM ketika harga minyak mentah dunia terkoreksi, dengan catatan jika perusahaan melakukan impor BBM 100 persen untuk dijual. Namun, perusahaan sejauh ini mengimpor minyak mentah. Padahal, harga BBM impor memang lebih murah daripada impor minyak mentah dunia. Selain itu kilang dan sumur Pertamina akan tutup jika perusahaan melakukan impor BBM 100 persen. Jika ini terjadi, maka upaya menutup kilang atau menutup sumur minyak sebenarnya akan lebih menguntungkan Pertamina.Tapi karena sebagai BUMN, maka Pertamina beralasan industri turunannya akan ikut mati jika sumur minyak ditutup.
Ketiga, kian santernya berita tentang kebijakan produksi green fuel oleh Pertamina. Menurut Siaran Pers Kementerian ESDM Nomor 252.Pers/04/SJI/2020, pemerintah mengumumkan akan mewujudkan energi ramah lingkungan dengan mendorong pengembangan green fuel (esdm.go.id, 18/07/2020) yang tak lain adalah green energy itu sendiri. Hal ini berdasarkan klaim di mana ketergantungan terhadap energi fosil yang tinggi mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengembangkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, mengatakan Pemerintah saat ini terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati.
Fakta adanya liberalisasi di sektor migas akibat keberadaan perusahaan-perusahaan swasta nasional maupun asing, terlebih dengan lelang sejumlah blok Migas serta Pertamina yang hendak menjadi produsen terbesar di Indonesia pada 2021 mendatang, sekaligus memimpin holding BUMN migas, makin menguatkan informasi bahwa keberpihakan pemerintah kepada swasta juga semakin besar. Jika sebatas tinjauan keilmuan, tidak ada yang salah dengan konsep green fuel. Yang jadi masalah adalah ketika ternyata pelibatan para kapitalis di sektor ini juga cukup besar. Pasalnya, profit dan kemanfaatan sumber daya energi tersebut tentu saja tidak akan berkontribusi pada kebutuhan rakyat. Justru sebaliknya, kembali lagi mengisi pundi-pundi para pemodal.

Hal tersebut menjadi sesuatu yang harus diwaspadai. Barangkali cepat atau lambat, pemerintah mendadak berubah pikiran hingga akhirnya merekondisi kebijakan food estate ini. Tak terkecuali menyusupkan sejumlah kepentingan ekonomi kapitalis di tengah kian sibuknya rakyat bertarung antara hidup dan mati menghadapi pandemi. Yang dampaknya sangatlah mungkin pada akhirnya penetapan food estate di tengah pandemi ini justru tak ubahnya pesta topeng kapitalisasi dan privatisasi green fuel. Di balik itulah sedang terjadi permainan tersembunyi para kapitalis oligarki alias para konglomerat tadi. Karena itu, ada baiknya kita memahami filosofi status sumber daya energi dari aspek kepemilikannya, yang tak lain adalah kepemilikan milik umum. Dengan status tersebut, sangat tidak dibenarkan sumber daya energi itu dikapitalisasi/diprivatisasi swasta.

Terkait hal ini, Islam sebagai tata aturan kehidupan yang bersumber dari Alquran dan Sunah, memiliki mandat tetap yang tidak bisa dikompromis atas nama pemodal. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw menyatakan kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki individu, termasuk dalam hal ini para pemodal swasta. Para ulama sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama, tidak boleh dimiliki/dikuasai seseorang atau hanya sekelompok orang.

Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal ini bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan orang banyak (komunitas), dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Ketika ketiga hal tersebut dikuasai kapitalis, maka akan membuahkan beragam kezaliman. Lihat saja, harga BBM beserta kebutuhan pokok lainnya tak kunjung turun harga. Padahal ini sedang dalam kondisi pandemi. Alih-alih berniat baik memfungsikan tanggung jawabnya selaku pemelihara urusan masyarakat, pemerintah berperan kuat memuluskan segala macam kebijakan kapitalistik. Dengan kata lain, pemerintah telah melepaskan fungsi sebagai pemimpin. Menyandera seluruh kebijakannya dalam lingkaran oligarki demi ikut berpesta pora menikmati recehan profit usaha.
Previous Post Next Post