Atasi Pendemi, Tak Cukup Dengan Reshuffle

By : Sitti Nurlyanti Sanwar, S.ST.,MH.Kes
(Penulis Lepas dan Pegiat Sosial Media)

Jokowi siap mempertaruhkan repurtasi politiknya untuk membuat kebijakan extraordinary, mulai dari membuat perppu, membubarkan lembaga hingga reshuffle. Begitulah pernyataan kekecewaan Presiden Jokowi kepada jajaran kabinetnya terhadap kinerja yang tidak maksimal dalam menangani pendemi covid-19. Hal ini terjadi sejak tiga bulan terakhir dan tiga bulan ke depan dalam suasana krisis. 

Merujuk pada proyeksi pertumbuhan proyeksi ekonomi yang dibuat oleh beberapa lembaga internasional Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengatakan pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi 6 % samai 7,6% minusnya. Bank dunia proyeksi ekonomi dunia minus 5%. Karena itu Presiden meminta para menteri memiliki sence of crisis yang dalam menangani kondisi pendemi ini. Kondisi pndemi saat ini telah melumpuhkan perekonomian dengan meningkatnya PHK dan kemiskinan.

Ada beberapa sector yang mendapat sorotan. Pertama, bidang kesehatan dengan anggaran Rp.75 triliun. Jokowi mengkritik penggunaan anggarannya baru 1,53 %. Kedua, bantuan sosial ke masyarakat yang belum maksimal, Indikator Politik Indonesi dari hasil survey mengatakan bahwa ada 46,8 % bantuan sosial pemerintah yang kurang tepat sasaran, 13,5 % tidak tepat sasaran sama sekali, sedangan yang menerima bantuan tepatsasaran hanya 4,1% . Ketiga, sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dengan ketidakmaksimalnya kinerja para menteri presiden mendesak bawahannya membuat langkah dan kebijakan luar biasa (extraordinary) (katadata.com, 28/6/2020).

Namun, sikap kekecewaan yang ditampilkan pada sidang kabinet kurang tepat waktunya atau sudah telat. Kekecewaan atau marah-marah tidak ada gunanya. Sejak awal kasusu ini saja Presiden dan para menterinya menjadikan covid-19 sebuah guyonan, situasi yang tidak normal dipaksakan untuk new normal ditengah kasus pendemi semakin meningkat tiap harinya. Penyelesaian pendemi yang tidak koperensif, bias dan semu, keputusan kebijakan pun plin plan sehingga para menteri dan pemerintah daerah mengambil kebijakan sendiri-sendiri, meskipun sudah ada perppu, perpres dan UU yang dikeluarkan namun tidak terealisasi dengan efektif. 

Pemimpin negara adalah pucuk dari kepemimpinan yang bertanggung jawab penuh atas masalah yang terjadi bukan pemimpin yang lempar batu sembunyi tangan. Langkah extraordinary dengan membuat peraturan, membubarkan lembaga ataupun bongkar pasang kabinet bukanlah solusi. Masalah ini tak cukup dengan reshuffle hanya merubah posisi namun landasan pemikiran masih kapitalis maka promble pendemi masih terus terjadi.

Reshuffle menjadi pro kontra sebab seseorang yang menghina Alquran pun mendapat posisi empuk sebagai menteri. Peraturan ataupun kebijakan dibuat oleh akal manuisa yang serba terbatas, mengedepankan hawa nafsu demi kepentingan individu ataupun kelompok untuk mengokohkan kekuasaaan. Kebijakan pun malah berpihak pada kapitalis seperti pemaksaan new normal dimana ekonomi merosot tajam sehingga perputaran ekonomi stagnan ditempat, utang negara pun semakin membekak mencapai Rp.5.796 triliun per Mei 2020, rakyat pun semakin menderita ditengah pendemi.

Tidak heran ketika tumpuan pijakan penguasa hari ini adalah sistem yang batil (read kapitalis) maka yang terjadi kehancuran. Sistem ekonomi kapitalis yang telanjur mengakar pun memporakporandakan kestabilan negara dan menghisap seluruh keuntungan. Sistem kapitalis berpijak pada asas manfaat jika ada celah sekalipun itu untuk kepentingan kemanusiaan tetap dimanfaatkan tidak peduli dengan kondisiyang akan terjadi kepada rakyat yang semakin tergerus penderitaan kemiskinan. 

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (hukum) Siapakah yang lebih baikdari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang menyakini (agama ini) Al-maida :50
Previous Post Next Post