Tsunami Impor Melanda Negeri Subur



Oleh : Aubi Atmarini Aiza
Member Akademi Menulis Kreatif dan Novelis

Indonesia adalah negeri maritim, negeri agraris dan negeri dengan keberagaman satwa dan tumbuhan yang melimpah. Saking suburnya sampai orang Arab berkata, "di Indonesia 'tongkat' ditanam tumbuh menjadi tanaman. Sebaliknya, di Arab pohon ditanam jadi tongkat". Indonesia juga sering dielu-elukan sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, hingga tidak sadar kesuburan tanpa pengelolaan serius akan menjadi bencana. 

Bencana impor yang melanda Indonesia sebab pengelolaan pertanian dan perikanan tidak selaras dengan luasnya tanah dan laut yang melimpah. Seperti yang dilansir oleh kompas.com, pada 25 Mei 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur-sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp 11,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS). 

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri menjelaskan kondisi neraca perdagangan pertanian saat ini masih positif bila berbasis data BPS. “Perdagangan internasional, adalah hal yang wajar, karena tiap negara punya keunggulan komparatif dan kondisi agroekologi wilayah dan iklim yang spesifik," katanya pada kompas.com.

Alasan ini bisa diterima jika Indonesia memang tidak memiliki hasil pertanian yang sama melimpahnya dengan kekayaan alamnya. Sejauh ini pun para petani tidak menikmati hasil kerja kerasnya dengan nilai yang setara, justru malah dikelabui para pemasok yang membeli hasil pertanian dengan harga murah. Dengan begitu, banyak petani yang merasa pekerjaannya tidak membuahkan hasil apa-apa, sehingga mereka tidak produktif dalam bertani. Hal ini sudah membuktikan bagaimana para pengola tanah tidak dilindungi secara hak dan hukum. 

Di lain sisi para penguasa negeri justru sibuk bermesraan dengan para imperialis dan menjalin kerjasama dengan mafia ekspor impor. Tidak peduli bahwa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dapur seperti  bawang putih, bawang merah, garam, dan hasil pertanian lainnya, tentu Indonesia mampu menghasilkan sendiri dengan jumlah yang lebih besar dari negeri lain, bahkan mampu menjadi lumbung pertanian dunia. Tanah subur, lautan yang luas, dengan jumlah sumber daya manusia yang tak kalah melimpah memperlihatkan betapa Indonesia pantas menjadi negeri adidaya. Namun, sangat aneh ketika Indonesia memiliki seluruh sumber daya dan tanah yang subur, masih membeli pada negara lainnya.

Jika impor berkaitan dengan teknologi mungkin bisa diterima. Sayangnya, impor yang selama ini menjadi candu bagi Indonesia adalah impor bahan dapur yang jelas-jelas bisa diproduksi di negeri sendiri dengan potensi yang jauh lebih baik dari negara lainnya. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah pemerintah memfasilitasi dan melihat potensi alam Indonesia? Apakah pemerintah sudah benar-benar mengelola pertanian Indonesia dengan serius? Pada kenyataanya petani merasa ditinggalkan, merasa berjuang sendiri dan semua serba mandiri. 

Keinginan terdalam pemerintah agar rakyat mandiri sudah terwujud, lalu apakah pemerintah sudah memfasilitasi sebagaimana rakyat bisa mandiri dengan fasilitas negara yang dibeli dengan uang rakyat? Indonesia lengah dengan hal ini dan membiarkan tsunami impor melanda. Tetapi dalam sistem kapitalisme ketergantungan impor tidak masalah, sebab asas kapitalisme adalah untung dan rugi. Sementara pemegang tampuk pemerintahan adalah rezim berkuasa, entah berpegang pada Undang-undang atau tidak. Pastinya ketika rezim tidak merugi, impor bukan sebuah masalah. 

Kapitalisme jelas gagal mengatur kehidupan manusia, menyengsarakan rakyat dan menelantarkan kekayaan alam Indonesia. Kapitalisme gagal dan menimbulkan masalah baru dengan menghadirkan para pemimpin yang silau akan harta, tahta dan popularitas. Membawa kerusakan pada kehidupan bangsa dengan melakukan perselingkuhan dengan kalangan kapital yang tak pernah searah dengan tujuan mulia negara Indonesia. 

Oleh sebab itu, jika Indonesia serius dan ingin menyudahi seluruh problematika kehidupan saat ini. Kuncinya hanya ada satu, yakni mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang sudah terbukti nyata membawa kemaslahatan bagi seluruh elemen negara. Sebagaimana khilafah Islamiyah, negara berlandaskan syariat Islam yang mengimplementasikan wahyu Allah sebagai pengatur kehidupan negara. 

Termasuk dalam persoalan impor, khilafah dengan mandiri mengelola kebutuhan rakyat dengan baik. Tidak tergantung pada impor melainkan memproduksi kebutuhan negara secara mandiri, membangun infrastruktur dan membuat alat-alat sendiri. Didukung oleh para ahli teknik yang berdayaguna, juga pengelolaan dana di baitul mal yang berbasis non ribawi. Khilafah menjadi negara super power yang terus bersinar sepanjang masa walau informasi sejarahnya dirusak oleh Barat. 

Maka, sudah sepantasnya kita beralih kepada sistem Islam yang rahmatan lil alamin, demi kemaslahatan bersama. Agar Indonesia tidak lagi menjadi penonton atas keberhasilan negara lain dari hasil rampasan kepada negeri ini. 

Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post