Sengatan Listrik yang Mematikan



Oleh : Ummu Nadiatul Haq
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Di masa pandemi, sepertinya sengatan listrik tidak hanya mengagetkan tetapi bisa mematikan.

Awal Juni 2020, masyarakat ramai mengeluhkan tagihan listrik yang membengkak lagi. Masyarakat memperkirakan ada kenaikan tarif listrik secara diam-diam atau ada subsidi silang yang diterapkan untuk pengguna daya 450 VA dan 900 VA.  

Merespons keluhan-keluhan tersebut, PT PLN (Persero) angkat suara. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril memastikan seluruh anggapan itu tidak benar. PLN tidak pernah menaikkan tarif listrik karena bukan kewenangan BUMN.  (Detikfinance, 6/6/2020).

Di twitter  jeritan pemilik bengkel las UMKM,  tagihan  listriknya membengkak, biasanya 2 juta menjadi 20 juta, lalu sekarang disegel PLN.  Dan masih banyak cuitan pengguna twitter mengeluhkan kenaikan listrik pada bulan Juni sekarang rata-rata sekitar 100 persen bahkan ada yang lebih.   

Sedangkan PLN membantah adanya kenaikan TDL.  Mereka beralasan, hanya menjalankan WFH. Sehingga pencatatan pemakaian listrik tidak berjalan. Bahkan menurut pihak istana, masalah lonjakan tarif listrik naik, itu karena kita banyak beraktivitasnya di rumah selama menjalani proses PSBB.  Namun,  jawaban tersebut juga tidak memuaskan masyarakat dan tanpa solusi. Karena ternyata ada rumah kosong tidak ditempati dan hanya memakai 1 lampu bayarannya sampai Rp750 ribu.  

Protes para pelanggan terjadi di tengah pandemi, dimana keadaan ekonomi rakyat sedang kesulitan. Para PNS dipotong gaji, pekerja swasta banyak yang sepi orderan dan sebagainya. Sehingga ketika listrik naik berlipat-lipat tentu akan memberatkan, karena listrik adalah kebutuhan yang urgen.

Permasalahan kenaikan listrik yang terus menerus terjadi dalam waktu pandemi ini, tidak terlepas dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal dan sistem politik demokrasi.  Sistem tersebut menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.

Pertama, liberalisasi sumber energi primer. Hampir 80%  ladang Migas Indonesia dikuasai asing (ugm.ac.id, 26/9/2013). Pemerintah tidak lebih sebagai regulator dan fasilitator saja, sementara pengeloaan diserahkan pada mekanisme bisnis.

Kedua, liberalisasi (komersialisasi) layanan listrik, dengan dibukanya pintu lebar-lebar bagi swasta untuk membangun pembangkit baru penyuplai listrik PLN.

Akibat liberalisasi ini maka harga listrik akan terus menerus naik, namun layanannya tetap atau semakin buruk. Karena, listrik merupakan hajat hidup orang banyak, maka berapapun harganya pasti dibeli. Mahalnya tagihan  listrik saat ini, menjadi bukti kelalaian pemerintah menyelesaikan masalah ini. Seharusnya negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajat hidup orang banyak, bukan malah diserahkan kepada pihak swasta lokal maupun asing untuk dikomersilkan.

Tak heran bila tagihan listrik tiba-tiba naik karena negara ibarat korporasi besar yang menjual listrik dengan harga tinggi. Bukan sebagai pengurus rakyat yang berkewajiban menyediakan listrik dengan harga murah, dan berkualitas bahkan gratis.

Berbeda dengan Islam yang mampu menuntaskan masalah listrik. Sungguh Islam adalah agama yang paripurna. Akidah Islam melahirkan seperangkat aturan yang tak hanya komprehensif tapi juga solutif. 

Dalam pandangan Islam, listrik merupakan kepemilikan umum. Hal ini dipandang dari dua aspek. Pertama, listrik sebagai bahan bakar termasuk dalam kategori api (energi) yang merupakan milik umum. Ketika tidak ada dalam suatu negeri atau komunitas maka akan menimbulkan sengketa dalam mencarinya.  

Sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi). (HR. Ahmad). 

Hal tersebut termasuk di dalamnya berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.  

Kedua, batubara dan migas sebagai sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta, juga merupakan milik umum.  Karena menjadi kepemilikan umum, sumber energi seperti batubara dan migas jelas haram dikelola secara komersial oleh pihak asing dan swasta juga haram mengkomersilkan hasilnya seperti listrik. 

Oleh karena itu, tata kelola kelistrikan negara tidak boleh melibatkan bahkan diserahkan secara komersial kepada pihak asing dan swasta dengan alasan dan dalih apapun.  Harus menjadi tanggung jawab negara menjamin kebutuhan listrik setiap rakyatnya, baik dari kualitas maupun kuantitas.  Listrik dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat. Tanpa memandang kaya atau miskin, muslim maupun non muslim. 

Prinsip pengelolaan listrik dalam Islam ini juga mencegah negara dari krisis listrik yang berkepanjangan dan tarif dasar listrik tinggi. 

Oleh karena itu,  saatnya memberikan kesempatan Islam untuk menuntaskan problematika listrik yang tak kunjung selesai sejak lama dan membuang jauh liberalisasi listrik yang menimpa negeri.
Syariah Islam telah menetapkan negara (khilafah) sebagai wakil umat untuk mengatur produksi dan distribusi energi (termasuk listrik) tersebut untuk kepentingan rakyat.  Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut (lihat: Abdurrahman al-maliki, as-siyâsah al-iqtishâdiyah al-mutslâ).

Karena itu, solusi syariah untuk mengatasi permasalahan listrik saat ini, dapat dilakukan dengan cara menghentikan liberalisasi energi, termasuk listrik.  Kemudian mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama. Maka listrik harus dikelola oleh sebuah badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan. Bukan dijadikan sebagai institusi bisnis. Konsekuensinya, badan milik negara yang mengelola listrik ini memang harus terus disubsidi oleh negara.  

Dari mana negara bisa mendanainya? Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia  sebenarnya subur makmur dan melimpah, dengan syarat pengelolaannya harus didasarkan kepada Syariah Islam dalam bingkai Khilafah ala minhaji an-Nubuwwah. 

Habis gelap terbitlah terang dengan listrik.  Semoga habis kapitalis terbitlah Islam sebagai penerang bumi dalam menyelesaikan semua permasalahan utama umat termasuk listrik. Saatnya kembali pada aturan Islam yang mengelola kebutuhan dasar manusia sesuai syariat-Nya.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post