Polemik Keberangkatan Haji 1441H

Oleh : Diana Wijayanti, SP

Kementerian Agama (Kemenag) akhirnya memutuskan tidak akan memberangkatkan jamaah haji untuk tahun 2020. Alasannya, otoritas Arab Saudi hingga saat ini tak kunjung membuka ibadah haji dari negara manapun akibat pandemi COVID-19. Kemenag pun tak punya waktu lagi untuk mempersiapkan penyelenggaraan haji.

"Pemerintah memutuskan untuk tidak memberangkatkan jemaat haji. Keputusan ini saya sampaikan melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaat Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji pada 1441 Hijriah atau 2020 Masehi," kata Menteri Agama Fachrul Razi dalam konferensi pers pada Selasa (2/6/2020). https://tirto.id/fEze. haji yang tercatat oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)

Tentu saja keputusan ini menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Diantaranya disampaikan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, yang menilai pembatalan haji oleh Kementerian Agama terlalu terburu-buru. Wakil Ketua MPY Aceh Tgk Faisal Ali mengatakan pelaksanaan ibadah haji dibatalkan meski belum ada pernyataan resmi dari Kerajaan Arab Saudi.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj yang turut mempertanyakan pembatalan pemberangkatan haji 2020 oleh Kementerian Agama (Kemenag).

Tentu saja, pembatalan pemberangkatan haji tahun ini berimplikasi pada makin lamanya daftar tunggu jama'ah haji. Selain itu kekhawatiran jama'ah tentang besarnya dana yang tersimpan juga menyeruak.

Berdasarkan laporan per Mei 2020 dana haji mencapai Rp 135 Triliun, tentu banyak pihak yang tergiur untuk memanfaatkan dana nganggur tersebut.

Rumor tentang pemakaian dana haji pun menyeruak, ada yang menginginkan untuk membangun hotel dan katering untuk jama'ah haji, ada yang menginginkan untuk membangun infrastruktur, ada yang menginginkan untuk memperkuat rupiah, dan ada yang menginginkan untuk membantu korban covid 19.

Ketergesaan Menteri Agama, dalam memutuskan pembatalan keberangkatan haji pada saat pemerintah Arab Saudi belum mengumumkan, terkesan bahwa pemerintah tidak mau repot mengurus jama'ah haji saat Pandemi.

Biaya yang makin besar, dan persiapan yang lebih banyak membuat penanganan jama'ah haji harus dilakukan sangat intensif. Agar terbebas dari pengurusan tersebut  maka pembatalan dianggap sebagai cara mudah mengatasi persoalan ini.

Kenapa ini bisa terjadi?

Pemerintah yang mengadopsi sistem Kapitalisme membuat pemangku kebijakan berpikir sangat pragmatis dan instan. Merasa capek jika berkaitan dengan pelayanan umat. Namun sangat bersemangat jika ada kepentingan Kapital besar dunia baik Barat maupun Timur.

Begitulah karakter pemimpin hasil didikan sistem Kapitalisme. Hal ini berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam.

Seorang pemimpin dalam Islam memahami bahwa amanah yang dipikul akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak diakhirat. Sehingga tidak boleh sewenang-wenang, dan melanggar syariah kaffah.

Bagaimana pengurusan Haji dalam Islam?

Kewajiban haji telah dinyatakan oleh Allah SWT dalam Alquran: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (TQS Ali Imran [03]: 97). Manfaat di akhirat berupa pahala dan keridhaan Allah SWT, sementara manfaat di dunia berupa pelaksanan kurban dan keuntungan dalam perdagangan (Ibn Katsir, Tafsir Alquran al-‘Adzim, Juz V/365).

Persatuan Umat

Dari sisi politis, makna yang paling menonjol dalam pelaksanaan ibadah haji adalah persatuan umat. Pesatuan ini tampak dalam pelaksanaan wukuf di ‘Arafah, sebagai rukun paling utama dalam ibadah haji.

Rasulullah SAW bersabda: “Haji adalah Arafah.” (HR. an-Nasa’i).
Arafah telah mempertemukan seluruh jamaah haji dari berbagai dunia, yang bukan hanya diikat oleh akidah yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, namun mereka juga menjalankan tunduk yang sama, berkumpul di tempat yang sama, pada waktu yang sama, dan menyerukan seruan yang sama, yakni bacaaan talbiah, tahlil, tahmid, takbir, dzikr dan doa. 

Bukan hanya itu, pada masa Rasulullah SAW dan kekhilafahan setelahnya, persatuan umat juga tampak dari kesatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Di Arafah, tepatnya di tempat yang kini berdiri kokoh Masjid Namirah, di situlah Nabi SAW selaku kepala negara menyampaikan khutbahnya yang sangat terkenal itu. Selain mendeklarasikan hak-hak manusia, kemuliaan darah, harta, hari dan tanah suci Haram.

Sebagaimana dalam sabda baginda SAW, “Wahai seluruh umat manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian hukumnya haram bagi kalian untuk dinodai, sebagaimana menodai keharaman hari, bulan dan negeri ini.” Nabi SAW pun telah membatalkan seluruh praktik dan tradisi jahiliyah, mengharamkan riba dan sebagainya (as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur, Juz I/534).

Ri’ayah dan Muhasabah

Pada musim haji, umat Islam juga dapat menyampaikan pengaduan dan koreksi (muhasabah). Sebaliknya para khalifah juga bertanya kepada mereka tentang hal ihwal para wali yang diangkatnya secara langsung dari masyarakatnya. (al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 180).

Bahkan Umar pun pernah menghukum putra Amru bin ‘Ash di musim haji, karena perlakuannya terhadap seorang qibtiy di Mesir. Beliu berkata kepada ‘Amru Bin ‘Ash: “sejak kapan Anda memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka” (Majallat Tarikhil ‘Arabiy, Juz I/7127, Ibnu ‘Abdul Hadi al-Mubarrid, Mahdhus Shawab fi Fadhail ‘Amiril Mukminin Umar Ibnul Khatthab, Juz II/473).

Sebelum Daulah Islam berdiri, Rasulullah SAW menyeru kabilah-kabilah Arab yang datang ke Mekah di musim haji. Dalam meraih nushrah-nya Rasulullah SAW mendatangi Bani Kindah, Bani Kalb, Bani Hanîfah, Bani ‘Amir Bin Sha’sha’ah, Muhârib, Fazârah, Ghasân, Murrah, Sulaim, ‘Abbas, Bani Nadhar, Bani al-Bukâ‘, ‘Adzarah, Rabî’ah, Bani Syaiban, al-hadhôromah, dll (Ibnu Hisyam, as-siroh, Juz II/75-76). 

Di antara seruan Rasulullah SAW kepada kabilah-kabilah itu: “Apakah ada di antara kalian, yang membawaku kepada kaumnya, sungguh orang-orang Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalamullah?” (HR. Ahmad dari Jabir Ibnu ‘Abdillah).

Pada masa lalu, musim haji juga dijadikan sarana untuk belajar dan meminta fatwa kepada para ulama, dengan bimbingan para khalifah. Sebagai contoh, bimbingan itu ditunjukkan oleh Khalifah ‘Abdul Malik Bin Marwan, agar orang tidak sembarangan meminta fatwa kepada orang lain. Ia menyatakan: “Tidak seroang pun memberi fatwa –di musim haji ini- kecuali ‘Atho Ibnu Abi Rabah, Imam, ‘alim dan faqih ahli Mekah” (‘Ali Ibnu Nayif as-Syuhud, al-Hadhoroh al-Islamiyah wa Ususuha, Juz I/395).

Penyelenggaraan Haji

Selain masalah hukum syara’, yang terkait dengan syarat, wajib dan rukun haji, dalam penyelenggaraan ibadah haji juga ada masalah hukum ijra’i, yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah. Hanya saja, karena ibadah haji ini dilaksanakan pada waktu (Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah) dan tempat (Makkah, Mina, Arafah dan Muzdalifah, termasuk Madinah) tertentu, maka dibutuhkan pengaturan yang baik oleh negara.

Hukum ijra’i, sebagai bentuk pengaturan, yang notabene merupakan derivasi dari hukum syara’, tentu tidak boleh menabrak hukum syara’ itu sendiri. Sebagai contoh, ditetapkannya syarat usia 18 tahun dalam UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, jelas menyalahi hukum syara’, khususnya ketentuan tentang usia baligh. Ketentuan seperti ini tidak boleh ada, meski dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan.

Selain itu, Islam juga menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nidzam (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat) dan ditangani oleh orang yang profesional.

Karena itu, Khilafah sebagai satu negara, yang menaungi lebih dari 50 negeri kaum Muslim, bisa menempuh beberapa kebijakan:

1-Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. Karena ini terkait dengan masalah administrasi, maka urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga memudahkan calon jamaah haji dan umrah. Dengan prinsip basathah fi an-nidzam, sur’ah fi al-injaz dan ditangani oleh orang yang profesional, maka urusan ini bisa dilayani dengan cepat dan baik. Departemen ini mengurusi urusan haji, terkait dengan persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini juga bisa bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jamaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal.

2-Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda. 

Di zaman Sultan ‘Abdul Hamid II,  Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

3-Penghapusan visa haji dan umrah: Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum syara’ tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara. Karena seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.

4-Pengaturan kuota haji dan umrah: Khalifah berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan:

Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup.

Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik, jika negara Khilafah mempunyai data base seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah.

5-Pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah: Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jamaah haji dan umrah. Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan oleh Khilafah di masa mendatang. Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jamaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam, sehingga bisa memotivasi mereka.

Begitulah harusnya negara mengurus masalah haji, dengan pengurusan terbaik semata-mata karena mengharap ridho Allah SWT bukan untuk bisnis meraih untung.
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post