Dilanda Wabah, Pendidikan Makin Tak Tentu Arah

By ; Yuli Ummu Fatih

Wabah covid-19 tengah mengguncang dunia, tak terelakkan hal ini mempengaruhi banyak sektor termasuk dunia pendidikan. Berdasarkan data Kemdikbud, lebih dari 160 pemerintah kabupaten/kota dan provinsi mengeluarkan surat edaran meniadakan KBM di kelas. Siswa dan guru diminta melakukan aktivitas belajar mengajar dari rumah. Diawali hanya untuk dua pekan, beberapa daerah akhirnya memperpanjang masa belajar di rumah.

Di lapangan, proses belajar di rumah penuh dinamika. Sebagian besar guru ternyata hanya memberikan tugas kepada siswa, tanpa bimbingan. Memang, siswa terbantu oleh internet dalam mencari rujukannya. Namun, tugas kepada siswa tidaklah sedikit.

Banyak orang tua yang merasa keberatan atas tugas yang begitu banyak dari para guru sehingga anak-anak merasa stres. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akhirnya meminta pemerintah pusat dan daerah mengevaluasi sistem belajar di rumah ini.

Menurut KPAI, sistem belajar di rumah yang diterapkan sekolah tidak efektif karena belum ada pemahaman yang baik oleh para guru. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200318222319-20-484760/sekolah-libur-karena-corona-kpai-sebut-guru-buat-siswa-stres).

Para guru gagap, ketika kondisi di luar kebiasaan harus mereka hadapi. Padahal beban kurikulum (bahan ajaran) yang harus diberikan kepada siswa begitu padat. Di sisi lain, upaya pembelajaran daring juga tidak mudah dilakukan.

Sebab, semua itu membutuhkan biaya (internet) tidak sedikit. Apalagi kemampuan orang tua siswa juga beragam. Mereka sendiri sudah terdampak secara ekonomi karena wabah ini.

sistem pendidikan yang diterapkan benar-benar gagap dalam menghadapi keadaan. Terbukti, opsi belajar dari rumah –yang faktanya saat itu menjadi satu-satunya pilihan– malah lebih menyingkap kebobrokan sistem pendidikan yang selama ini diterapkan, sekaligus memunculkan begitu banyak persoalan.

Visi pendidikan yang sekuler kapitalistik, kurikulum yang tak jelas arah, metode pembelajaran yang kaku, dukungan sarana dan prasarana yang sangat minim, membuat penyelenggaraan “pendidikan” di tengah wabah menjadi hal yang terasa begitu memberatkan. Baik bagi para siswa, orang tua, maupun pihak pendidik dan sekolah.

Banyak dari mereka yang stres karena tuntutan sistem yang tak jelas. Sekolah daring menjadi tambahan beban tersendiri bagi para orang tua. Baik secara ekonomi maupun mental.

Mereka yang kadung berpikir mendidik adalah kewajiban sekolah, tiba-tiba harus bertanggung jawab penuh terhadap sekolah anaknya. Tak hanya soal pendidikan agama dan moral, tapi dengan berbagai mata ajar yang mereka pun tak mengerti bagaimana dan apa manfaat riilnya.

Adapun para siswa, bersekolah di tengah wabah menjadi penderitaan tersendiri bagi mereka. Karena selain dipaksa melahap begitu banyak target pembelajaran di rumah, juga harus berhadapan dengan “guru” baru yang tak paham bagaimana mendidik dan mengajar. Baik dari sisi mental maupun kemampuan.

Sementara bagi pihak pendidik dan sekolah, situasi wabah juga tak serta-merta meringankan beban mereka. Bahkan situasi ini membuat mereka harus berpikir keras, karena dukungan fasilitas sangat minim, sementara pembelajaran harus tetap dijalankan. Itulah gambaran pendidikan dalam sistem kapitalis sekuler yang ada saat ini. 

*Pendidikan Islam dalam Masa Wabah*

Dalam kondisi wabah, Islam menetapkan kebijakan lockdown  atau karantina wilayah. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” HR Imam Muslim).

Berdasar hal ini, belajar di rumah pun menjadi kebijakan yang harus diambil dalam daulah Khilafah. Meski demikian, kondisinya tentu tidak seperti pelaksanaan belajar di rumah saat ini yang banyak menimbulkan kegaduhan, baik dari siswa, orang tua hingga guru.

Kebijakan belajar di rumah dalam sistem khilafah tidak sampai mengurangi esensi pendidikan. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Pertama, negara Khilafah berasaskan akidah dan syariah Islam. Berdasarkan asas ini, negara menegaskan tujuan pendidikan baku yang harus diemban seluruh pemangku pendidikan baik negara, siswa, guru, tenaga kependidikan, hingga oleh orang tua siswa.

Sebab, belajar di rumah melibatkan orang tua. Asas pendidikan juga akan sangat menentukan dalam penentuan materi ajaran (kurikulum) saat siswa belajar di rumah.

Kesadaran yang dimiliki orang tua juga sangat berpengaruh. Mereka akan mendidik sesuai target dan tujuan pembelajaran dalam Islam. Mendidik dengan penuh kasih sayang karena berangkat dari kesadaran terhadap kewajiban dari Allah SWT.

Berdasarkan tujuan tersebut, maka saat belajar di rumah, bagian pembentukan kepribadian Islam dan life skill 30%, konten materi tsaqofah Islam 30%, sedangkan materi sains dan teknologi 40%. Bentuk penyampaian pun tidak akan keluar dari tujuan dan landasan akidah Islam.

Kedua, negara Khilafah menguasai ilmu dan teknologi komunikasi yang handal. Maka, keterbatasan guru, siswa dan orang tua untuk melakukan pembelajaran daring bisa diminimalisir. Berbeda dengan kondisi saat ini, masih banyak guru, siswa, dan orang tua yang gagap teknologi komunikasi.

Dalam sejarah, negara Khilafah dikenal sebagai negara maju yang menguasai jagad teknologi. Berbagai penemuan teknonogi dilakukan oleh kaum muslim. Hal ini karena Islam mendorong setiap muslim untuk terus belajar dan mengembangkan ilmunya. Negara pun mendukung sepenuhnya.

Ketiga, belajar di rumah dalam Khilafah ditopang oleh perekonomian yang stabil bahkan maju. Dengan kondisi tersebut, negara mampu menopang kehidupan ekonomi rakyat yang membutuhkan bantuan akibat lockdown. Orang tua tak perlu bekerja di luar. Mereka bisa optimal membantu proses belajar di rumah dengan sebaik-baiknya.

Tak hanya dalam pemenuhan kebutuhan pokok, negara Khilafah juga mampu memberikan berbagai fasilitas pendukung pembelajaran. Negara menyediakan platform  pendidikan gratis dan sarana pendukungnya, seperti internet gratis dan media (alat komunikasinya).

Sebagai gambaran keagungan sistem pendidikan Islam dalam peradaban emas khilafah, cukuplah surat yang disampaikan George II Raja Inggris, Swedia, dan Norwegia kepada Khalifah Islam, pemimpin kaum Muslimin negeri Andalusia ini sebagai buktinya:

”Dari George II raja Inggris, Swedia dan Norwegia kepada Khalifah Islam, pemimpin kaum Muslimin negeri Andalusia, pemilik keagungan, Khalifah Hisyam III, yang berkedudukan tinggi dan mulia.

Setelah takzim (pengagungan) dan tawqir (penghormatan),  kami memberitahukan kepada Anda bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan pesat “mata air yang jernih” berupa universitas-universitas ilmu pengetahuan dan industri-industri yang maju di negeri Anda yang makmur dan sejahtera.

Maka kami ingin mengirim putra-putra kami (bangsa Eropa) agar bisa mengambil contoh dari keutamaan-keutamaan kalian, dan agar hal ini menjadi awal yang baik dalam meneladani jejak-jejak kalian, untuk menyebarkan cahaya ilmu pengetahuan di negeri kami yang diliputi kebodohan dari empat penjurunya.

Kami jadikan keponakan kami, Princess Dubant sebagai pemimpin delegasi dari para putri pembesar kerajaan Inggris untuk mendapat kehormatan dengan bisa “mengecup bulu mata singgasanamu” dan mengais kasih sayangmu.

Hal itu agar dia dan teman-teman wanitanya menjadi pusat perhatian keagungan Anda. Dan kami bekali putri mungil kami, dengan hadiah kecil lagi sederhana untuk kedudukan anda yang tinggi lagi mulia. Kami memohon kemuliaan Anda untuk menerimanya dengan kami haturkan penghormatan dan cinta yang tulus.

Dari pelayanmu yang patuh, George II Raja Inggris, Swedia dan Norwegia. (Sumber : https://binbaz.or.id/)

Demikianlah gambaran pendidikan Islam dalam negara Khilafah, yang mampu memberikan pelayanan pendidikan optimal lagi sahih kepada rakyatnya baik pada kondisi wabah maupun tidak. Belajar di rumah saat wabah pun tak perlu keluh kesah. 

Wallahu a’lam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post