Amoral Pelat Merah Dirut Baru TVRI


Oleh : Rina Tresna Sari,S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Member AMK

Brotoseno memang belum sepekan diangkat menjadi Dirut TVRI. Namun, pengangkatannya menuai kontroversi. Di media sosial banyak netizen yang membagikan tangkapan layar cuitan Imam Brotoseno di Twitter beberapa waktu lalu yang mengandung polemik.

Ada juga netizen yang langsung mengunggah jejak digital akun Twitter Iman Brotoseno yang berisi cuitan mesum. Jumlahnya banyak termasuk di dalamnya konten yang berisi pelecehan pada sejumlah polwan. Dalam waktu singkat tagar #BoikotTVRI pun membahana di Twitter.

Sebagaimana dilansir  WARTAKOTALIVE.COM,29/05/2020, Media sosial Twitter hingga Jumat (29/5/2020) malam masih dihiasi dengan trendingnya Direktur Utama (Dirut) TVRI Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Imam Brotoseno. Di mana netizen terus mengunggah cuitan masa lalu Imam Brotoseno. Cuitan Imam Brotoseno itu dianggap kontroversi dengan jabatan yang diembannya sekarang. Pasalnya, ia kerap mencuitkan terkait hal-hal yang tabu di masyarakat. Karena itu tagar #BoikotTVRI dan #DirutBokep pun menjadi trending Twitter.

Bukan hanya itu komentar pun berdatangan dari para tokoh, di antaranya Politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon yang ikut menanggapi soal diangkatnya direktur baru TVRI, Iman Brotoseno. Jansen menyoroti rekam jejak karir Iman Brotoseno sebelum dirinya menjabat sebagai Direktur Utama TVRI menggantikan Helmy Yahya. Dilihat dari riwayat pekerjaan yang pernah dijalani Iman Brotoseno, ia sudah malang melintang di dunia media, sineas dan periklanan Indonesia. Namun, yang paling disoroti oleh Jansen adalah riwayat karir Iman yang pernah menjadi kontributor Majalah Playboy Indonesia. Jansen mempertanyakan kepantasan Iman untuk menjadi Dirut TV Nasional jika melihat rekam jejak tersebut. "Duhh.. benar ini? Apa tak ada kandidat lain yang lebih pantaskah?   TVRI ini, TV nasional yang dibiayai uang publik." (Suara.com,29/05/2020)

Begitu pun dengan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menilai penetapan Iman Brotoseno (Iman Br) menjadi Direktur Utama (Dirut) TVRI tidak sesuai dengan Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Sebab, sebut HNW, Iman pernah menjadi kontributor majalah Playboy Indonesia. Iman kemudian menjelaskan satu kali keterlibatannya di majalah itu soal artikel pariwisata.
Di dalam Tap MPR tersebut, kata Hidayat, salah satu poinnya adalah pentingnya etika sosial dan budaya, yaitu dengan 'perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. "Disayangkan sekali, rekam jejak calon Dirut TVRI yang baru sebagai eks kontributor Majalah Playboy Indonesia tidak menggambarkan hal itu. Apalagi, terkait majalah tersebut, dari pemimpin redaksi hingga beberapa modelnya pernah diproses secara hukum, berkaitan dengan delik kesusilaan," kata HNW dalam keterangan tertulis kepada wartawan. (Detiknews.com, Jumat 29/5/2020)

Melihat semua itu, rakyat akan makin pesimistis dengan janji membangun good governance. Bagaimana bisa orang yang bermasalah secara moral menjadi Dirut
 TVRI, yang akan menjadi suara resmi pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah mencerdaskan kehidupan bangsa bukan tujuan negara? Pasalnya pengangkatan seseorang dengan jejak digital kemesuman yang vulgar amat mengerikan. Apalagi jabatan yang dipegangnya terkait dengan siaran publik nasional, TVRI. Seolah aroma amoral melekat pada plat pelat merah.

Sungguh sangat disayangkan bila moral sudah tidak lagi menjadi asas utama penentuan jabatan. Apalagi dalam pemerintahan terdapat para tokoh agama, namun tidak  ada kecaman dari kasus tersebut. Indonesia juga memiliki Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang harusnya juga memberi saran dan pertimbangan moral setiap pejabat. Bungkamnya BPIP dan para tokoh keagamaan yang menjabat di pemerintahan, hanya memperjelas bahwa moral dan akhlak tak lagi menjadi asas dalam perilaku pejabat, selain kesetiaan pada kekuasaan.

Hal ini tak heran terjadi pada negara kapitalis-sekuler dimana dalam sistem ekonomi kapitalis-sekuler  pemahaman agama dan moral tidak dijadikan pertimbangan utama  untuk menjadi pemimpin negara. Dalam sistem ini, hal yang lumrah bagi penguasa berbagi kursi kekuasaan kepada pendukungnya, tanpa mempertimbangkan apakah yang dipilihnya layak untuk memegang amanah pemerintahan tersebut.

Berbeda dengan Islam, Islam memiliki landasan bahwa memilih pemimpin negara adalah akidah dan hukum syara, bukan kemaslahatan atau manfaat dalam kacamata akal manusia. Dan hal ini nampak nyata dari periode ke periode kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin. Bahkan tradisi ini terus berlangsung di masa-masa setelahnya, hingga sistem khilafah terakhir yang berpusat di Turki runtuh pada tahun 1924 di tangan antek Inggris berdarah Yahudi bernama Mustafa Kemal Attaturk.

Jelas bahwa pemilihan pemimpin dalam Islam tak hanya berbicara tentang siapa yang akan menjadi pemimpin, tapi juga tentang dengan apa dia akan memimpin. Sementara dalam sistem demokrasi, keduanya tidaklah penting.

‘Alaa kulli haalin, jabatan pemimpin umat dalam Islam memang bisa menjadi pedang bermata dua. Membawa kebaikan jika kepemimpinan dijadikan wasilah untuk membangun ketaatan. Dan akan menjadi sesalan jika kepemimpinan justru menjadi wasilah kemaksiatan, kekufuran dan penjajahan.

Sayangnya, inilah yang justru nampak telanjang dalam sistem kepemimpinan sekuler demokrasi. Sistem ini hanya berdimensi duniawi dan materi, sehingga dalam masyarakat yang didominasi pemikiran sekuler. Bahkan untuk meraihnya mereka bisa menghalalkan segala cara.

Itulah mengapa penerapan sistem kepemimpinan kapitalisme justru menjadi jalan munculnya berbagai kerusakan. Dan inilah yang sedang dipertontonkan hari ini, termasuk di negeri muslim terbesar bernama Indonesia.

Saatnya para pemimpin menjadikan Islam sebagai rujukan atas solusi setiap permasalahan hidup. Dengan menerapkan Islam sebagai aturan kehidupan agar keberkahan hidup dapat diraih dunia dan akhirat.

Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post