Kelaparan Bukan Drama Korea

Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Founder Muslimah Cinta Quran, "Sahabat Fillah", Indramayu) 

Bukan fiksi, melainkan realita. Lebih dari satu miliar manusia di dunia terancam mati bukan karena putus cinta, tapi didera penderitaan akibat rasa lapar berkepanjangan. Wajar jika hal tersebut mengoyak sanubari Direktur Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP), David Beasley. Dia mendesak PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk mengambil langkah cepat demi menghindari terjadinya bencana kelaparan besar-besaran ini. (tempo.co, 23/4/2020) 

Bukan berlebihan, suasana mencekam sudah terjadi beberapa bulan belakangan, akibat Covid-19. Sifat dasar manusia untuk berkerumun, ditekan sejadi-jadinya. Menyisakan jalan senyap serta matinya perekonomian warga. Demi memutus rantai penularan virus, warga digiring menuju rumah masing-masing. Akses keluar masuk wilayah wabah dibatasi. Semuanya demi menyelamatkan nyawa dari "si Dementor mungil" ini.

Tapi, rupanya efek domino berlanjut. Tanpa berkerumun bagaimana dapur di rumah bisa ngebul. Stok makanan menipis. Sejalan dengan makin tipisnya dompet di saku dan di selipan bantal. Meski celengan sudah dipecahkan, Covid-19 masih asik bermain-main, hingga detik ini dunia belum bebas dari tingkah nakalnya. 

Dunia terancam oleh bencana pangan global. Yaman, Kongo, Afganistan, Venezuela, Ethiopia, Sudan Selatan, Suriah, Nigeria dan Haiti sudah berbaris rapih, terdaftar sebagai negara yang menempati peringkat terburuk terkait ancaman kelaparan. Sementara menurut PBB, Afrika berada dalam antrian bencana kemanusiaan besar. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Dilansir dari Beritatagar.id, 6/11/2019, sebelum Covid-19 menerjang, negeri +62 ini sudah nelangsa. Laporan penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI), membeberkan data. Sebanyak 22 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan kronis. Jumlah tersebut sekitar 90 persen dari total jumlah penduduk miskin Indonesia, yakni 25 juta jiwa.

Terbanyang jumlahnya akan menukik dua kali lipat di tengah wabah. Pemakaman akan kian ramai saja. Lantas mengapa hal mengerikan ini bisa menimpa umat manusia saat ini? Tentu jawabannya bukan takdir semata. Apa yang ditanam maka itulah yang akan dituai. 

Manusia hidup tidak mungkin tanpa pola. Sudah hampir satu abad, peradaban berdiri dalam asuhan paham Kapitalisme. Polanya nampak jelas, di mana ada manfaat dan kepentingan, di situ ada kecenderungan suka dan cinta.

Arah pandangnya materi, berpuas dan berbangga dengan segala atribut dunia, seperti yang termaktub dalam surah Ali Imran ayat 14. Ragam kesenangan dunia menjadi obsesi bukan hanya skala individu, tapi juga menjadi nilai yang disepakati masyarakat dan dilegalkan oleh negara. 

Pola peradaban Kapitalis, memiliki side effect, salah satunya adalah ketimpangan sosial. Yang kaya makin jaya, yang miskin makin terpuruk. Maklum, karena peradaban ini dimonopoli oleh segelintir kaum pemodal, mereka adalah orang kaya yang terlalu jumawa dalam batasan.

Satu gunung emas didekap, maka mata akan mengincar mengincar gunung emas lainnya, tak pernah cukup. Meski kakinya berjalan di atas mayat yang bergelimpangan. Tumbal Kapitalisme adalah rakyat jelata. Mereka seakan hidup hanya sebagai pelengkap penderitaan. 

Kumparan, tanggal 27/4 memberitakan, Direktur Jenderal FAO, QU Dongyu dalam sebuah pertemuan di hari selasa (21/4) bersama Food and Agriculture Organization atau FAO, mengingatkan akan pentingnya menjaga rantai pasokan pangan dan memastikan produksi serta ketersediaan pangan untuk semua.

Soalnya, dahulu pernah terjadi kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan pangan dunia. Pada tahun 2007-2008, dunia diterpa perubahan cuaca ekstrem. Tak lama berselang, kondisi diperparah dengan krisis finansial global yang berdampak hingga 2009.
Disebabkan kebijakan berlandaskan kepanikan. Seperti larangan ekspor di negara-negara produsen pangan, pada sisi lain ada permintaan impor besar-besaran dari negara kaya untuk mengamankan stok pangan mereka. Namun apakah keinginan Dongyu mampu terwujud jika pola dasarnya masih sama, yakni pijakan Kapitalisme yang kering dari kemurahatian.

Penguasa kepada rakyat seperti tengah berbisnis, itung-itungan. Bukan seperti tupoksinya, selaku pelayan rakyat. Padahal Rasulullah Saw bersabda: "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).

Selanjutnya, hukum rimbalah yang berlaku, hanya yang kuat yang akan bertahan. Inilah sejatinya bencana kemanusiaan, yakni pada saat manusia kehilangan rasa kemanusiaan itu sendiri. 

Watak sadis kapitalisme ini amat kontras dengan pola kehidupan Islam. Ketangguhan sistem ini telah teruji bahkan dikala wabah menerpa. Yang menonjol dari sistem Islam adalah keberadaan seorang Khalifah yang heroik. Tampil di garda paling depan, siap pasang badan demi menyelamatkan warga. Empati tak terhingga, berasal dari kekuatan iman. Ikut menahan lapar, bersama rakyat yang kelaparan, sembari terus mengupayakan strategi agar pasokan makanan dapat terpenuhi secepatnya. 

Adalah Umar bin Khattab ra, memimpin dengan keimanan, tanpa topeng, tanpa pencitraan. Kemarau panjang terjadi di masa kepemimpinannya pada akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah, dan berlangsung selama 9 bulan. Kota Madinah mengalami masa paceklik, kehidupan memasuki masa sulit. Kekeringan melanda seluruh bumi Hijaz, dan rakyat mulai menderita kelaparan. 

Ketika Madinah didatangi pengungsi yang datang berduyun-duyun dari pedalaman, Umar ra. membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mal hingga gudang makanan dan baitul mal kosong total. Umar menahan diri dari memakan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu. Kondisi ini berlangsung selama 9 bulan. 

Umar ra., pun dengan sigap mengirimkan beberapa surat baik kepada Abu Musa ra. di Bashrah, lalu kepada 'Amru bin Al-'Ash ra. di Mesir. Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu pernah datang ke Madinah membawa 4000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar ra., memerintahkan untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. 

Selain itu, sebagai bentuk kepedulian Umar ra., terhadap nasib rakyatnya pada masa paceklik ini, ia keluar melakukan shalat istisqâ’ (shalat minta hujan).*

Potret pemimpin seperti Umar hanya didapatkan dari sebuah sistem yang ideal. Tanpa sistem ini, mustahil muncul Umar-umar lainnya. Sistem Islam tidak main-main dalam urusan kesejahteraan sekalipun di masa wabah ataupun bencana kelaparan.

Hal itu berpulang dari paradigma berpikir terkait pandangan kenegaraan, yakni pemimpin adalah pemelihara urusan umat sekaligus junnah (perisai) rakyat dari segala ancaman. Juga kesadaran bahwa setiap pemimpin akan dimintai tanggung jawabnya. “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Islam dengan kesempurnaan aturannya memiliki konsep kebijakan ketahanan pangan, baik di saat normal atau pun dalam kondisi tak biasa, seperti wabah dan bencana. Hanya butuh keberanian dan kebeningan hati untuk memilih, mengambil dan menerapkan sistem alternatif yang solutif ini. Karena kelaparan bukanlah tontonan pengaduk rasa selayak drama Korea (drakor). Nyata di pelupuk mata dan genting untuk diselesaikan karena menyangkut masalah nyawa. 
Wallahu a'lam bish-shawab.

*Majalah As-Sunnah Edisi, 05/Tahun XIII/1430/2009M.

Post a Comment

Previous Post Next Post