Kartu Prakerja: Sejahterakan Siapa?

By : Najma Karimah
Muslimah Bangka Belitung
Tepat 11 April 2020, pemerintah akhirnya benar-benar merealisasikan program yang digadang-gadang sebagai program unggulan pemerintahan Jokowi-Makruf selama masa kampanye pilpres 2019 lalu. Hanya saja, program kartu prakerja mengalami sedikit modifikasi setelah merebaknya wabah virus corona. Program ini dijadikan sebagai salah satu bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pada tahap awal peluncuran, dana yang digelontorkan pemerintah sebesar Rp5,6 triliun. Total dana yang disiapkan pemerintah untuk program ini cukup fantastis yakni senilai Rp20 triliun sepanjang 2020 bertambah dari sebelumnya Rp10 triliun¹. 
Pemerintah menggandeng 11 mitra kerja dalam pelaksanaan program ini. Mereka terdiri dari 8 platform digital yaitu Bukalapak, MauBelajarApa, Pintaria, Ruangguru, Sekolahmu, Tokopedia, Pijar Mahir, dan Sisnaker. Tiga lainnya adalah mitra bayar yaitu BNI, Ovo, dan LinkAja¹. 

Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Panji Winanteya Ruky mengungkapkan bahwa jumlah pendaftar kartu prakerja yang terdata melalui laman resmi program ini, prakerja.go.id sudah mencapai 8,6 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 168.111 orang berhasil lolos pada gelombang pertama dan sebanyak 288.154 orang lolos pada gelombang kedua². Pemerintah menargetkan sebanyak 5,6 juta orang menjadi sasaran kartu prakerja dari sebelumnya ditarget sebanyak 2 juta orang. Penambahan sasaran ini sebagai bentuk penyesuaian akibat adanya pandemik covid-19. 

Mereka yang lolos berhak menjadi peserta kartu prakerja dan menerima insentif sebesar Rp3,55 juta. Dana insentif ini tidak semuanya diterima secara tunai oleh peserta. Sebesar Rp1 juta diperuntukkan bagi biaya pelatihan, sedangkan sisanya Rp2,4 juta akan diterima secara bertahap selama 4 bulan. Itu berarti setiap bulan peserta kartu prakerja akan memperoleh pencairan dana senilai Rp600 ribu. Sisanya sebesar Rp150 ribu diperoleh peserta kartu prakerja sebagai insentif tiga kali pengisian survei program kartu prakerja. 

Kebijakan tak Tepat Sasaran 
Sekilas program kartu prakerja tampak tak bermasalah dan menjadi solusi bagi para pencari kerja. Bukan hanya bantuan berupa insentif, melainkan bantuan skill yang diperoleh pascapelatihan. Apalagi di tengah situasi pandemik hari ini, bantuan tersebut tentulah sangat berarti. Namun bila kita melihat lebih jeli, sejatinya ada banyak hal yang patut menjadi sorotan. 
Pertama, dalam menjalankan program kartu prakerja, pemerintah ternyata bekerja sama dengan pihak swasta. Ini dibuktikan dengan kehadiran 8 platform digital yang menjadi penyedia jasa pelatihan online. Platform digital ini bekerja sama kembali dengan berbagai lembaga pelatihan yang menjadi pelaksana pelatihan. Saat ini ada sekitar 233 lembaga pelatihan yang terdaftar pada delapan platform tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja. 

Jamak diketahui bahwa keberadaan platform digital pada program kartu prakerja sempat menuai kritik tajam dari masyarakat. Bukan hanya karena adanya kesan penunjukan langsung oleh pemerintah, melainkan adanya kecurigaan konflik kepentingan karena salah satu platform diketahui adalah milik salah satu staf khusus milenial Presiden Jokowi. Apalagi ditengarai, penunjukan terhadap delapan plaftorm tersebut sudah dilakukan pada 2019 lalu. Itu berarti mendahului ketentuan yang memayunginya yang baru dikeluarkan pada 28 Februari 2020. Setelah ramai diperbincangkan, Adamas Belva Syah Devara selaku CEO Ruang Guru akhirnya mengundurkan diri dari stafsus presiden. Namun, tentu saja pengunduran diri tersebut tetap tidak menyelesaikan substansi permasalahan. 

Tak hanya berhenti di situ. Titik kritis lainnya ada pada peruntukan biaya pelatihan senilai Rp1 juta dari total nilai insentif yang diterima peserta kartu prakerja. Artinya, pelatihan secara online yang dinikmati peserta tidaklah gratis, tetapi berbayar. Bahkan, pada rancangan pemerintah yang disusun sebelum adanya wabah corona, total dana yang diperuntukkan untuk biaya pelatihan jauh lebih besar dari dana insentif yang diterima peserta. Skenario yang dibuat sebelumnya adalah insentif peserta hanya sebesar Rp650 ribu, sedangkan dana pelatihan yang akan disetorkan pada penyedia jasa pelatihan bisa mencapai Rp7 juta. 

Inilah yang mendapat protes keras dari banyak pihak karena program kartu prakerja dinilai hanya menguntungkan delapan platform digital. Namun, hal ini buru-buru disangkal oleh pihak manajemen pelaksana kartu prakerja. Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Deni Puspa Purbasari mengatakan bahwa dana pelatihan mengalir ke lembaga pelatihan, bukan pada mitra platform digital atau startup. Menurut Deni, ada 2.000 pelatihan di sistem prakerja yang disiapkan 233 lembaga pelatihan. Lembaga-lembaga pelatihan ini mendaftar pada platform digital yang bekerja sama secara resmi dengan pemerintah. Mereka dikurasi oleh platform ditigal dan manajemen pelaksana kartu prakerja. Jika lolos kurasi kedua pihak ini, maka mereka resmi bekerja sama dengan platform digital sebagai pelaksana pelatihan. Lembaga inilah yang dimaksudkan Deni menerima dana pelatihan. Namun, ia tak menampik bila ada komisi yang diterima para platform digital yang bekerja sama dengan lembaga pelatihan. “Bila Tokopedia, Bukalapak, dan lain-lain ada fee-nya, itu business to business (B2B),” kata Deni seperti dilaporkan CNBC Indonesia³. 

Jika masih ada yang mengatakan bahwa dana yang mengalir pada delapan platform digital sebetulnya tak mengapa karena toh pemilik platform digital tersebut adalah anak-anak muda negeri ini, maka sebaiknya berpikir ulang. Jika benar platform digital murni milik anak negeri, maka aliran dana pelatihan tentu akan membuat mereka semakin berkembang. Ujungnya akan menguntungkan bangsa ini. Tapi, tunggu dulu. Ada baiknya kita tidak terburu-buru mengklaim demikian. Mari kita teliti dengan jeli, siapa pemilik saham di balik sejumlah startup yang menggarap kartu prakerja. Empat dari delapan platform digital yang digandeng pemerintah bahkan berstatus perusahaan modal asing (PMA). Keempat startup itu adalah Bukalapak dari PT Bukalapak.com, SkillAcademy dari Ruangguru di bawah PT Ruang Guru Raya Indonesia, Pintaria dari PT Haruka Evolusi Digital Utama dan Tokopedia dari PT Tokopedia⁴. 

Ruang Guru misalnya. Perusahaan ini tercatat milik dua pemegang saham yaitu Ruuangguru Pte Ltd sebanyak 6,4 juta lembar senilai Rp649,4 miliar dan Muhammad Iman Usman selaku direktur sebanyak 100 lembar senilai Rp10 juta. Ruangguru Pte Ltd merupakan perusahaan di Singapura. Pendanaan Ruangguru sendiri tak lepas dari peran pengusaha AS Thomas Ng dan Ventura Capital, Grup Lippo. Pengurusnya selain Belva dan Usman, juga terdiri dari warga negara asing. Ashish Saboo, warga negara India dan Seah Kian Wee, warga negara Singapura. Keduanya berperan sebagai komisaris⁴. 

Dari sini menjadi pahamlah kita bahwa dana APBN yang alih-alih ditujukan untuk membantu para pencari kerja justru mengalir ke perusahaan-perusahaan asing. Kita menjadi mengerti siapa pihak yang dibuat makin sejahtera melalui program kartu prakerja. Wajar jika banyak yang geram dan berang terhadap isu ini. Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa repatriasi keuntungan investasi di Indonesia dibawa pulang ke negara-negara investor tidak menguntungkan rakyat karena akan berdampak pada pelemahan nilai tukar uang rupiah. 

Mirisnya lagi, materi pelatihan dalam program kartu prakerja ternyata materi-materi yang bisa didapat secara gratis dari platform Youtube. Banyak pihak mengeluhkan dan mengaku kecewa terkait masalah ini. Pasalnya, mereka membayar untuk sesuatu yang sebetulnya bisa diperoleh dengan cuma-cuma. Apesnya pula, insentif yang dijanjikan cair segera setelah peserta menyelesaikan pelatihan, ternyata tak kunjung cair. Beberapa hari terakhir ini ramai diperbincangkan di media massa keluhan peserta kartu prakerja yang belum juga mendapat insentif meski sudah menyelesaikan pelatihan. 

Kedua, jatah penerima program kartu prakerja lebih sedikit dibandingkan dengan angka pengangguran di negeri ini. Hingga Agustus 2018 saja, jumlah pengangguran sudah mencapai 7,05 dari sebelumnya 7 juta orang. Terbayang jumlah penggangguran yang akan terus meroket seiring dengan banyaknya perusahaan yang bangkrut akibat terdampak wabah virus corona. Ini berarti, jangkauan sasaran program kartu prakerja akan semakin sedikit dibandingkan dengan jumlah pencari kerja. Belum lagi, program yang dijalankan secara online mengharuskan pendaftar untuk memiliki perangkat dan akses internet serta kemampuan untuk menjalankannya. Benarkah dari jutaan penganggur yang ada, semuanya mampu memenuhi prasyarat ini? 

Ketiga, sudah tepatkah program kartu prakerja diluncurkan di tengah situasi pandemik seperti saat ini? Banyak pihak menyayangkan sikap pemerintah yang dianggap terburu-buru dalam menjalankan program ini. Apalagi disinyalir banyak konspirasi kepentingan di dalamnya. Padahal, saat ini yang lebih dibutuhkan masyarakat termasuk para pencari kerja baik mereka yang belum memperoleh pekerjaan atau mereka yang terdampak PHK pascawabah corona adalah bantuan langsung berupa uang tunai. Pasalnya, kebutuhan mendesak mereka saat ini adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan bantuan tunai, bukan bantuan bersifat pelatihan keterampilan. Lebih-lebih dengan biaya yang harus dikeluarkan. 

Keempat, benarkah program kartu prakerja memang benar-benar menyasar para pencari kerja atau mantan pekerja sebagai korban PHK? Kenyatannya tak persis begitu. Ini dibuktikan dengan lolosnya seorang praktisi media digital dalam program kartu prakerja. Bahkan berhasil memperoleh sertifikat. Padahal, Agustinus Edy Kristianto mengisi data sebagai wiraswasta saat mendaftar. Ia mengaku sebagai pengurus dan pemegang saham perseroan. Sungguh fakta yang sangat ironis. Sindiran keras Agustinus terhadap program ini ia tulis dan viral di media Facebook⁶. 

Kelima, apakah lembaga pelatihan dan platform digital pelaksana pelatihan program kartu prakerja menggunakan mekanisme pelatihan yang ketat dan mampu menjamin bahwa peserta pelatihan benar-benar akan memiliki keterampilan sesuai jenis pelatihan yang mereka pilih? Tidak sedikit peserta yang mengaku tidak menyelesaikan tugas menyaksikan video tutorial pelatihan secara online, namun mereka dinyatakan lulus dan menerima sertifikat. Jika begini kondisinya, tentu sia-sia saja dana yang dialirkan untuk program ini. Belum lagi, seperti diungkap oleh Agustinus dalam laman Faceboknya, sertifikat pelatihan jurnalistik yang ia ikuti ternyata ditanda-tangani oleh CEO Ruangguru yang notabene tak memiliki keterampilan apapun terkait bidang jurnalistik. Inilah yang makin menguatkan pendapatnya agar presiden menghentikan program kartu prakerja. 

Keenam, benarkah setelah memiliki kartu prakerja para pencari kerja itu benar-benar akan mendapatkan pekerjaan? Banyak pihak menyanksikan hal ini. Soalnya, sebelum virus corona mewabah pun, ketersediaan lapangan pekerjaan sangat sedikit. Tidak seimbang dengan angka pencari kerja. Belum lagi persaingan dengan pekerja asing yang terus didatangkan. Dengan adanya pandemik corona, banyak perusahaan yang gulung tikar. Hal ini tentu saja membuat ketersediaan lapangan pekerjaan semakin sempit dan angka pengangguran akan semakin bertambah. Centre of Reform on Economics (CORE) memperkirakan jumlah pengangguran terbuka bisa mencapai 9,35 juta orang⁵. Oleh karena itu, keterampilan yang telah diperoleh para pemegang kartu prakerja dianggap akan sia-sia karena ketiadaan perusahaan yang siap menampung mereka menjadi karyawan. 

Solusi Alternatif 
Karut-marut persoalan seputar program kartu prakerja maupun program Jaring Pengaman Sosial (JPS) secara umum, tak bisa dilepaskan dari basis ideologi yang digunakan di negeri ini. Meski secara tertulis disebutkan berideologi Pancasila, pada realitasnya harus diakui negeri ini mempraktikan ideologi kapitalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dalam pandangan kapitalisme pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar masyarakat menjadi tanggung jawab masyarakat sendiri. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator. Watak sejati kapitalisme adalah menjaga agar para pemilik modal tetap dapat memperoleh keuntungan, baik dalam situasi normal, maupun dalam situasi sulit seperti saat terjadi pandemik.  Wajar saja jika program semacam kartu prakerja ujung-ujungnya tetap diarahkan pada keuntungan bagi para korporasi besar bahkan asing. Sementara kemanfaatan yang diterima masyarakat sangat kecil. 

Lalu, benarkah bahwa kapitalisme adalah satu-satunya pilihan dalam pengaturan kehidupan kita? Tidak adakah solusi lain yang lebih paripurna dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan baik pribadi, masyarakat, maupun negara termasuk masalah ketenagakerjaan? Jawabannya tentu saja ada. Solusi alternatif itu adalah Islam. 

Islam sebagai sebuah ideologi menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan mendasar masyarakat berada di tangan penguasa. Pemimpin di dalam Islam adalah junnah atau perisai. Ia bertanggung jawab untuk mengurusi seluruh urusan rakyat dengan pengurusan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. 

Rasulullah SAW bersabda, “Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam bidang ketenagakerjaan, penguasa di dalam Islam memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi warga negara merupakan realisasi dari politik ekonomi Islam. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika ada seorang sahabat yang mengadukan keadaannya yang tanpa pekerjaan. Rasulullah memberi petunjuk kepada sahabat itu untuk membeli tali dan kapak. Alat-alat itu digunakan mencari kayu bakar untuk kemudian dijual sehingga ia bisa mendapat penghasilan dari sana. 

Mekanisme penyediaan lapangan pekerjaan oleh penguasa di dalam Islam dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pendekatan individu dan pendekatan sosial ekonomi. 

Pendekatan individu dilakukan dengan penanaman konsep tentang kewajiban bekerja bagi laki-laki serta pemberian keterampilan dan penyediaan modal bagi yang membutuhkan. Pemberian keterampilan tersebut tentu saja diberikan secara cuma-cuma. 

Pendekatan sosial ekonomi dilakukan dengan penyediaan dan peningkatan investasi halal untuk dikembangkan di sektor riil dalam berbagai bidang seperti pertanian, pertambangan, perdagangan, dan kelautan. Dalam menjalankan investasi halal, penguasa di dalam Islam menjamin kemudahan dalam berinvestasi melalui pelaksanaan birokrasi yang sederhana, cepat, dan berkualitas.

Islam melarang keras investasi di sektor nonriil. Bukan hanya karena keharamannya, melainkan dampak penerapannya yang menghasilkan kekayaan hanya beredar di tengah-tengah orang kaya. Islam juga melarang dengan tegas penyerahan barang-barang kepemilikan umum diserahkan kepada individu atau swasta apalagi kepada asing dan aseng. SDA yang menjadi harta bersama umat dikelola sedemikian rupa yang hasilnya digunakan seluruhnya untuk kemaslahatan umat. 

Di saat yang sama, penguasa menerapkan seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan hanya berpedoman pada hukum Syara’. Ia wajib menerapkan seluruh hukum syara bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan dalam semua bidang kehidupan seperti pemerintahan, pergaulan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Tidak boleh ada penerapan hukum di tengah-tengah masyarakat selain hukum yang bersumber dari hukum Allah. Inilah konsekuensi dari keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan. Dengan demikian, Islam sebagai rahmatan lil’alamin akan benar-benar terealisasi sesuai janji Allah di dalam Al-Quran Surat Al-A’raf ayat 96 yang artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”  

Khusus menghadapi wabah, penguasa di dalam Islam memiliki kewajiban untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warganya. Selain memberikan bantuan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok yang memadai, penguasa juga wajib memberikan jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan pascawabah. Bantuan ini diberikan secara merata. Tanpa mekanisme yang rumit dan penuh konspirasi seperti terjadi di tengah sistem kapitalisme saat ini. 

Bagaimana? Apakah masih percaya pada sistem kapitalisme yang terbukti hanya menghasilkan keruwetan? Sudah waktunya kita mengambil sistem alternatif untuk mengatasi krisis yang dihadapi dunia hari ini. Bukankah keamanan dan kesejahteraan yang kita inginkan? Yakinlah hanya Islam yang mampu memberikannya. Wallahu’alam. 

Daftar Referensi
1. https://setkab.go.id/pemerintah-siapkan-rp110-triliun-untuk-jaring-pengaman-sosial/
2.https://money,kompas.com/read/2020/04/28/160000526/gelombang-ii-288.154-orang-lolos-jadi-peserta-kartu-prakerja
3.https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200429104917-37-155173/duit-kartu-prakerja-masuk-ke-lembaga-pelatihan
4. https://tirto.id/kartu-prakerja-keganjilan-seleksi-platform-digital-bermodal-asing-eQbX
5.https://money.kompas.com/read/2020/04/15/183720826/skenario-berat-bakal-ada-935-juta-penangguran-di-ri
6.https://www.vivanews.com/berita/nasional/47627-pelatihan-kartu-prakerja-di-ruang-guru-tak-selesai-dapat-sertifikat

Post a Comment

Previous Post Next Post