Damai Tanpa Perang?

By : Hanifah Ekarianti
Pengajar di STP Khoiru Ummah Serpong

Konon perdamaian itu ibarat oase di tengah gurun kala perang berkecamuk. Pasukan kedua pihak atau minimal salah satu pihak yang terlibat tentunya sejenak ingin berdamai di tengah perang jika keadaannya semakin sulit. Namun apa jadinya jika perdamaian jika peperangan atau bahkan perselisihan pun tidak dilakukan sama sekali?

Seperti pernyataan mengejutkan yang dikeluarkan oleh Presiden RI Joko Widodo, di tengah situasi penanganan penyebaran virus corona yang belum genap dua bulan di Indonesia. Melalui akun resmi media sosialnya (7/5) Jokowi meminta agar masyarakat untuk bisa berdamai dengan Covid-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan. Pernyataan Jokowi itu pun lantas menjadi sorotan di media sosial, lantaran hal itu bertentangan dengan apa yang disampaikannya dalam pertemuan virtual KTT G20 pada Maret lalu.

Masyarakat tentu semakin dibuat resah akibat pernyataan tersebut. Beragam pernyataan yang membingungkan hingga aksi di lapangan yang tumpang tindih bahkan buruknya koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah semakin menambah kusut keadaan. Banyak aturan dan kebijakan yang diambil tanpa ada sinkronisasi dengan semua stakeholder. Sering berubah-ubah dan banyak menyebabkan benturan dan membingungkan daerah dalam bekerja. Setidaknya ada empat stakeholder yang berkaitan erat dengan penanganan Corona, yaitu Kementrian Keuangan, Kemendagri, Kementerian Desa dan PDTT, Kementerian Sosial. Efek dari ketidaksinkronan itu adalah konflik sosial muncul di lapisan bawah saat ini. Hal itu ditandai dengan berbagai penolakan yang dilakukan oleh kepala desa hingga ketua RT/RW. Mereka tidak berani menjalankan aturan yang telah ditetapkan. Belum lagi yang terbaru terkait pernyataan presiden terkait pulang kampung dan mudik yang menyebabkan kegusaran pemerintah daerah yang telah menetapkan PSBB di wilayahnya. 

Sana Jaffrey, sarjana nonresiden pada Program Asia di Carnegie Endowment for International Peace menilai Indonesia telah melakukan blunder dalam penanganan pandemi virus corona Covid-19. Dalam artikelnya yang ditayangkan Carnegie Endowment, ia berkesimpulan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunda langkah-langkah pencegahan dan mengandalkan klaim yang tidak terbukti bahwa cuaca tropis akan memperlambat transmisi di negara terpadat keempat di dunia itu. Pertaruhan itu ternyata tidak membuahkan hasil. Indonesia sekarang menghadapi sistem kesehatan yang runtuh, resesi ekonomi yang dapat terhempas selama dua dekade, dan ancaman kerusuhan sosial yang kian meningkat. (rmol.id 4/5/2020)

Alih-alih berdamai dengan pandemi, strategi perang pun babak belur lebih dulu sebelum dijalankan. Maka sangat berlebihan jika dikatakan perdamaian perlu dilakukan saat ini. Negeri ini butuh pemimpin yang mengerti strategi atas situasi yang dihadapi, bisa melayani kebutuhan rakyat dan jelas punya visi dan misi sebagai negarawan. 

Terlalu berlebihan memang karena nyatanya pemimpin yang lahir dari rahim sistem hidup yang rusak tidak akan menghasilkan apa-apa. Negeri ini butuh pemimpin negarawan layaknya Umar bin Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz hingga Abdul Hamid II yang memahami tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Bukan sekedar klaim tapi diwujudkan dengan aksi nyata berupa kebijakan yang menyejahterakan dan solutif. Mereka lahir dari rahim sistem Islam bukan dari sistem yang lain. Sudah selayaknya negeri ini mengakhiri segala kegagapan dan kegalauan kebijakan menyengsarakan. Beralih ke sistem hidup Islam adalah keniscayaan. 

Post a Comment

Previous Post Next Post