Pulang Ke Kampung Peradaban Islam


Goresan Pena Abu Mush'ab Al Fatih Bala
(Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)

Ramadhan identik dengan mudik. Mudik dalam KBBI berarti menuju ke Kampung. Bertemu anggota  keluarga dan sanak saudara tentu merupakan puncak kerinduan yang membahana.

Banyak orang terpaksa pulang Kampung dalam keadaan wabah. Pilihan yang berat namun karena sistemnya adalah sekularisme ala barat perlindungan terhadap masyarakat itu lebih bersifat bisnis.

Lock Down di beberapa negara dianggap menguras devisa negara sedangkan di negara lainnya rela ekonominya melambat asal warganya selamat. Bagi negara yang tidak lock down tetapi membatasi ruang gerak warganya tampak menyusahkan masyarakat.

Banyak perusahaan yang sempat tutup karena takut dituduh menjadi penyebab tersebarnya Corona sehingga tidak mendapatkan penghasilan dan pegawainya tidak mendapatkan gaji. Sayangnya lagi, banyak pegawai yang tinggal di kos-kosan dan jauh ribuan kilometer dari keluarga.

Ketika mau pulang ke Kampung halaman dicegat di tengah jalan. Tidak diperbolehkan mudik karena khawatir terkena dan mungkin menyebarkan virus Corona ke tempat lain. Hidup menderita karena gaji tak ada, sedangkan biaya kos dan makan minum harus ditanggung  sendiri. Tidak ada bantuan dari penguasa.

Fenomena pulang kampung (baca: mudik) terjadi besar-besaran di kalangan mahasiswa. Kebanyakan dari mereka tinggal juga di kos. Terpaksa pulang karena khawatir jika terjadi apa-apa, keluarga di kampung tak bisa menolong.

Mau makan minum khawatir pasar dan warung ditutup. Jika sakit siapa yang merawat? Beban psikologis khawatir dituduh positif Corona. Sedangkan kiriman dari orang tua tak seberapa.

Sedangkan pulang ke kampung ada kecemasan sepanjang perjalanan. Tentang cara untuk menghindari kerumunan, kepastian pemeriksaan kesehatan yang sesuai standar. Misalnya penyediaan masker yang gratis, disinfektan atau hand sanitizer dan pemeriksaan suhu badan menggunakan termometer (pengukur suhu) canggih apakah tersedia di sepanjang jalan ke Kampung?

Jika terpenuhi semua Alhamdulillah. Terus yang menjadi pertimbangan adalah bagaimana kesiapan kampung tujuan dalam mengawasi dan membimbing para 'ODP'. Sudah lengkapkah fasilitas kesehatan di daerah tujuan?

Dan masih banyak pertimbangan lainnya. Yang jelas dalam pandangan pemudik (baca: yang pulang kampung) di Kampung itu lebih terjamin daripada di tempat asal yang diduga tidak bisa menjamin hajat hidup dan layanan kesehatan.

Hal ini tak akan terjadi jika masyarakat hidup dalam peradaban Islam. Dimana pemimpin Kaum Muslimin itu menganggap serius penanganan wabah dari sudut pandang Islam yang pro umat dan menghindari keuntungan bisnis.

Dalam sistem Islam sebelum terjadi wabah, pekerjaan dan pendidikan gratis diberikan kepada semua warga negara. Tidak boleh ada warga yang tak punya rumah, pakaian dan pangan.

Sehingga sulit ditemukan adanya pengangguran yang kelaparan dan hidup beralaskan tanah dan beratapkan langit. Semua dijamin oleh negara. Namun negara tidak memanjakan warganya. Warga yang wajib kerja harus bekerja karena negara menyediakan lapangan pekerjaan.

Dalam sejarah peradaban Islam, ada fakta di sepanjang perjalanan ada pos pelayanan masyarakat (Dar ad-Daqiq. Rumah singgah ini adalah tempat penyimpanan sawiq, kurma, anggur dan berbagai bahan makanan lain yang diperuntukkan bagi Ibnu Sabil yang kehabisan bekal dan tamu asing di setiap beberapa kilometer). Fungsi pos ini adalah memberikan bekal gratis kepada para musafir (pelajar atau non pelajar) yang kehabisan bekal.

Sehingga warga peradaban Islam tidak cemas selama perjalanan. Pendapatan negara dari SDA dan pos halal lainnya mendukung negara melakukan berbagai layanan terbaik bagi umat. Di tambah sistem hukum yang kuat membuat keamanan kondusif sehingga para pembegal takut melakukan aksinya. Mudik di zaman Islam menjadi lebih aman. Bandingkan pada zaman sekarang dimana banyak kasus perampokan terjadi di musim mudik.

Negara juga ketika mengetahui ada wilayah yang terkena wabah langsung dilakukan karantina wilayah. Sehingga tidak ada penyebaran wabah ke daerah lain. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Syam menjadi daerah 'zona merah' yang diisolasi sehingga daerah Khilafah lainnya masih zona hijau. Tentu dengan tetap menjamin keperluan hajat masyarakat Syam kala itu. Rindu bukan? Ayo kembali wujudkan Peradaban Islam. []

Bumi Allah SWT, 24 April 2020

#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan

Post a Comment

Previous Post Next Post