Kartu Prakerja di Saat Wabah, Solusi Tepatkah?



Oleh : Eviyanti
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

Konsep Kartu Prakerja yang dibanggakan Presiden Joko Widodo, sangat tidak tepat diterapkan saat pandemi Corona virus disease 2019 (Covid-19) seperti sekarang ini.

Dilansir oleh politik.rmol.id pada hari Minggu (12/04/2020), peneliti Institue for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai bahwa Kartu Prakerja diterapkan saat kondisi perekonomian sedang normal. Saat tidak ada wabah dan badai ekonomi, Indonesia memang butuh SDM yang unggul dan memiliki skill yang baik. Tapi di saat terjadi pandemi Covid-19, program ini tidak perlu diluncurkan. Apalagi sampai harus menaikkan anggaran hingga 100 persen, dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun untuk 5.6 juta orang. "Ini kayak 'Jaka Sembung' naik ojek (nggak nyambung), karena korban PHK sekarang enggak perlu dikasih pelatihan secara online gitu ya", terangnya dalam diskusi online bertajuk "Dampak Ekonomi Covid-19 dan Telaah Paket Corona ala Pemerintahan RI", Minggu (12/4). Menurutnya, di saat krisis seperti saat ini, masyarakat dan para korban PHK lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Prakerja. 

Terlebih program Kartu Prakerja ini mengharuskan mereka mengikuti pelatihan online agar bisa menerima bantuan. Sementara dana Kartu Prakerja yang digelontorkan juga akan terpotong untuk para penyelenggara. "Jadi ini yang sedang kita gugat, bahwa inikan orang butuh makan, bukan butuh pelatihan. Apalagi secara online. Dimana pekerja informal bahkan formal juga sebagian belum terbiasa melakukan pelatihan secara online", terangnya.

Pertanyaannya, lebih penting mana pelatihan orang dibandingkan dengan memberi cash transfer kepada pekerja yang terdampak, terutama pekerja informal?

Bahwasanya dengan kondisi krisis ekonomi akibat pandemi saat ini rakyat butuh dana, butuh makan, bukan butuh pelatihan. Betapa mirisnya nasib rakyat yang harus meminta-minta jaminan dan bantuan, layaknya pengemis meminta penuh harap di negaranya sendiri yang sebenarnya kaya berlimpah akan sumber daya alam. Lantas apakah kebijakan yang ditawarkan rezim menjadi solusi kebutuhan dasar rakyat atau hanya sebatas prioritas keuntungan publik (penuhi janji kampanye) dan menutup mata serta cuci tangan dari kebutuhan hakiki rakyat?

Dalam situasi yang membuat banyak orang merasa sangat frustrasi akan pemenuhan kebutuhan pokoknya, maka sebagai pembanding langkah kebijakan di masa peradaban Islam yakni, masa Khalifah Umar bin Khaththab ketika beliau menghadapi situasi krisis di masa kepemimpinannya. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Khaththab, diceritakan bahwa ketika krisis, beliau melakukan beberapa hal berikut:

1. Ketika krisis ekonomi, Khalifah Umar memberi contoh terbaik dengan berhemat dan bergaya hidup sederhana, bahkan lebih kekurangan dari masyarakatnya.

2. Khalifah Umar ra. langsung memerintahkan untuk membuat posko-posko bantuan.

3. Musibah yang melanda, juga membuat khalifah semakin mendekatkan diri kepada Allah, meminta pertolongan Allah Swt. Pemilik alam seisinya.

4. Kepada rakyatnya yang datang karena membutuhkan makanan, segera dipenuhi. Yang tidak dapat mendatangi khalifah, bahkan makanan diantar ke rumahnya, beberapa bulan sepanjang masa musibah.

5. Tatkala menghadapi situasi sulit, Khalifah Umar bin Khaththab meminta bantuan ke wilayah atau daerah bagian Kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu memberi bantuan.

Sosok penguasa yang benar-benar tulus menyayangi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya sejatinya hanya lahir dalam peradaban Islam. Ketakwaanlah yang membentuk khalifah menjadi sosok yang seperti itu.

Begitulah perbedaan fakta dari rezim sistem kapitalis dan pemimpin dalam sistem Islam. Khalifah menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai prioritas tertinggi, karena pertanggungjawaban akhirat menjadi tujuan.

Allah mengingatkan umat manusia di muka bumi, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akhirat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (TQS. ar-Rum [30]: 41)

Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post