Minyak, Corona, dan Dominasi Kapitalisme

Oleh : Djumriah Lina Johan
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)

Belum lama ini, Presiden Rusia Vladimir Putin memicu perang harga minyak terburuk dalam sejarah modern. Hal ini Putin lakukan setelah negaranya, yang memimpin sekutu-sekutu non-OPEC, menolak untuk melanjutkan upaya pemangkasan produksi pada pekan lalu. Menurut Brian Sullivan, Anchor dan Senior National Correspondent di CNBC International, langkah ini akan membuat pasokan minyak membludak, dan yang lebih parah, ini akan merugikan perusahaan minyak dan gas Amerika Serikat.

Pada pertemuan OPEC di Wina, Austria yang digelar Jumat (6/3/2020) lalu, OPEC yang dipimpin Arab Saudi serta anggota non-OPEC, gagal mempertahankan kesepakatan untuk memangkas produksi minyak. Dalam kesempatan itu, anggota OPEC awalnya mengajukan proposal untuk memangkas kuota produksi minyak lebih lanjut sebanyak 1,5 juta barel per hari. Namun, Rusia menolaknya. Parahnya, pasca kelompok gabungan yang disebut OPEC + itu mengumumkan menghentikan produksi, saat Arab Saudi malah mengumumkan akan memberikan diskon harga minyak.

Sebagaimana dilaporkan CNBC International, Arab Saudi berencana memberi potongan harga minyak mentah bagi pelanggan China sebanyak US$ 6 atau US$ 7 per barel. Tidak hanya itu, negara ini juga dilaporkan ingin meningkatkan produksi minyak mentah harian sebanyak 2 juta barel per hari (bph) ke dalam pasar global yang sudah kelebihan pasokan. “Pergerakan Saudi ini adalah perebutan pangsa pasar dan sinyal keras ke Moskow bahwa mereka telah melakukan permainan.” tulis Sullivan dalam artikel yang dimuat di media itu.

Keadaan yang mengkhawatirkan ini semakin diperparah fakta bahwa wabah virus corona asal Wuhan, China telah menekan permintaan global akan minyak. Ini dikarenakan banyak orang menunda atau membatalkan perjalanan karena khawatir tertular virus mematikan itu. (CNBCIndonesia.com, Minggu, 15/3/2020).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut anjloknya harga minyak dunia berpotensi menyebabkan resesi ekonomi. Sebab, turunnya harga minyak membuat harga komoditas seperti sawit dan batu bara ikut turun. Hal itu lantaran harga minyak sering menjadi acuan harga komoditas ekspor unggulan. “Ini sangat berbahaya pengaruhnya buat kinerja ekspor pada 2020. Sebelumnya virus corona sudah menurunkan kinerja neraca dagang, ditambah perang harga minyak bisa memicu resesi ekonomi,” kata Bhima ke Katadata.co.id pada Selasa (10/3).

Apalagi situasi ekonomi saat ini tak kondusif. Bhima menyebut kepanikan sedang melanda pasar keuangan. Hal itu terlihat dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG hingga 6.9% dalam sepekan. Hal tersebut memicu investor asing melakukan aksi jual saham sebesar Rp 1 triliun. “Dana asing yang keluar membuat rupiah makin tertekan sehingga rupiah diperkirakan melemah ke 14.500-15.000 dalam jangka waktu pendek,” kata dia.

Selain itu, menurut Bhima, turunnya harga minyak dipastikan membuat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari migas akan menurun. Apalagi, harga minyak saat ini dibawah asumsi APBN.

Sejatinya volatilitas harga minyak merupakan imbas dari penerapan ideologi kapitalisme. Dalam kapitalisme, tidak dikenal pembedaan kepemilikan, entah itu pemilikan individu, umat, ataupun negara. Seluruh jenis sumber daya dianggap milik individu. Oleh karena itu, individu, dalam bentuk perusahaan swasta, berhak memiliki dan mengelola sumber daya alam apapun, termasuk minyak.

Konsep ini dipropagandakan dan dipaksakan oleh lembaga-lembaga kendali kapitalis dunia seperti IMF dan World Bank, termasuk OECD, pada negara-negara dunia. Liberalisasi sumber daya, sering juga disebut privatisasi, membuat sumber daya alam yang secara syar’i merupakan milik umat, menjadi dapat dikuasai individu.

Perusahaan swasta memiliki qimah madiyah. Tujuan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam adalah keuntungan materi. Maka, sumber daya yang dikelola oleh individu diperlakukan menurut hukum pasar. Sumber daya alam, termasuk minyak bumi, dijual dengan harga pasar, yang sangat terikat dengan prinsip pasokan dan permintaan (supply and demand).

Celakanya, yang memainkan harga minyak sebenarnya tidak sepenuhnya para pelaku pasar tersebut. Banyak spekulan-spekulan di bursa saham yang dapat memainkan harga minyak sesuai kepentingannya. Mereka adalah tangan tak terlihat (invisible hand) yang berperan besar dalam menentukan harga minyak. Ketika terjadi isu-isu politik global, seperti virus corona, tangan-tangan tak terlihat inilah yang mengendalikan apakah harga minyak naik ataukah turun.

Sehingga, bisa dikatakan bahwa kapitalisme benar-benar mengisap darah umat untuk memenuhi nafsu kutu-kutu kapitalis yang menguasai sektor perminyakan. Sungguh kezaliman yang nyata!

Minyak bumi, sebagaimana sumber daya alam lainnya yang jumlahnya melimpah, adalah milik umat (milkiyyah ‘ammah). Selaku kepemilikan umat, maka haram hukumnya sumber daya alam untuk dikuasai dan dikelola oleh individu, dalam hal ini swasta. Rasulullah saw bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Minyak merupakan sumber energi, yang diqiyaskan dengan api dalam hadits di atas. Dengan demikian, minyak merupakan milkiyyah ‘ammah, sehingga yang diberi hak pemilikan oleh Allah adalah masyarakat secara umum, bukan individu tertentu. Masyarakat tidak boleh dihalang-halangi dari memanfaatkan yang menjadi hak miliknya. Hanya saja, untuk menjamin bahwa seluruh masyarakat dapat mengakses hak miliknya dengan baik, negara mewakili masyarakat untuk mengelola sumber daya dan mengembalikannya kepada masyarakat.

Dengan ketentuan milkiyyah ‘ammah ini, maka masalah volatilitas harga minyak dapat dihabisi sejak dari akarnya. Swasta tidak memiliki hak barang sedikitpun akan minyak bumi milik umat. Swasta hanya boleh dipekerjakan sebagai tenaga teknis, bukan sebagai pemilik atau pengelola. Karena yang mengelola adalah negara sepenuhnya, maka harga minyak tidak akan menjadi volatil sehingga menyebabkan keguncangan ekonomi dan menzalimi rakyat.

Selain itu, penentuan harga pasar dalam Khilafah benar-benar didasarkan pada prinsip supply and demand, bukan melalui tangan-tangan tak terlihat yang memanfaatkan isu-isu politik global untuk menjatuhkan atau meroketkan harga minyak. Tidak ada juga perbedaan penerimaan hak, baik umat Islam di Jazirah Arab atau di Nusantara, karena semuanya sama-sama muslim. Semua berada dalam kekuasaan tunggal dengan kekuatan ekonomi tunggal.

Hak-hak kaum muslimin hanya bisa dipenuhi jika dan hanya jika umat Islam dipimpin dalam entitas tunggal Khilafah Islamiyyah ‘ala minhajin nubuwwah. Ketiadaan Khilafah hanya akan membuat umat Islam terjebak dalam kekuasaan kafir harbi sementara hak-hak yang seharusnya milik mereka justru habis dihisap oleh swasta asing. Ketiadaan Khilafah adalah sumber fasad yang hakiki. Wallahu a’lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post