Mewujudkan Persatuan yang Didambakan Umat

Oleh: Imayanti Wijaya

Fakta polarisasi yang terjadi ditengah umat Islam dalam sistem demokrasi saat ini, tidak bisa dikatakan sesuatu yang wajar. Keberadaannya menjadi hal yang sangat memprihatinkan dan harus diperbaiki. Perpecahan rentan muncul akibat perbedaan pendapat, madzhab, kelompok dakwah,dan lain sebagainya. Mirisnya, hal ini kian memperuncing khilafiyah diantara umat. Menjadi samar mana kawan dan mana lawan. Terhadap sesama muslim yang berbeda aliran ataukah madzhab, sikap yang ditampakkan tak ubahnya bagai musuh. Tidak jarang karena berbeda paham, muslim satu menyerang muslim lainnya dan melakukan persekusi terhadap kegiatan dakwahnya.

Namun anehnya hal ini berlaku kebalikan terhadap non muslim yang jelas-jelas mereka kafir dan  bertentangan secara akidah. Orang kafir seringkali mendapat perlakuan istimewa atas nama toleransi. Bahkan berbaur dalam perayaan keagamaan agama lain acap kali dilakukan. Seperti yang pernah sempat viral terjadi pada tahun 2015 silam, ketika publik sempat dikejutkan oleh perilaku mahasiswa sebuah PTAIN. Dimana belasan Mahasiswa UIN DIY ikut merayakan Misa malam Natal di dalam sebuah gereja. Anehnya, apa yang dilakukan oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini justru dianggap biasa oleh Perguruan Tinggi Agama Islam lainnya, khususnya jurusan ushuluddin. Mereka berdalih bahwa kegiatan serupa yang mengatasnamakan toleransi sudah biasa dan  sering digelar, seperti buka bersama di Klenteng, membantu persiapan ritual perayaan hari raya Hindu dan Budha, membersihkan tempat ibadah mereka, dan lain sebagainya. Partisipasi yang mereka lakukan dalam berbagai perayaan itu dianggap bagian dari proses akademis-ilmiah yang wajar dan tidak menyalahi, karena mereka beranggapan tidak ada satupun dalil yang mengharamkannya.

Pada acara perayaan Natal bersama MPR, DPR, DPD tahun 2019 lalu, ada satu statement yang mengejutkan dari Prof. KH. Nasaruddin Umar. Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Nasaruddin Umar menegaskan ajaran Islam menekankan bahwa silaturahmi tidak dipilah dan dibedakan oleh atribut-atribut primordial manusia seperti: agama, ras, etnik, suku-bangsa, negara, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan lain sebagainya. Ia mengutip QS Al-Isra’ ayat ke-70, yang artinya:

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak cucu Adam.” 

Dari ayat tersebut ia menyimpulkan bahwa Tuhan tidak menggunakan redaksi: “Allah memuliakan orang-orang Islam"  Hal ini berarti siapa pun sebagai anak cucu Adam wajib dihormati sebagai manusia,” demikian ungkapnya (MuslimahNews.com)

Seolah memperkuat ide toleransi yang dihembuskan. Sebagaimana yang dilansir Republika (7/2/2020), Presiden Jokowi telah menyetujui sebuah gagasan baru. Yaitu membangun sebuah terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral. Sebuah ikon baru bagi toleransi di Indonesia. Terowongan ini akan menjadi situs toleransi dan monumen kerukunan umat beragama di Indonesia.

Pro-Kontra terkait rencana dibangunnya terowongan toleransi ini pun bermunculan.
Tidak semua kalangan setuju dengan gagasan ini, karena nyatanya tidak sedikit pernyataan kontra muncul dari kalangan para tokoh. Sebut saja dua organisasi besar Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, masyarakat membutuhkan silaturahmi dalam bentuk infrastruktur sosial, bukan dalam bentuk infrastruktur fisik berupa terowongan.

Kita pun perlu menelisik urgensitas dibuatnya terowongan bawah tanah ini, apakah benar nantinya berpengaruh besar dalam mewujudkan persatuan umat?

Seperti kita ketahui bersama, sejak awal persatuan Dunia Islam adalah mimpi buruk bagi Barat. Untuk mencegah terwujudnya persatuan, baratvterus menggunakan strategi integrasi untuk mengeksploitasi berbagai kepentingan ekonominya dengan berbagai proyek regionalisme seperti Uni Eropa, APEC dll. Disisi lain mereka terus melakukan strategi pecah-belah terhadap Dunia Islam. Ketakutan Barat terhadap persatuan Dunia Islam dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah yang ‘menakutkan’ ketika mereka harus menghadapi negara adidaya (super power state) Khilafah Islam yang pernah berjaya sepanjang sejarah peradaban dunia.

Setelah War on Terrorism (WoT), umat Islam kembali disibukkan dengan war on Radicalism (WoR). Namun penting untuk diteliti lebih jauh apakah perang melawan radikalisme ini merupakan hal alami yang terjadi begitu saja ataukah ada sebuah grand design yang sengaja dibuat? 

Jawaban atas pernyataan di atas bisa dirunut ke belakang ketika pada tahun 2003 terbit dokumen RAND Corporation  berjudul Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies. Dokumen ini berisi kebijakan AS dan sekutunya atas Dunia Islam. Intinya, memetakan kekuatan (mapping), sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui berbagai  pola untuk mencegah kebangkitan Islam.

Rand Corp adalah Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di Timur Tengah yang dibiayai oleh Smith Richardson Foundation. Berpusat di Santa Monica-California dan Arington-Virginia, Amerika Serikat (AS). Sebelumnya, Rand adalah perusahaan bidang kedirgantaraan dan persenjataan Douglas Aircraft Company. Entah mengapa kemudian beralih menjadi think tank (dapur pemikiran) yang dana operasionalnya berasal dari proyek-proyek penelitian pesanan militer.

Tahun 2007, Rand menerbitkan lagi dokumen Building Moderate Muslim Networks. Juga didanai oleh Smith Foundation. Dokumen terakhir ini memuat langkah-langkah membangun Jaringan Muslim Moderat pro-Barat di seluruh dunia. Baik Rand maupun Smith Foundation, keduanya berafiliasi ke Zionisme Internasional.

Selain itu, beberapa cara yang ditempuh untuk memojokkan kaum fundamentalis di antaranya dengan mengulang-ulang tayangan aksi-aksi mereka yang mengandung kekerasan di televisi, sedangkan kegiatan yang bersifat positif dan konstruktif sengaja tidak dimunculkan. Upaya “mengeroyok” dan menyerang argumen narasumber yang dianggap dari kaum fundamentalis terus dilakukan dengan format dialog 3 lawan 1 dan lainnya. Bisa juga dengan memidana para aktivis Islam dengan tuduhan teroris atau pelaku kekerasan dan lain-lain.

Terkait grand design tersebut, AS dan sekutunya menyediakan dana bagi individu dan lembaga-lembaga seperti LSM, pusat kajian di beberapa universitas Islam maupun universitas umum lain, serta membangun jaringan antar komponen untuk memenuhi tujuan-tujuan yang dimaksud. AS dan sekutunya sadar, mereka tengah terlibat dalam suatu peperangan total baik fisik (dengan senjata) maupun ide. Mereka ingin memenangkan perang itu dengan cara menjauhkan Islam dari umatnya dan membuat orang Islam agar tidak berperilaku lazimnya seorang Muslim.

Disisi lain, sebagian umat Islam merasakan adanya upaya-upaya pembungkaman terhadap orang dan organisasi yang secara tegas menyuarakan Islam. Para pembenci Islam yang tidak menginginkan Indonesia kuat dengan syariat, tentu merasa diuntungkan akan gencarnya pembungkaman yang dilakukan. Mereka ingin putra-putri negeri Muslim terbesar ini terus porak-poranda. Mereka yang diuntungkan tersebut adalah kaum kafir imperialis dan para kompradornya. 

Bagi negara-negara imperialis, seperti Amerika dan Inggris, kembalinya umat Islam pada syariah Islam menjadi ancaman nyata bagi penjajahan mereka di negeri Islam. Geliat kebangkitan Islam yang mengarah pada keinginan menegakkan Khilafah sangat mengkhawatirkan. Di sisi lain, krisis dalam  tubuh Kapitalisme yang semakin parah, hal ini semakin mendorong umat untuk kembali pada Islam. Kondisi inilah yang mendorong upaya deislamisasi semakin  gencar dilakukan. Lalu bagaimana sikap yang harus dilakukan umat menghadapi berbagai strategi adu domba ini?

Kita pun menyadari bahwa barat sangat memahami bahwa persatuan adalah inti dari kekuatan umat Islam. Khilafah Islam pada masa kegemilangannya telah menunjukkan posisinya sebagai superpower pada masa Abad Pertengahan. Memang, Islam berpotensi melahirkan perbedaan. Namun, dalam Islam ada prinsip “perbedaan adalah rahmat” dan “amrul imam yarfa’ al-khilaf” (perintah imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat). Prinsip ini mampu mengembalikan berbagai perbedaan yang muncul di Dunia Islam ke persatuan dan kesatuan umat. Barat senantiasa mencari celah untuk dapat masuk dan memecah-belah umat Islam dan memaksa mereka untuk mengadopsi ide nasionalisme.

Bertolak belakang halnya dengan gaung persatuan yang hambar di alam sistem demokrasi ini, sistem Islam di masa silam  telah memberikan contoh nyata persatuan umat Islam yang hakiki. Bahkan persatuan tersebut berhasil mengantarkannya sebagai sebuah peradaban bermartabat nan mulia yang memimpin umat manusia selama kurang lebih 1400 tahun dan terbentang dalam 2/3 dunia. Dan di dalam Islam persatuan di tubuh umat Islam tersebut haruslah bersandar pada ikatan akidah Islam, bukan pada asas manfaat ataupun kepentingan individu dan segelintir orang.

Sepak terjang kafir barat ini seharusnya semakin membukakan mata kita bahwa orang-orang kafir tidak akan pernah menghentikan kebencian mereka hingga umat Islam mengikuti jalan (Millah) mereka. Seperti firman Allah Swt dalam Al Qur'an yang artinya:
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)

Adanya upaya membelokkan Islam terhadap kaum muslim akan selalu menjadi agenda besar bagi para pembenci Islam. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk menjauhkan Islam kaffah dari pemeluknya. Melalui ide Islam moderat tersebut diharapkan akan mampu  mengaburkan pemahaman umat tentang keislaman yang utuh. Oleh karenanya umat perlu mewaspadai agenda ini.

Telah begitu nyata kebencian kaum kafir penjajah terhadap Islam dan pemeluknya. Mereka melakukan berbagai upaya untuk memecah belah persatuan umat Islam dengan politik adu dombanya. Sudah saatnya Muslim bangkit dan menyadari akan hal ini, dan berusaha sekuat tenaga mengembalikan kehormatan Islam yang sekian lama telah direndahkan. Meraih kembali kemuliaan dan kembali menjadi umat terbaik, melalui diterapkannya Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post