Corona, Melatih Ikhlas Saat Berbeda

By : Beti Nurbaeti

Bacaan Alquran selalu menarik untuk dibaca dan didengarkan. Alunan merdu sesuai kaidah melenakan rasa dan pikiran untuk mendekat pada Sang Pencipta Kalam Suci. Meski banyak ragam lagam dalam membacanya, namun kaidah yang dipakai tetap sama. Ghunnah dibaca dengung, idzhar dibaca jelas, qolqolah dibaca memantul diujung huruf dan lainnya. 

Dalam pelajaran Alquran juga dikenal istilah Gharib. Bacaan yang asing berbeda dengan keumuman bacaan. Isymam misalnya, bibir akan dimajukan ditengah-tengah Ghunnah. Atau Saktah yang berhenti sejenak sekitar dua ketukan tanpa bernapas. Atau bacaan Imalah yang memiringkan huruf i kearah e. Untuk yang belum paham, ini tentu akan terasa aneh didengar. Tapi untuk yang paham menjadi kewajiban untuk membaca sesuai aturan. 

Yang menarik dari para Pembelajar Alquran ini. Tak pernah ada yang protes dengan perbedaan keumuman bacaan. Itu karena meyakini semua berasal dari Rasulullah, maka wajib mengikutinya tanpa tapi. Jika meragukan apa yang  Rasulullah ajarkan, sama saja dengan meragukan kebenaran yang dibawanya. Keyakinan pada kebenaran secara total menjadi modal utama untuk taat  tanpa diwarnai sedikitpun keraguan. Meski kadang orang menganggap aneh atau mencela. 

Adanya sikap nyinyir pada orang-orang yang memutuskan untuk lockdown secara mandiri, dan bertahan di rumah tanpa berangkat kemanapun, berusaha menyelamatkan diri dan keluarga dari pandemi yang sedang terjadi. Seakan sedang menggugat hadits Nabi tentang pandemi. Ditambah keputusan meninggalkan sholat berjamaah di mesjid, denga tujuan mencegah penyebaran virus yang tak kenal tempat ibadah ataupun tempat maksiat.  lengkaplah ungkapan seolah dia lebih takut virus daripada Allah. 

Padahal kasusnya jelas  berbeda. Ini kejadian luar biasa yang pemakaian hukumnya pun tentu berbeda. Seperti istilah istilah gharib di alquran tadi.  Ada hukum-hukum yang berbeda dalam keumumannya. Pun dalam kejadian luar biasa, ada hal diluar keumuman yang  harus kita yakini kebenarannya. Jangan mendramatisir dengan kalimat -kalimat provokatif, seakan pilihan lockdown sebuah kesalahan dan melanggar hukum Syara. Mencela orang yang memilih tidak berangkat ke mesjid dan mengikuti kajian .

Lockdown adalah pilihan tanpa kecuali ketika wabah terjadi. Rasulullah telah menyampaikannya belasan abad yang lalu. Meski analisa para ahli berbeda, dan membuat banyak orang ragu tentang nasib negeri ini jika lock down diberlakukan. Sebagai Muslim, tentu saja kita lebih meyakini apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. Allah tentu maha tahu apa yang terbaik buat hambanya.

Butuh keikhlasan untuk sejenak melepaskan diri dari kebiasaan yang bernilai pahala, demi meraih kemaslahatan bersama. Jangan sampai kita menganggap beribadah tapi justru mendzalimi orang karena virus yang tak kita tahu menempel di tubuh kita atau jamaah yang lain.   

Ketika ada pilihan dan keduanya sama-sama bernilai pahala, tentu dipilih  yang lebih kuat dasarnya.  Seperti keikhlasan mengikuti kaidah gharib. Lapang dada karena berdasar keyakinan pada Titah Penguasa Semesta. 

Lockdown memang bukan perkara mudah. Butuh kerja sama berbagai pihak. Sudah semestinya pemerintah hadir dalam mengambil alih tanggung jawab mengurusi rakyat. Kesehatan adalah hak seluruh rakyat yang wajib dipenuhi Pemerintah. Kewajiban yang jika dilalaikan adalah sebuah kedzaliman.

Bukan saatnya berbeda, ketika tangan-tangan kita butuh saling mengenggam. Saling menguatkan dan bersama-sama melawan dan mengusir Virus agar tak nyaman berada di negeri kita. Berbagai pendapat biarlah menjadi pengetahuan kita dan kita tetap yakin pada perintah Allah yang disampaikan lewat Rasulullah Saw.

"Jika kalian mendengar wabah menjangkiti suatu negeri. Maka janganlah kalian menuju kesana. Namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada didalamnya, maka janganlah kalian keluar dan kari darinya". (HR Bukhori-Muslim).

Post a Comment

Previous Post Next Post