Solusi Semu di Balik Terowongan Silaturahim



Oleh : Dian Puspita Sari 
Ibu Rumah Tangga dan Pemerhati Sosial Politik 

Baru-baru ini masyarakat dibuat terheran-heran. Dengan ide pemerintah melakukan pembangunan terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral.

Dilansir oleh Republika.co.id (10/2/2020), Wakil Presiden Ma'ruf Amin mendukung rencana pembangunan terowongan bawah tanah yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Menurut wapres, terowongan itu dibangun sebagai simbol kerukunan dan silaturahim antar umat beragama. 

Pertanyaannya adalah apakah negara ini sedang darurat intoleransi? Hingga membutuhkan terowongan penghubung dari Masjid Istiqlal ke Gereja Katedral. 

Apakah tidak ada lagi masalah lebih serius yang harus diselesaikan? Sehingga pemerintah merasa butuh mencanangkan program "Terowongan Silaturahim".

Sementara itu, hal-hal yang seharusnya menjadi fokus perhatian sama sekali tak terlintas dalam benak pemerintah. Seperti,  
• Kewajiban untuk membayar utang pokok luar negeri. 
• Membereskan ratusan kasus korupsi di lembaga pemerintahan. 
• Mencari solusi atas kenaikan harga kebutuhan pokok dan tarif layanan publik. 
• Mengentaskan kemiskinan. 
• Menyelesaikan problem pendidikan. Menyediakan lapangan pekerjaan. 
• Dan masih banyak lagi. 
Semua problem tersebut lebih membutuhkan solusi jangka panjangnya. Daripada fokus memikirkan terowongan bawah tanah. 

Jika terowongan tersebut diniatkan untuk  menyambung tali silaturahim, apakah pemerintah sadar bahwa di dalam Islam, ada batasan syar'i yang jelas terkait interaksi antara muslim dan non muslim?

Muslim diperbolehkan berinteraksi dengan non muslim dalam hal muamalah seperti transaksi perdagangan (jual beli), pendidikan, kesehatan, hukum dan aspek hidup lainnya. Tapi bukan dalam aspek ibadah. Dalam hal ibadah, Islam sudah mengaturnya dengan jelas. 

Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman, 


Ù„َÙƒُÙ…ْ دِينُÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„ِÙŠَ دِينِ

“Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS al-Kafiruun: 6) 

Dalam hal ibadah, maka toleransi yang berlaku adalah dengan membiarkan para pemeluk lintas agama untuk meyakini dan menjalankan ibadahnya menurut keyakinan agamanya masing-masing, tanpa ada intervensi. 
Membangun "terowongan silaturahim" sebagai penghubung dari Masjid Istiqlal ke Gereja Katedral merupakan toleransi kebablasan.

Jika ini tetap terus dilakukan pemerintah, akan berdampak besar pada guncangan terhadap akidah umat Islam.
Sebab, intensitas interaksi muslim dengan non muslim kian meningkat. Hingga level sinkretisme yaitu mencampuradukkan antara yang haq dan batil. 

Selain itu, dana pembangunan terowongan bawah tanah ini pasti akan menguras kantong keuangan negara. Di tengah krisis yang melanda negeri ini, seperti: 
• Rencana pemangkasan gaji pensiunan PNS Rp 300.000,00. 
• Pengadaan anggaran keuangan luar biasa untuk merealisasikan janji-janji kampanye Jokowi di pilpres 2019, yang baru-baru ini dikeluhkan menteri keuangan. 
• Kemiskinan yang menyengsarakan rakyat akibat korupsi massal para elit politik. 

Hal ini jelas merupakan pemborosan yang merugikan kepentingan rakyat. Kecuali bagi mereka, para  kapitalis yang berkepentingan atas negeri ini. Baik swasta lokal maupun asing. 

Lebih baik dana sebanyak itu dialokasikan untuk  mengentaskan kemiskinan dan mengatasi masalah yang lebih urgen. Sejatinya, yang diperlukan rakyat bukan terowongan silaturahim, melainkan rakyat butuh jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu berupa papan, sandang, pangan, dan kebutuhan pokok masyarakat berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Dari sini, jelas bahwa pembangunan terowongan silaturahim Masjid Istiqlal-Gereja Katedral bukan solusi hakiki untuk menuntaskan persoalan utama di negeri ini. Justru menimbulkan problem baru, yakni pengikisan akidah umat Islam. 

Satu-satunya solusi untuk menuntaskan beragam masalah kehidupan dalam semua aspek adalah dengan meninggalkan sistem sekuler yang menjauhkan kita dari aturan Allah SWT.  Kemudian merevolusinya dengan sistem hidup Ilahi yang bersumberkan pada Al-Qur'an dan sunah, dalam naungan Khilafah Islam. Sang penerap syariah Islam kafah. 
Dengan syariah-Nya, hidup kita menjadi berkah. Insya Allah. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post