Sengkarut Omnibus Law Bikin Kalut, Islam Solusinya

Oleh: Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Masyarakat  tentunya masih asing dengan istilah Omnibus Law, yang digagas Presiden Jokowi setelah usai pelantikan presiden, Oktober tahun 2019. 
Produk Omnibus Law merupakan perundang-undangan baru, yang menyatukan sejumlah aturan menjadi satu aturan saja. Disebut juga UU Sapu jagad, karena menyapu banyak UU akibat aturan dibuat menjadi satu aturan. 

Pemerintah bermaksud menggenjot investasi dengan memangkas atau mengamandemen semua aturan yang dianggap menghambat masuknya investasi dan investor melalui UU Omnibus Law.

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa, Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi (Undang-Undang) yang berbelit-belit dan panjang. Pemerintah juga meyakini Omnibus Law akan memperbaiki ekosistem investasi, dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional.

Omnibus Law yang akan dibuat Pemerintah Indonesia, terdiri dari dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Rencananya akan menyelaraskan 82 UU dan 1.194 pasal.(V.online-pajak.com, 16/01/2020) 

Penyusunan draf RUU yang rencananya akan segera dirampungkan dalam waktu 100 hari kerja ini, telah memicu gelombang penolakan. Faktor penyebabnya  adalah ketiadaan transparansi dan pelibatan masyarakat sipil. Terlebih kebijakannya tidak berpihak kepada buruh, rakyat sipil, dan pengusaha lokal.

Sejumlah buruh yang bergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN). Mereka menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Sebab, draf RUU  tersebut isinya dinilai semakin menurunkan kesejahteraan buruh. 

Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal. Menyatakan bahwa,  UU Omnibus Law sangat merugikan kaum buruh dan masyarakat, karena: 

1. Menghilangkan upah minimum
2. Melenyapkan pesangon.
3. Membebaskan buruh kontrak dan outsoursing.
4. Menghilangkan jaminan sosial.
5. Mempermudah masuknya tenaga kerja asing (TKA)
6. Menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha, dan lainnya.

Sengkarut masalah  yang muncul karena kebijakan Omnibus Law, sungguh menimbulkan kekalutan luar biasa karena menyangkut hajat hidup. Pemerintah dinilai bebal tidak peka mati akal.

Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, menyebut RUU Omnibus Law  Cipta Lapangan Kerja, merupakan bentuk sikap otoriter pemerintah (pasal 170). Dinilai sangat berbahaya. Sebab mengandung banyak aturan yang merugikan, terutama untuk Pemerintah Daerah. Hal ini diungkap Bima merujuk pada draf yang ia dapat.
Walaupun, justifikasinya untuk pembangunan yang efektif, tapi bahaya.
Banyak hal dikorbankan. Kata Bima dalam diskusi yang digelar Indo Barometer di Hotel Century Park, Jakarta. (CNN, Indonesia,16/2/2020)

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2019, sebesar 5,02%. Lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 5,17%. Penurunan daya beli  dan investasi diyakini sebagai penyebab rendahnya  pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan keadaan seperti itu, Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja, kata Direktur Eksekutif Riset Core 
Indonesia Piter Abdullah. 
(Detik.com,9/2/20)

Sudah jelas bahwa investasilah penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.Tapi, anehnya Presiden Jokowi malah ingin menggenjotnya. Ada apa?

Lebih lanjut Piter mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 5%, artinya lapangan kerja yang ada tidak mampu untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah 3 juta jiwa setiap tahun. Namun, hanya bisa menyerap tenaga kerja berkisar 1.250.000 jiwa setiap tahun.Jika diasumsikan pertumbuhan ekonomi 1% bisa menyerap 250.000 jiwa. Artinya jika pertumbuhan ekonomi 5% maka ada 1.750.000 jiwa pengangguran setiap tahunnya. (detikfinance, 9/2/20)

Dari data diatas bisa ditarik benang merah, bahwa pertumbuhan ekonomi yang rendah, berdampak signifikan terhadap tingginya angka pengangguran.  Sungguh, salah besar! Jika untuk membuka lapangan kerja mengurangi pengangguran, dengan cara menggenjot investasi. Akibatnya:

1. Masuknya modal asing di Indonesia dianggap mematikan pengusaha lokal, karena kalah dalam persaingan modal, intelektual dan ketrampilan.

2. Penanaman Modal Asing (PMA) yang terlalu liberal, akan menyebabkan penguasaan asing terhadap aset negara menjadi tak terkendali. Otonomi daerah hanya mempermudah asing menguasai SDA, dan berbagai hajat hidup publik.

3. Investasi yang terbuka lebar bagi asing, akan membahayakan posisi UKM. Untuk saat ini, UKM di Indonesia belum cukup siap jika harus bersaing dengan asing.

4. Negara menjadi tidak berdaulat, sebagai pembebek mengikuti arahan tuannya. Karena tidak ada istilah makan siang gratis. 

5. Ekonomi berbasis riba. Keuntungan  terbesar dinikmati asing. Negara hanya mendapat remah-remahnya saja (royalti).

6. Pengangguran semakin tinggi, karena tenaga asing bebas masuk-keluar dan bekerja di semua sektor yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh anak negeri.

7. Negara lepas tangan, tidak meriayah (mengurusi dan mengatur rakyatnya),  terkesan abai, membiarkan, tidak memberikan perlidungan terhadap rakyatnya.

8. Berbeda perlakuannya, terhadap investor dibentangkan karpet merah dianakemaskan. Pemerintah akan memangkas UU yang dianggap menghambat iklim investasi. Yakni: Mekanisme penilaian AMBAL, dihilangkannya izin lingkungan tentang perlindungan dan pengelolaan hidup, penghapusan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan lingkungan hidup, sama artinya melanggengkan pengrusakan lingkungan hidup, dan masih banyak lagi.

Itulah bahayanya investasi asing. Sejatinya keberadaan investasi, justru merugikan. Semua itu disebabkan,  Indonesia menganut asas sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan.  Dimana ekonominya berbasis riba, yang bisa mengundang datangnya azab. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri." (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Bagaimana Islam mengatasi pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi?

1. Islam mewajibkan kepala negara (khalifah) memberikan  pekerjaan kepada mereka yang membutuhkan.  Rasulullah saw. bersabda:

«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ»

Imam/khalifah adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Adapun mekanisme yang dilakukan oleh khalifah secara garis besarnya ada dua yaitu mekanisme individu dan sosial ekonomi.

1. Mekanisme individu.

Masing-masing individu didorong memiliki akidah yang kuat. Melalui sistem pendidikan diberikan pemahaman tentang wajibnya bekerja, kedudukan orang-orang yang bekerja di hadapan Allah Swt. memberikan ketrampilan dan modal bagi yang membutuhkan. Pada dasarnya Islam mewajibkan individu untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup. 
Banyak nash Al-Qur'an maupun hadis yang memberikan dorongan kepada individu untuk bekerja, antara lain:
QS. al-Mulk [67]: 15

2. Mekanisme sosial ekonomi

Khalifah menjalankan mekanisme ini melalui sistem dan kebijakan, baik di bidang ekonomi maupun bidang sosial yang terkait dengan masalah pengangguran.

Di bidang Ekonomi, negara khilafah minimal mempunyai empat sumber yaitu pertanian, perdagangan, jasa dan industri.

Dalam bidang pertanian, semua tanah-tanah pertanian harus dikelola dengan baik dan maksimal untuk memenuhi hajat hidup rakyat. Melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Khilafah mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah-tanah mati (terlantar selama 3 tahun) menjadi hak milik mereka. Dengan memberikan insentif berupa modal.

Dalam perdagangan, Islam melarang riba, mafia, penipuan, kartel, menimbun yang semua itu diharamkan. Juga tidak boleh mematok harga dan upah jasa. Sebagai alat tukar adalah emas dan perak, sehingga inflasi nol.

Khalifah harus memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok per individu, seperti pangan, sandang, dan papan. Serta kebutuhan pokok masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan, untuk merebut hati rakyat, dan menjaga stabilitas domestik.

Pada saat yang sama, sistem ekonomi negara khilafah dibangun dengan tiga pilarnya yaitu kepemilikan, pengelolaan dan distribusi. Adapun kepemilikan dibedakan menjadi  tiga yakni:
1.Kepemilikan  individu, sepenuhnya menjadi hak individu.
2.Kepemilikan umum, menjadi hak rakyat, yang dikelola oleh negara sebagai pemegang mandat rakyat.
3.Kepemilikan negara, menjadi hak negara. 
Ketika ketiga kepemilikan tersebut dikelola oleh masing-masing pemiliknya dengan benar sesuai dengan hukum syara’, dan didistribusikan dengan baik dan benar, maka rakyat akan hidup sejahtera.

Hanya dengan sistem ekonomi Islam, semua permasalahan ekonomi tersolusi dengan tuntas dan menyejahterakan rakyat. Semua itu bisa terwujud, jika diterapkan secara kafah dalam institusi Daulah Khilafah ala minhajjin nubuwwah.

Wallahu a'lam 
bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post