Korupsi Versus Narkoba

By: Abu Mush'ab Al Fatih Bala
(Pemerhati Politik Asal NTT)

Indonesia negeri yang kaya raya akan sumber daya alamnya kini dinodai oleh maraknya kasus korupsi. Jika dihitung-hitung total dana korupsi bisa melunasi utang luar negeri jika disita oleh negara.

Namun sayangnya kasus korupsi di Indonesia masih menyentuh koruptor kecil atau kelas teri. Belum juga menindak koruptor kelas kakap.

Publik masih bertanya kapankah Kasus korupsi besar seperti Jiwasraya, Bank Century, Asabri dan BLBI segera diatasi. Begitu juga kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR yang diduga melibatkan komisioner KPU Wahyu Setiawan, Politisi PDIP Harun Masiku dan dua orang lainnya.

Harun Masiku hingga kini tak diketahui dimana rimbanya. Apakah ada di luar negeri atau di salah satu sudut kota di Indonesia?

Penanganan terhadap kasus korupsi yang diduga lambat ini tak seperti penanganan kasus narkoba. Untuk memasuki bandara misalnya alat scan keamanan sangat canggih. Narboka sekecil apa pun mudah terdeteksi. Pihak bandara akan menangkap kurirnya diserahkan kepada aparat kemudian dibongkar jaringannya.

Kasus nya berbeda namun daya rusaknya sama. Narkoba merusak generasi muda calon pemimpin masyarakat. Survey BNN dan LIPI membuktikan sekitar 2,3 juta pelajar mengonsumsi Narkoba. Jumlah yang tidak sedikit.

Menurut Kepala BNN Komisaris Budi Waseso (2016) ada 1.238 tersangka narkoba yang tertangkap dengan barang sitaan yang merugikan negara sebesar Rp.261.863.413.345 (50% dari bunga utang luar negeri Indonesia).

Perbedaan BNN dan KPK adalah BNN tetap kuat dan terus menggempur jaringan narkoba sedangkan KPK diduga berusaha diperlemah oleh jaringan koruptor yang melibatkan orang-orang kuat.

Andai penanganan korupsi seperti narkoba tentu semakin banyak dan cepat koruptor yang ditangkap. Korupsi merupakan tindak kejahatan yang rumit dari narkoba karena melibatkan para pejabat dan pemilik modal.

Sehingga kejahatan korupsi lebih sulit dihadapi. Selain lambat diatasi, vonis terhadap pelaku koruptor juga tergolong ringan berkisar dari 1 tahun penjara hingga di atas 10 tahun. Padahal korupsi kejahatan yang memakan ribuan trilyunan uang rakyat namun berada di posisi kedua setelah kasus narboka yang diputuskan di peradilan.

Kasus Korupsi dan Narkoba tumbuh subur karena diterapkannya ideologi kapitalisme yang berbasis sekularisme. Dalam ideologi ini agama dan Tuhan tidak penting yang penting asas manfaat dan berlimpahnya materi.

Narkoba sangat menggiurkan dan tumbuh subur karena harga satu gram narkoba di Indonesia Rp.1,5 juta jauh lebih mahal dibandingkan di China Rp.20.000/gram dan Iran Rp.50.000/gram. Sedangkan korupsi juga sangat menarik lewat manipulasi laporan keuangan dan proyek seorang koruptor bisa meraup uang sebesar trilyunan rupiah. Kedua kasus ini menimbulkan efek ketagihan untuk korupsi dan sakaw lagi dan lagi.

Jika masyarakat dan penguasanya memilih sistem Islam tentu kedua hal ini bisa dicegah. Karena negara akan menutup setiap pengedaran barang-barang adiktif yang haram dan merusak tubuh. Banyak hadis yang menjelaskan haram melukai diri sendiri dan orang lain. Islam pun melakukan langkah audit keuangan pejabat dari awal hingga akhir sehingga tidak ada yang berani korupsi.

Dalam sistem Islam, pemimpin akan menekankan pada pembinaan aqidah masyarakat dan para pejabat. Sehingga semua menjadi orang yang bertakwa jauh dari narkoba dan korupsi. Pernah ada masyarakat yang menjadikan halal dan haram sebagai standar kehidupan.  Masyarakat Islami seperti ini pernah ada misalnya seorang anak yang menolak menjual domba tuannya kepada orang asing berapa pun harganya dan seorang gadis yang meminta ibunya tidak menjual susu oplosan. Ketakwaan ini akan ada kembali ketika dunia menerapkan sistem Islam.[]

Bumi Allah SWT, 11 Februari 2020

#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan

Post a Comment

Previous Post Next Post