Khilafah dan Kejayaan Dinar Dhirham Islam

Oleh : Umi Kalsum

Konferensi Tingkat Tinggi Negara Islam telah dilaksanakan di Malaysia pada akhir desember 2019 lalu. Pada penutupan acara Kuala Lumpur Summit 2019 tersebut, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad menyampaikan usulan agar negara muslim menggunakan emas sebagai mata uang bersama. Langkah tersebut diambil sebagai perlindungan nilai terhadap sanksi ekonomi di masa depan.

Sebagaimana diketahui, bahwa Amerika Serikat (AS) memberikan embargo ekonomi terhadap Qatar sejak 2,5 tahun yang lalu atas tuduhan mendukung terorisme. Maka, negara-negara Arab yang bersekutu dengan AS seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Qatar.
Menurut Mahathir, negara manapun bisa digilir sanksi ekonomi dari AS jika dinilai ada yang merugikan Negara Paman Sam tersebut.

"Dengan dunia yang membuat keputusan sepihak untuk memaksakan tindakan menghukum seperti itu, Malaysia dan negara lain harus selalu ingat hal itu dapat dikenakan pada salah satu dari kita", kata Mahathir Mohammad yang dilansir di Straits Times, 22/12/2019.

Begitu juga pada Konferensi Internasional ke-25 Nikkei Future of Asia di Tokyo pada tanggal 30 Mei 2019. Perdana Menteri Malaysia tersebut mengatakan, "Di Asia Timur, bila Anda ingin bersatu, kita harus mulai dengan mata uang perdagangan bersama.   Bukan untuk digunakan di dalam negeri, tapi untuk tujuan penyelesaian perdagangan."

"Mata uang yang kami usulkan harus berpatokan pada emas karena emas lebih stabil,". Lanjutnya.

Ia pun mengatakan bahwa menurut sistem valuta asing saat ini, mata uang lokal dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan dimanipulasi.

Ekonomi global dari tahun ke tahun diprediksi semakin tak menentu. Beberapa sebab antara lain karena perang dagang, sanksi ekonomi, hingga embargo.

"Saya mengarahkan gagasan perdagangan menggunakan dinar emas dan perdagangan sistem barter diantara kita, kami serius melihat ini", kata Mahathir seperti dilansir oleh Reuters, 23/12/2019.

 *Perkembangan mata uang dinar dan dirham* 

Sejarah mencatat bahwa Bangsa Arab pada masa jahiliyah telah melakukan kegiatan perdagangan dengan negara-negara di kawasan utara (Syam dan sekitarnya yang dikuasai oleh Kerajaan Romawi) dan selatan (Yaman dan sekitarnya yang dikuasai oleh Kerajaan Persia). 

Namun, Bangsa Arab tidak mempunyai mata uang sendiri yang digunakan sebagai alat tukar dengan bangsa-bangsa lain. Mereka mengenal mata uang ketika melakukan transaksi perdagangan di luar Jazirah Arab. Ketika pulang dari berniaga, mereka membawa uang emas dan perak. 

Al-Baladzuri menuturkan bahwa Dinar Heraclius dan Dirham Baghli dari Persia telah masuk ke penduduk Mekkah pada masa jahiliyah. Hanya saja, uang yang mereka gunakan untuk melakukan transaksi jual beli tersebut pada umumnya masih dalam bentuk thibr (butiran)

Dinar dan Dirham pada Masa Awal Islam

Ketika Islam datang, kegiatan dan sistem transaksi ekonomi yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dengan menggunakan uang-uang yang sudah beredar diakui oleh Rasulullah SAW. Beliau  mengakui uang itu sebagai uang yang sah. 

Mata uang yang digunakan oleh umat islam di masa Rasulullah adalah dinar emas Romawi dan dirham perak Persia dalam bentuk aslinya, tanpa mengalami pengubahan atau pemberian tanda tertentu. Rasulullah SAW pun tidak pernah membuat uang khusus untuk umat Islam. Dengan kata lain, belum ada apa yang disebut dengan "uang islam". 

Menurut para sejarawan, orang yang pertama kali menerbitkan dinar dan dirham untuk diberlakukan di Negara Islam adalah Khalifah Bani Umayah, Abdul Malik bin Marwan, pada tahun 74 H. Sebelum tahun itu, tidak pernah didapatkan, baik dalam buku-buku Sunnah (hadist) maupun dalam sejarah Nabi (sirah nabawiyah), keterangan tentang Dinar Islam.

Begitu juga pada masa Khalifah Abu Bakar, uang yang berlaku pada masa Nabi SAW tetap diberlakukan sebagaimana adanya, tanpa mengalami perubahan. 

Begitupun pada masa-masa awal pemerintahan Khalifah Umar, tetap memberlakukan sistem yang telah berjalan pada masa Abu Bakar. Barulah pada tahun 18 H atau ke-6 dari pemerintahannya, Khalifah Umar mulai memasukkan beberapa kata Arab pada mata uang Persia dan Romawi yang beredar. Ia membubuhkan namanya pada beberapa dirham, dan menuliskan beberapa kata islami, seperti "Bismillah", "Alhamdulillah", "Bismi Rabbi", "Muhammad Rasulullah", dan kata-kata serupa lainnya yang menunjukkan simbol Islam. Namun demikian, bentuk uang tersebut masih tetap sama dengan bentuk aslinya sebagai uang asing yang memuat simbol-simbol non-Islam.

Pada masa Khalifah Utsman dan Ali, kebijakan pembuatan uang masih sama dengan apa yang telah dirintis oleh Umar ra. Lebih daripada itu, Utsman membubuhkan kata "Allahu Akbar" pada uang yang berlaku.

Pada tahun 76 H,  proyek pembuatan uang khusus Islami yang bersih dari unsur dan simbol-simbol asing mulai dilakukan. Khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan upaya unifikasi mata uang di seluruh wilayah, setelah sebelumnya masing-masing gubernur membuat uang khusus.

Sejak saat itu, untuk pertama kalinya negara dan pemerintah  terlepas dari uang asing. Khalifah Abdul Malik membuat dinar emas Islami yang timbangannya satu mitsqal dan dirham perak Islami, yang pada salah satu sisinya dituliskan surah al-ikhlas dan pada sisi lainnya dituliskan simbol tauhid; beratnya adalah 6 daniq.

Dengan kebijakan tersebut, umat Islam telah memiliki uang tersendiri, yaitu uang yang dibubuhi tulisan-tulisan Islami, dan meninggalkan mata uang asing, yaitu Dinar Byzantiyum dan Dirham Persia yang selama ini dipakai. Kebijakan pembuatan uang Islami seperti itu dilanjutkan oleh para Khalifah Islam sesudahnya.

Kehebatan mata uang berbasis emas dan perak

Hingga abad ke-20 hampir seluruh negara yang ada di dunia masih menggunakan uang 'riil' sebagai alat tukar dan pembayaran. Saat itu uang disandarkan pada barang atau komoditas  yang nilainya setara dengan nilai nominal uang itu sendiri. Emas atau perak menjadi pilihan yang umum untuk menopang mata uang karena sifatnya yang tidak mudah rusak, nilainya yang tidak pernah susut, dan dapat diterima oleh siapapun. Tidak jarang apabila bentuk fisik mata uangnya juga terbuat dari emas atau perak. Karena mempunyai nilai intrinsik yang sama dengan nilai nominalnya, maka pemerintah tidak perlu lagi menjamin nilai uang tersebut.

Dalam sistem berbasis emas, uang distandarkan pada satuan yang kestabilan  dan ketetapan harganya dikenal luas. Baik dengan menggunakan mata uang logam emas itu sendiri maupun menggunakan mata uang kertas substitusi yang di-back up (dapat dipertukarkan) dengan emas di Bank Sentral, tanpa persyaratan dan batasan.

Dalam sistem ini, suatu negara tidak dapat memperbesar (menambah) jumlah uang dengan seenaknya. Sebab, untuk mengeluarkan atau mencetak uang dengan jumlah tertentu yang dikehendaki akan dibatasi oleh cadangan emas yang dimiliki.

Penerapan sistem mata uang dan sistem pertukaran berbasis emas tersebut harus memenuhi beberapa syarat berikut:
1. Adanya kebebasan mengekspor dan mengimpor emas bagi semua orang tanpa ada pembatasan atau syarat tertentu. Kebebasan atas keluar dan masuknya emas ini akan menjamin kestabilan harga tukar (kurs) mata uang. 

2. Adanya kebebasan mempertukarkan uang kertas substitusi dengan emas secara sempurna (tanpa pengurangan/dengan nilai yang sama) dengan nilai yang tertulis atau tercetak.

3. Adanya kebebasan untuk menempa dan melebur emas. Setiap orang yang memiliki mata uang emas dapat melebur dan membentuknya menjadi emas batangan tanpa ada pembatasan. Demikian juga jika ia memiliki emas batangan; ia dapat membawanya ke tempat peleburan dan percetakan uang untuk dicetak menjadi mata uang emas (dengan memberikan kompensasi/ongkos pencetakan). Hal itu untuk menyetarakan harga emas tertulis (resmi) dengan harga pertukaran.

Ambruknya Dollar vs Kebangkitan Mata Uang Emas dan Perak

Penerbitan mata uang yang tidak ditopang dengan komoditas (logam emas atau perak) sama saja dengan menanam benih-benih kehancuran ekonomi yang akan dipetik di kemudian hari, cepat atau lambat.

Saat ini, AS mengalami krisis keuangan yang luar biasa hebat. Gelembung keuangan dan ekonomi mulai pecah, dan seluruh dunia terkena dampak dari sistem yang merusak lagi zhalim. Itulah karakter sistem kapitalis-liberal. Tidak lama lagi, kertas-kertas berharga, surat hutang, saham, mata uang yang tidak ditopang komoditas (dollar,euro,yen,rupiah,dll), akan menjadi onggokan-onggokan kertas yang tidak berharga!

Jika demikian, ambruknya dollar dan perekonomian AS hanya tinggal menunggu waktu saja. 
Lalu, bagaimana Islam menjawab tantangan dunia saat ini?

Perlu diketahui, bahwa neraca perdagangan negeri-negeri Muslim ke negara-negara Barat (Uni Eropa, Jepang, AS, Australia, dan Kanada) mengalami surplus. Artinya, negeri-negeri Muslim seharusnya mendapatkan keuntungan berupa komoditas atau barang (emas atau perak), bukan onggokan dollar yang tidak ada harganya sama sekali.
Hal itu bisa dilakukan apabila persatuan negeri-negeri Muslim terwujud dalam naungan Negara Khilafah. 

Persatuan ini akan meruntuhkan dominasi AS. Melepaskan keterikatannya terhadap dollar AS dan menanggalkan berbagai kesepakatan perdagangan yang dipaksakan oleh AS dan sekutunya (atas nama WTO). Serta memaksa mereka untuk membayar surplus neraca perdagangan internasionalnya dengan komoditas emas atau perak. Kondisi ini bisa membuat AS bukan hanya bangkrut, tapi juga chaos dibidang ekonomi, sosial, dan politik

Potensi sumber daya alam Dunia Islam tidak perlu diragukan lagi. Kekayaan alam yang berlimpah seperti besi, timah, tembaga, aluminium, bauksit, seng hingga produk-produk semacam karet, minyak kelapa, kayu, dan sebagainya dikaruniakan oleh Allah SWT di tanah-tanah kaum muslimin. Bahkan kebutuhan dunia akan  minyak bumi sepertiganya dipasok oleh negeri-negeri Muslim.

Deposit emas yang masih tersimpan di bawah tanah (menunggu dieksplorasi dan dieksploitasi) tersedia dalam jumlah yang sangat besar. Semua itu memudahkan kita untuk kembali pada sistem emas dan perak. Umat Islam tidak perlu tergantung kepada negara-negara Barat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. 

Melihat kenyataan ini, upaya untuk mengembalikan sistem ekonomi Islam dan sistem keuangan Islam harus berada dalam satu paket. Yaitu dengan mewujudkan masyarakat Islam yang siap menjalankan seluruh Syariat Islam secara total, melalui keberadaan Negara Khilafah.

Adalah sebuah keniscayaan bahwa suatu saat nanti terwujudnya kestabilan ekonomi, perdagangan dan moneter di bawah naungan Panji-panji kebesaran Rasulullah SAW hanya dengan Syariah dan Khilafah.

Wallahu a'lam bi showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post