Halusinasi Pengentasan Kemiskinan



Oleh : Sitti Nurlyanti Sanwar
(Pegiat Sosial Media) 

Sering kita melihat realita kehidupan masyarakat di Indonesia. Contohnya di ibu kota Jakarta. Melihat ke samping kiri mendapati rumah panggung berdinding atap. Di bawahnya terdapat kali yang airnya sudah berwarna hitam dan mengeluarkan bau tak sedap. Sedangkan, menengok ke sebelah kanan terlihat gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi. Hal ini seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Sebenarnya, fakta tersebut tidak terjadi hanya di ibu kota saja. Tetapi, di kota-kota lain pun kesejahteraan yang tak pernah menemui ujung pangkalnya. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di Indonesia pada September 2019 sebesar 9.22 % atau berjumlah 24,79 juta orang (Kompas.com,15/01/2020). Angka tersebut lebih rendah 0,19% dibandingkan periode Maret 2019. Penurunannya sekitar 358.900 dari 1.55% pada Maret menjadi 1,50 % pada September 2019. 

Usaha pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan dengan mengupayakan meningkatkan ekonomi memang tumbuh cukup baik walaupun sangat tipis. Namun, penurunan kemiskinan dan perbaikan ekonomi tersebut tidak dirasakan pada semua rakyat. 

Berdasarkan laporan Bank Dunia ''Aspiring Indonesia Expanding The Middle Class", riset tersebut menunjukkan bahwa 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin atau di ujung jurang. Sebab, ketika kebutuhan pokok, gas, dan listrik naik, maka masyarakat dapat kembali miskin. Melihat hal tersebut, Bank Dunia pun memberikan rekomendasi yakni meningkatkan kualitas pendidikan menengah, memberikan jaminan dan cakupan kesehatan, menyalurkan kepada masyarakat serta memperbaiki kebijakan administrasi pajak. 

Direktur Eksklusif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menambahkan, pemberian bansos dan bentuk bantuan lainnya hanya membantu secara statistik bukan menyeluruh. Karena setelah bantuan itu habis maka akan kembali miskin lagi.

Indonesia selama ini mengadopsi sistem kapitalis, otomatis dalam penyelesaian masalah kemiskinan pun dengan cara kapitalis. Dalam dunia kapitalis menyelesaikan permasalahan kemiskinan hanyalah halusinasi. Sebab, solusinya pun tidak komprehensif hanya mencoba menurunkan angka kemiskinan bukan menuntaskan kemiskinan. 

Pengentasan kemiskinan total adalah hal mustahil dalam sistem kapitalis. Adanya ketimpangan yang terbentang luas, orang yang memiliki uang dan pengaruh akan memainkan aturan kepentingannya. Kekayaan yang dimiliki dapat mempengaruhi politik berkaitan kebijakan ekonomi di Indonesia. Sedangkan, yang tidak memiliki uang dan pengaruh hanya gigit jari meratapi kemiskinan yang diderita. Kesenjangan dan kemiskinan bukan muncul karena malas bekerja atau tidak memiliki kemampuan sebagai sumber daya manusia, melainkan muncul karena adanya tekanan-tekanan secara struktur. 

Alfian, Melly G Tau dan Selo Sumarjan (Kemiskinan Struktural, suatu bunga Rampai; 1880:5) kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh seseorang atau sekelompok masyarakat karena struktur sosial masyarakat yang tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sesungguhnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural yang dimaksud kekurangan akses terhadap tanah pemukiman, pendidikan, kesehatan, fasilitas infrastruktur hingga minim dalam mendapatkan peluang kerja atau lapangan kerja. 

Kemiskinan masal kondisi laten akibat kapitalis yang terfokus pada pertumbuhan ekonomi bukan pemenuhan kebutuhan pokok ini menjadi PR besar negara khususnya pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Kapitalis meniscayakan aturan yang dibuat dari-Nya hanya menuruti nafsu kekuasaannya. Liberalisme yang semakin tertanam kokoh di tubuh penguasa tak memperdulikan nasib rakyatnya yang menangis meringis. 

Dalam sistem Islam pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Nabi saw. bersabda : 
"Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemiskinan tidak dinilai dari besar atau kecilnya pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara individu. Kebutuhan tersebut meliputi sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan yang layak. Allah Swt. berfirman :

"Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak." (QS al-Baqarah : 233)

Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan 

Pertama : Secara individual, Allah Swt. memerintahkan setiap muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat : QS al-Baqarah [2] : 233). Rasulullah saw. juga bersabda :

طَلَبُ الْحَلالِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ

"Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban diantara kewajiban yang lain." (HR ath-Thabarani)

Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah Swt. Nabi saw. bersabda :

لاَ تَأْيَسَا مِنَ الرِّزْقِ مَا تَهَزَّزَتْ رُؤُوسُكُمَا ، فَإِنَّ الإِنْسَانَ تَلِدُهُ أُمُّهُ أَحْمَرَ لَيْسَ عَلَيْهِ قِشْرَةٌ ، ثُمَّ يَرْزُقُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

"Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki." (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Kedua : Secara jama’i (kolektif) Allah Swt. memerintahkan kaum muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda :

مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ

"Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu." (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar)

Rasulullah saw. juga bersabda :

أَيُّمَا أَهْلِ عَرْصَةٍ ظَلَّ فِيهِمُ امْرُؤٌ جَائِعٌ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ

"Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka." (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah)

Ketiga : Allah Swt. memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda :

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah Saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.

Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.

Masya Allah hidup dalam naungan sistem Islam, tidak ada kesenjangan antara orang kaya atau pun orang miskin semua mendapatkan haknya secara rata. Berbeda 360 derajat dari sistem kapitalis, liberalis sekularis yang hanya menyengsarakan rakyatnya. Sudah saatnya kita kembali pada aturan dari Allah. Hanya syariat Islam yang dapat memberikan jaminan keberkahan dan rahmat bagi manusia. 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post