Demokrasi Sistem Warisan Barat Berbiaya Tinggi



Goresan Pena Abu Mush'ab Al Fatih Bala
(Pemerhati Politik Asal NTT)

Demokrasi selalu menarik untuk dibahas karena banyaknya kasus yang menyita perhatian publik memiliki kaitan yang erat dengan sistem ini. Demokrasi tentu saja bukan warisan nenek moyang bangsa Indonesia.

Berbeda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan produk asli nusantara, demokrasi berasal dari Yunani yang berapa abad kemudian diadopsi oleh Barat sebagai salahsatu "anak cabang" ideologi Kapitalisme. Demokrasi menjadi pilihan sistem politik di Indonesia.

Demokrasi awalnya dipuja-puja di Amerika Serikat sebagai The Government from the people, by the people and for the people (Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Namun setelah berjalan beberapa tahun di Amerika, Publik di negara Paman Sam menganggap bahwa kekuasaan yang muncul dari demokrasi dipegang oleh para pengusaha. "The Government from the businessmen, by the businessmen and for the businessmen" (Pemerintahan dari pebisnis, oleh pebisnis  dan untuk pebisnis).

Publik Amerika menduduki Wall Street (pusat ekonomi non riil di AS) dan mengatakan we are nintey nine percent. Kami adalah 99 % rakyat miskin yang mana 1% orang kaya AS menguasai sumber kekayaan negara. Pernyataan ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh pengusaha terhadap roda pemerintahan di AS.

Itu lah kenyataan bahwa demokrasi adalah sistem lobi antara wakil rakyat dengan pengusaha. Di Indonesia, ada ungkapan dari Ketua MPR yang menarik. Dikutip dari MediaIndonesia.com, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebut pemodal cukup merogoh ongkos Rp.1 Triliun untuk menguasai untuk menguasai partai politik di Indonesia, menurut Bamsoet nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik Indonesia.

"Semahal-mahalnya Rp.1 Triliun sudah bisa menguasai partai politik, ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan," (MediaIndonesia.com, 17/2/2020).

Bamsoet menilai sistem perpolitikan di Indonesia masih dikuasai pemilik modal. Perselingkuhan antara penguasa dengan pemilik modal bisa saja mewakili kepentingan asing. Bahkan lebih parah, pemilik modal melalui orang-orangnya bisa mempengaruhi kebijakan partai politik.

"Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen, jika dia kuasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem yang kita punya," ujar Bamsoet. Demokrasi yang memakan dana kampanye hingga puluhan triliunan Rupiah mengharuskan adanya balas jasa dari pejabat kepada pemodal.

Sejalan dengan ini, Mahyudi Al Maroky, pakar hukum dan politik, juga direktur Pamong institute pernah berkomentar. Permasalahan korupsi di Indonesia telah berjalan sistematis bukan permasalahan oknum atau individu.

"Bagaimana jika di suatu negeri ada satu anggota DPR yang tertangkap korupsi? Jawabnya mudah, cukup serahkan aparat penegak hukum dan dihukum selesai urusan." Kata Wahyudi.

Tapi bagaimana jika yang tertangkap Korupsi itu tiap 1 atau 2 hari sekali? Apakah ini sistemik atau kecelakaan saja? Wahyudi menampilkan data Kompas, selama tahun 2018  KPK menangkap 220 anggota DRP/DPRD, artinya rata-rata tiap 2 hari sekali ada anggota Dewan yang tertangkap Korupsi.

Bahkan ada satu Kota yang Anggota Dewan nya ditangkap secara bersamaan sekaligus. Di sisi lain, kepala daerah pun selama tahun 2018 ada 29 Kepala daerah yang tertangkap. Artinya tiap 2minggu sekali ada yang tertangkap.
Belum lagi kalau kita ungkap data ASN yg terlibat korupsi. Sampai bulan juli 2019, sudahbada 3.240 ASN yg dipecat karena korupsi. Para mahasiswa pun terheran kenapa begitu banyak yang tertangkap?

Menyimak data tersebut, mereka pun memahami jika masalah korupsi bukan soal kecelakaan atau kenakalan individu pejabat saja.
Jika setahun hanya ada 1 atau 2 orang yang tertangkap korupsi mungkin itu bisa dibilang kecelakaan dan masalah kenakalan individu.

Namun jika setahun ada 220 orang yang tertangkap korupsi, artinya ini tiap dua hari sekali ada yang tertangkap korupsi. Ini bukan masalah kecelakaan. Bukan pula soal kenakalan invividu anggota dewan maupun individu Kepala Daerah. Ini sudah sistemik," Ungkap Wahyudi.

Maka tak heran juga kasus-kasus besar seperti BLBI, Century, Jiwasraya dan Asabri mendapat "legalitas" karena banyak anggota dewan yang terlibat korup melahirkan tradisi bagi kalangan non pejabat untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu, sudah saatnya Umat meninggalkan sistem demokrasi yang penuh dengan tipu daya dan muslihat. Kemudian beralih memilih sistem Islam yang rendah biaya politik.

Walaupun sistem Islam pernah memakai sistem pemilu (maksimal 3 hari pemilihan), Sistem Islam tidak memakan biaya politik yang tinggi. Sehingga sistem ini tak pernah melahirkan koruptor yang mencoba balik modal. Dalam sejarah Islam pun banyak contoh pejabat yang menolak suap karena takut kepada Allah SWT. Semoga kita disegerahkan kepada sistem tersebut.[]

Bumi Allah SWT, 20 Februari 2020

#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan

Post a Comment

Previous Post Next Post