Benarkah RUU Omnibus LAW Sebuah Kebijakan Otoriter ?

Oleh : Nita Nopiana Ummu Aziz

Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyebut Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja merupakan bentuk sikap otoriter pemerintah. Ini adalah aturan yang dirumuskan pemerintahan. 

Bima menyebut ada dua hal yang ia soroti dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Pertama adalah aturan yang menyebut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) berhak memecat kepala daerah yang dinilai tidak menjalankan proyek strategis nasional. Dia menyebut hal itu bertentangan dengan semangat desentralisasi yang diusung sejak reformasi.

Hal lain yang dikritik Bima adalah penghapusan kewajiban para perusahaan untuk mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Menurutnya hal tersebut bisa mengurangi fungsi kontrol dari pemerintah daerah.(CNN Indonesia | Senin, 17/02/2020).

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) juga menilai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja merupakan produk sistem kapitalis. Mereka berjanji akan berjuang habis-habisan supaya Rancangan Undang-Undang yang akan merevisi 82 Undang-Undang itu tidak disahkan.

Sekretaris Jenderal FSPMI Riden Hatam Aziz menjelaskan Omnibus Law tersebut dianggap sebagai produk kapitalis karena dalam konsep pembahasannya tidak melibatkan serikat pekerja atau buruh.

Di antara empat Omnibus Law, RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) sukses menimbulkan kegaduhan. Jokowi menargetkannya selesai menjelang Lebaran, meski DPR berdalih belum menerima draf Pemerintah, Pemerintah mengklaim regulasi itu menjadi terobosan untuk melindungi pekerja, seraya membuka kemudahan investasi bagi para pengusaha.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan buruh sama sekali tidak dirugikan bahkan RUU ini dianggap akan menjadi hadiah kemerdekaan untuk para buruh karena bakal menyerap tiga juta tenaga kerja.

Namun seperti biasa, realitas yang dihadapi buruh masih saja mengenaskan. RUU Cilaka dipandang hanya menguntungkan pengusaha. Apalagi RUU Cilaka hanya menetapkan sanksi administratif untuk pengusaha yang melanggar hak-hak buruh.

Dalam drafnya, pemerintah akan merevisi 51 pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Di antaranya soal pemutusan hubungan kerja, pengurangan pesangon, pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan, penetapan jam kerja, rekrutmen tenaga asing, pasal pidana sengketa ketenagakerjaan, hingga sistem pengupahan dengan menghapus Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK), termasuk mempermudah tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.

Keberpihakan RUU ini pada para pengusaha makin nyata dengan pembentukan satgas yang didominasi oleh para pengusaha. Nyatanya, pengusaha lokal pun menyampaikan keberatan atas RUU Cilaka ini, karena jenis usaha yang dapat dimasuki investor asing kian melebar. Beberapa pihak ragu bila derasnya investasi akan mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan pengusaha kecil di daerah.

Melihat berbagai penolakan berbagai kalangan, muncul pertanyaan, untuk siapa sesungguhnya RUU Cilaka ini? Apalagi penyusunan omnibus law ini membutuhkan biaya mahal dan tidak sederhana karena substansinya multisektor dan dipersiapkan untuk super power.

Kemungkinan ini sesungguhnya adalah suatu hal yang wajar jika mengingat sistem kapitalismelah yang diterapkan di Indonesia. Para kapitalis inilah yang sesungguhnya berkuasa dan diuntungkan, yang menjadikan pemerintahan sebagai alat untuk mempertahankan bahkan mengembangkan kekayaannya.
Islam Solusi Hakiki bagi Kemaslahatan Rakyat

Keleluasaan membuat undang-undang sesuai kepentingan elite tertentu, seperti para pengusaha, tentu tidak dikenal dalam Islam. Islam menetapkan bahwa pembuatan undang-undang adalah untuk memudahkan negara dalam mewujudkan kemaslahatan umat sesuai dengan hukum syara’.

Negara juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu. Islam juga menetapkan Negara berdaulat penuh dan tidak tunduk kepada kepentingan pihak tertentu, para kapitalis lokal ataupun yang dikendalikan oleh kekuatan asing.

Keunggulan Islam yang memastikan solusi hakiki adalah bersumberkan hukum dari Allah Sang Mahaadil. Demikian pula ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi, Islam telah menetapkan bahwa semua jaminan kesejahteraan harus direalisasikan dalam sebuah negara yang memiliki pandangan hidup (way of life) tertentu.

Sistem Islam memperhatikan hal-hal yang menjadi tuntutan individu dan masyarakat dalam merealisasikan jaminan pencapaian kemakmuran. Dalam sistem kapitalisme, peran negara diminimalkan, sebatas pengatur. Akibatnya kesejahteraan rakyat diabaikan.

Siapa yang mau hidup sejahtera dia harus bekerja dan mencari pendapatan sesuai dengan kemampuannya. Sehingga, kondisi yang menimpa buruh tak jauh berbeda dengan kelompok marginal lainnya. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat sistemis daripada hanya sebatas problem ekonomi, sehingga cukup dengan penyelesaian antara buruh dan pengusaha semata.

Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistik sekaligus dibarengi usaha penyelesaian bersifat sistemis-integral.

Meningkatkan sumber pendapatan (upah), hanya akan mendasarkan pencapaian kesejahteraan bergantung pada kemampuan gaji. Sementara kebutuhan hidup selalu bertambah, walhasil kualitas kesejahteraan rakyat –termasuk buruh– semakin rendah.

Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin pemenuhan kebutuhan primer tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai jaminan pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kemampuan.

Sedangkan pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting.

Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, miskin atau kaya. Seluruh biaya yang diperlukan ditanggung oleh baitulmal, tidak diserahkan pada pengusaha.

Bila pemenuhan kebutuhan hidup diselesaikan, maka persoalan ketenagakerjaan juga dapat diselesaikan dengan tuntas. Permasalahan antara buruh dan pengusaha, dapat diselesaikan sendiri sesuai dengan ketentuan hukum syariat.

Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan keduanya. Solusinya mesti menguntungkan kedua belah pihak melalui hukum ijarotul ajir (kontrak kerja) yang menjauhkan kedua pihak dari penzaliman satu sama lain.

Demikianlah, pandangan dan solusi yang ditawarkan Islam bukanlah solusi tambal sulam, melainkan solusi yang fundamental dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Sudah saatnya umat berpaling pada Islam untuk menyelesaikan berbagai persoalan, karena itulah jaminan kebahagiaan dan keadilan bagi seluruh manusia.

“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Alquran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al An’am: 115).
Wallahu’alam bi shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post