Bawang Putih dalam Pusaran Arus Kapitalistik

Oleh : Shafayasmin Salsabila*

Memasuki bulan ke dua di tahun 2020, harga komoditas bawang putih meresahkan sebagian besar warga. Lonjakan terjadi disinyalir akibat virus korona. Pasalnya, Indonesia sudah terlanjur jatuh hati kepada Cina, menjadikannya sebagai sumber impor bawang putih. Tapi setelah korona melanda di sana, impor bawang putih pun dihentikan. Akibatnya jumlah bawang putih di pasaran menyusut. Bak primadona yang dirindukan dan diperebutkan, harga perkilonya mengalami kenaikan. Begitu halnya di Indramayu, bawang putih sempat meroket. Pada  6 Februari harga menukik naik hingga mencapai Rp80.000/kg. Padahal harga normal berada di kisaran Rp35.000/kg. (suarajabar.id, 6/2/2020) 

Bawang putih lekat dengan dapur. Dapur tanpa bawang putih, akan hampa terasa. Racikan masakan khas Nusantara pasti menyertakan bumbu favorit ini. Selain rasa gurih, aromanya pun memberikan sentuhan kelezatan tersendiri. Belum lagi berbicara manfaat yang terkandung didalamnya. Pecinta herbal menjadikannya sebagai antibiotik alami. Tak heran jika bawang putih berada di deretan atas dari daftar belanjaan pasar.

Demi memenuhi permintaan konsumen yang tinggi, pemerintah telah mengambil kebijakan impor bawang putih ke Cina. Berdasarkan data UN Comtrade, sejak tahun 2018 Cina menjadi negara penyuplai bawang putih terbesar bagi Indonesia. Quota impor mencapai 580.845 ton atau 99,6%. Bahkan Indonesia tercatat berada di rating teratas melampaui Thailand dan Filipina.

Namun sayangnya kebijakan ini terasa bertubrukan dengan i'tikad baik pemerintah, untuk mewujudkan swasembada bawang putih di tahun 2021. Menggantungkan diri pada impor dengan prosentasi yang fantastis tersebut, semangat kemandirian sedikit banyak menjadi luntur. Pemerintah akhirnya terkesan setengah hati dalam mewujudkan target ini. Serasa cukup memosisikan diri sebagai "wasit". Dan mirisnya kebijakan impor ini justru menyuburkan keberadaan kartel pangan. 

Sistem kapitalisme, memungkinkan pihak tertentu (pemodal) untuk bermain dan melakukan monopoli. Swasta selaku importir seakan mendapat restu dari pemerintah, dengan adanya pemberian Izin Rekomendasi Impor Produk Holtikultura. Selanjutnya tak jarang kolaborasi dengan para kartel, mengakibatkan goyahnya stabilitas harga. Praktik ihtikar (penimbunan), menjadi "tradisi" bagi pengembangan harta instan para kapital. Maka tak aneh jika harga komoditas pangan, seperti bawang putih menjadi fluktuatif. Inilah nasib bawang putih dalam pusaran arus kapitalistik. Dijadikan "lahan basah". Lantas bagaimana untuk menyelamatkannya, agar bawang putih kembali dapat dipersunting pembelinya dengan senyum manis bukan senyum sinis sambil meringis?

Pada titik ini Islam tampil. Syariatnya yang sempurna menunjukkan secara terang dan gamblang seputar persoalan di sektor ketahanan pangan. Bahkan hal ini dianggap penting, karena terkait pemenuhan hak pokok bagi warga, yakni kebutuhan perut. Diantaranya, pemerintah wajib hadir dan tampil sebagai pengelola, bukan sekadar regulator dan fasilitator untuk membuat aturan dan regulasi. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan warga malah diserahkan kepada pihak lain (swasta).

Negara pun menjaga kedaulatannya dengan tidak menggantungkan hajat hidup rakyatnya pada impor. Mewujudkan kedaulatan pangan, dengan mendongkrak sektor produksi dalam negeri. Memastikan keterjangkauan harga agar komoditas pangan mampu dibeli oleh setiap individu. Berikutnya negara melarang dengan tegas praktik penimbunan karena dihukumi haram. Negara akan hadir baik dalam aspek produksi hingga distribusi. Semuanya dilakukan semata karena pemerintah tunduk pada semua ketentuan Allah. Keberadaan dalil menjadi rujukan utama bagi segala persoalan yang ada. 

Hal di atas hanya dimungkinkan terjadi saat Negara memiliki komitmen tinggi terhadap syariat. Menyadari akan hakikat penyelenggaraan pemerintah yakni demi mewujudkan kemaslahatan rakyat yang dipimpin, dan mencari keridaan Allah. Menerapkan sistem ekonomi Islam dan mencampakkan sistem ekonomi kapitalis buatan Barat. Potret negara seperti inilah yang dijanjikan Allah akan dibukakan keberkahan dari langit dan bumi. Sebagaimana yang termaktub dalam Alquran surat al A'raf ayat 98. "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...." 

Swasembada bawang putih menjadi bukti kemandirian pangan, yakni pada saat negara mampu berdiri di atas kedua kakinya. Leluasa menentukan kebijakannya tanpa intervensi pihak pemodal (asing/swasta). Untuk itu, seyogianya negara segera membebaskan dirinya dari sistem kapitalis liberal yang berputar hanya pada aspek keuntungan pribadi sementara rakyat semakin susah hidupnya. Kembali pada jati diri bangsanya, yakni negara yang ber-Tuhan. Rakyat bahagia, pemimpin panen pahala. Wallaahu a’lam bish shawab. 

*Revowriter Indramayu

Post a Comment

Previous Post Next Post