Pemilu, Awas Ditipu Lagi

Oleh : Shafayasmin Salsabila* 

23 September 2020, akan menjadi even hajatan akbar Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu. Pilkada serentak akan digelar. Pasangan bupati dan wakilnya akan dipersunting pada tanggal tersebut. Komisioner KPU Kabupaten Indramayu, Dewi Nurmalasari, menyatakan bahwa Tahapan Pilkada Serentak 2020 saat ini sudah dimulai. (REPUBLIKA.CO.ID, 17/12/2019).

Harapan kembali disulam. Diselipkan bersama mimpi akan kesejahteraan dan keadilan. Kasus yang menjerat bupati sebelumnya seakan dianggap angin lalu, hanya sepenggal episode gelap. Rakyat kembali diajak memasuki siklus lima tahunan. Namun adakah jaminan, kejadian serupa tak terulang? 

Siapa yang tidak ingin, memiliki pemimpin baru yang adil, jujur, amanah dan peduli dengan nasib rakyat. Tidak juga ada yang menyangkal, kebutuhan akan pemimpin dalam menyelesaikan semua permasalahan keseharian. Tapi sayangnya, pemimpin yang diharapkan lebih dahulu ditenggelamkan oleh jahatnya sistem saat ini. 

Demokrasi, sudah lama dipilih sebagai sandaran dalam sistem perpolitikan. Seakan anak semata wayang, tanpa memiliki saingan. Dirasa jadi andalan, meski sepanjang perjalanannya meniscayakan tambal sulam. Dari, oleh dan untuk rakyat menjadi slogan kejayaannya. Padahal tidak dapat dipungkiri, demokrasi lebih condong pada kepentingan pribadi segelintir orang atau golongan. Kecurangan kerap mewarnai perhelatannya. Serangan fajar, black campaign, pencitraan, masih akan menjadi bumbu penyedapnya. Rakyat - seperti biasa- untuk sesaat menjadi primadona, amat dinanti suara berharganya.

Bagi setiap pasangan calon pun harus siap merogoh kantong amat dalam. Biaya mahal dalam praktik demokrasi menjadi satu kewajaran. Siapa hendak berkuasa pasti butuh modal. Ujung-ujungnya, setelah terpilih, rakyat pun terlupakan, lalu sedapat mungkin mengembalikan urusan permodalan. Dan di sini lah titik kritis, penyebab munculnya kasus korupsi. Demokrasi seperti panggung sandiwara, rakyat ditipu tidak sekali dua kali, tapi berkali-kali.

Istilah demokrasi sendiri berasal dari dua kata di dalam bahasa Yunani, yakni demos dan kratos. Demos berarti rakyat dan kratos yang bermakna pemerintahan. Disimpulkan sebagai pemerintahan rakyat, dimana kedaulatan atau hak membuat hukum berada di tangan rakyat yang notabene adalah manusia -meski realisasinya banyak aturan yang tidak merepresentasikan keinginan rakyat-. Padahal manusia memiliki sifat bawaan lemah, terbatas dan serba kurang. Sering rancu dalam menilai benar dan salah. Tak aneh jika akhirnya peraturan atau kebijakan yang lahir, terkesan memihak. Di mana ada kepentingan, di situ ada kebijakan. 


Itulah mengapa dalam dunia Islam, sejak Rasulullah Saw mendapat risalah, istilah demokrasi tidak pernah pernah dikenal. Islam punya sistem tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sistem unik yang berpijak pada wahyu. Kedaulatan atau hak membuat hukum, milik Allah semata. Kekuasaan secara real ada di tangan rakyat. Jikapun seorang diangkat menjadi pemimpin, prasyaratnya adalah keterikatannya dengan syariat. Melenceng sedikit, pemimpin akan dilengserkan. 

Maka jelas, kepentingan mengangkat pemimpin semata demi penerapan hukum-hukum Islam. Karena kunci kehidupan ideal dan sejahtera serta luhur ada pada syariat. Syariat sendiri dimaknai sebagai segala aturan yang telah ditetapkan oleng Sang Pencipta manusia, yakni Allah Ta'ala. Karena siapakah yang paling memahami hakikat baik dan buruk bagi manusia selain pencipta manusia itu sendiri. 

Dahulu Rasulullah Saw menawarkan Islam, sebagai konsep hidup menggantikan sistem jahiliyah. Beliau berdakwah bukan sebatas mengajak manusia memeluk Islam, melainkan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Dimana Islam diambil sebagai sistem yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sistem Islam melahirkan banyak sosok pemimpin adil dan idealis. Tidak surut langkah oleh tekanan kaum kafir, tidak juga disetir kaum pemodal. Tidak terbujuk oleh rayuan segepok mata uang. Memegang teguh Islam sebagai prinsip penyelenggaraan pemerintahan. Menyadari bahwa amanah kepemimpinan bukan perkara ringan dan layak diperbutkan.

Menipu dan mendustai rakyat adalah hal paling tabu untuk dilakukan. Karena selalu mengingat sabda Rasul Saw: "Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak. (Dia) tidak sudi memandang muka mereka, (Dia) tidak akan membersihkan mereka daripada dosa (dan noda). Dan bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. (Mereka ialah ): Orang tua yang berzina, Penguasa yang suka berdusta dan fakir miskin yang takabur.” (HR. Muslim)7

Rasul Saw juga telah menegaskan, "Seseorang yang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu mati ketika sedang menipu rakyatnya, maka Allah mengharamkan baginya syurga." (HR. Muslim)

Maka jika sistem Islam menjadi sandarannya, mustahil rakyat jatuh kembali dalam lubang yang sama. Bebas tipu-tipu. Tidakkah kita menghendakinya? 

Wallahu a'lam bish-shawab.
*Revowriter dari Indramayu

Post a Comment

Previous Post Next Post