Orientasi Sarjana Sebagai Pekerja Pada Sistem Kapitalis

Oleh : Nurhayati, S.E

Berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia sudah banyak meluluskan sarjana dari berbagai macam tingkatan. Namun, apakah Perguruan Tinggi (PT) tersebut telah melahirkan lulusan yang berintelektual. Hal ini perlu ditelusuri lebih jauh, karena banyaknya sarjana belum tentu semuanya memiliki intelektual.Seperti dikutip dari VIVAnews (21/12/2019), Menteri Koordinator Bidak Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyebutkan, dunia perguruan tinggi (PT) sedang menjadi “terdakwa” dari kekacauan tata kelola pemerintahan dan munculnya korupsi dimana-mana. Menurut Mahfud MD, gugatan itu dilayangkan pada perguruan tinggi karena umumnya pelaku korupsi adalah sarjana yang merupakan produk dari perguruan tinggi. Pelaku korupsi umumnya sarjana tukang. “Keahliannya bisa diperdagangkan sesuai pesanan”, ujar Mahfud. Ia pula berharap perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan sarjana, tapi juga mencetak intelektual, “Jadilah Ulul albab , orang yang cerdas dan mulia akhlak”, ujar Mahfud. 

Perguruan tinggi seyogyanya memiliki kesadaran kolektif mencetak intelektual yang tidak hanya mencerdasakan otak, tapi juga watak. Mahfud merujuk contoh almarhum Presiden ketiga RI BJ Habibie, yang dinilainya sebagai sosok berilmu dan bertakwa. Mahfud mengingatkan, pendidikan dan pengajaran sebagaimana termaktub dalam konstitusi telah memiliki pohon dan akar yakni Pancasila. Ibaratnya pohon itu memiliki ranting ilmu pengetahuan, yang semuanya bermuara pada akar Pancasila. (VIVAnews, 21/12/2019)

Pernyataan diatas menggambarkan bahwa pada faktanya banyak lulusan sarjana hanya sebagian saja yang memiliki intelektual dan masih banyaknya lulusan sarjana kurang beruntung dalam hal menemukan lapangan pekerjaan. Seperti kisah Zulkarnain yang menjadi salah satu sarjana muda (D-III) dari Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer di Dumai, Riau, tahun 2004. Ia tetap menjalani pahitnya kehidupan,  nasibnya tak seberuntung sarjana seangkatannya yang kebanyakan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS/ASN) dan Karyawan Perusahaan Migas. Dia tak patah arang untuk menjeput asanya, dan ia memilih peruntungannya dengan menjadi petugas parkir dan staf honorer sekolah.
Pada faktanya hidup di sistem saat ini setiap individu di tuntut harus memiliki pekerjaan, khususnya para sarjana yang telah melawati jenjang perguruan tinggi. Alhasil, untuk memenuhi tuntutan tersebut, banyak sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan jurusan yang di pilihnya saat perkuliahan, karena kurangnya lapangan pekerjaan yang sesuai jurusan yang diminati. Namun, berbeda dengan alasan yang diutarakan oleh Menristek bahwa banyak yang jadi tukang ojek karena di perguruan tinggi mereka salah pilih jurusan yang tidak diminati. Berdasarkan data BPS dari 2018 ke 2019, (lulusan yang bekerja tidak sesuai keilmuan) mengalami penurunan. Tapi, baginya kurang signifikan. Harusnya mampu 100 persen terserap industri. Maka pendidikan tinggi harus berkolaborasi dengan industri.
Bila di telisik lebih dalam, masa depan di bawah naungan kapitalis tak selalu berakhir baik. Hal ini disebabkan karena berkuasanya kapitalisme yang bukan hanya dalam sistem pendidikan namun juga berkuasa sebagai sistem ekonomi, mengakibatkan sistem pendidikan (khususnya kurikulum) tak bisa bergerak bebas tanpa komando dan intruksi kapitalisme. Alhasil, pengetahuan-pengetahuan yang kini diajarkan dalam beragam intistusi cenderung bersifat teknis dan dirancang sesuai kebutuhan demi memperlancar saluran pernapasan kapitalisme. 

Pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak ditujukan membentuk kepribadian. Pendidikan justru dijadikan penopang mesin kapitalisme dengan diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian. Akibatnya kurikulum disusun lebih menekankan pada pengetahuan dan keahlian tapi kosong dari nilai-nilai agama dan moral. Pendidikan akhirnya hanya melahirkan manusia robotik, pintar dan terampiltapi tidak religius dan bermoral buruk.

Berbeda dalam sistem Islam, Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW. Yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam sistem pendidikan Islam, Aqidah menjadi landasan utama dalam pendidikannya. Aqidah Islam berkonsekuensi atas ketaatan pada syariat Islam. 

Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yaitu salah satunya berkepribadian Islam yang intinya seorang muslim harus memiliki dua aspek fundamental, yaitu pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah. 

Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Seorang intelektual muslim dikenal tidak hanya aktif dalam berfikir, mengusai ilmu pengetahuan, kritis dalam menanggapi persoalan sosial, akan tetapi seorang intelektual muslim itu juda dihitung dari segi keimanan dan tingkat amal shalehnya. Oleh karena itu, seseorang yang ingin mempersiapkan diri untuk menjasi seorang intelektual harus mampu memperlihatkan sikap kepribadiannya yang islami, aktif dalam masyarakat, kritis terhadap persoalan-persoalan umat serta benar-benar komit dengan keislamannya.
Wallahu a’lam bisshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post