Muhasabah Lil Hukkam

Oleh : Muzayyanah 
(Revowriter - Indramayu) 

Sepertinya banyak umat Islam di Indonesia yang belum mengenal istilah ini. Juga tak paham kewajibannya. Saya pun dulu juga begitu. Padahal ini merupakan masalah yang ma'luumun min addiin. 

Interaksi rakyat dan penguasa yang banyak dikenal adalah taat kepada ulil amri. Bahkan kadang dipahami dengan salah. Taat kepada ulil amri berarti menerima apapun yang ditetapkan penguasa. Tanpa menimbangnya dengan timbangan Syara'. 

Muhasabah lil hukkam adalah sikap mengoreksi penguasa atas tindakan apapun yang salah, lalai, dan zhalim. Tak hanya koreksi terhadap tindakan yang berkaitan dengan jabatannya saja. Tapi juga koreksi atas sikap/tindakan penguasa sebagai pribadi. 

"Akan datang  para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kema'rufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa  saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Mengoreksi penguasa wajib bagi setiap muslim. Dalilnya adalah wajibnya amar ma'ruf nahi munkar bagi setiap muslim. Muhasabah lil hukkam adalah bagian dari amar ma'ruf nahi munkar. 

"Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan, serta menyeru pada kema'rufan dan mencegah kepada kemungkaran.” [Ali Imran:104]

Hadits Rasulullah menyatakan bahwa siapa saja yang melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Kalau tidak bisa, ia harus merubah dengan lisannya. Bila tak bisa, ia harus merubah dengan hatinya. Itu selemah-lemahnya iman. 

Bahkan ada hadits yang menjelaskan secara khusus tentang muhasabah lil hukkam.  “Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)  

Sungguh mengoreksi penguasa adalah tindakan yang sangat penting. Tindakan ini menjadi kontrol terhadap penguasa agar senantiasa terikat dengan hukum Syara'. 

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya). 

Kedudukan penguasa merupakan kedudukan yang sangat penting. Dia yang memiliki berbagai kewenangan dalam mengurus kemaslahatan manusia. Dia pun memiliki kewenangan menetapkan berbagai kebijakan dalam mengelola sumberdaya alam dan semua kekayaan negara. 

Keputusan-keputusannya akan menentukan keadaan rakyat yang dipimpinnya. Sejahtera atau malah sebaliknya. Tindakannya tidak hanya berimbas pada keadaan pribadinya. Tapi berimbas pada keadaan masyarakat. 

Islam sebagai agama yang sempurna telah menjelaskan berbagai persoalan secara komprehensif. Kedudukan penguasa yang sangat vital tak dibiarkan berjalan sekehendak hati manusia. Tapi diarahkan dan diatur agar mampu mewujudkan kebaikan bagi semesta alam. 

Islam memerintahkan kepada manusia untuk mentaati perintah penguasa, selama ia sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Diwajibkan pula melakukan koreksi kepada penguasa, apabila ia lalai, salah, atau berlaku zhalim. Bahkan Islam mengancam dengan keras bila kewajiban ini tak ditunaikan. 

"Demi Dzat yang jiwaku dalam genggamanNya, hendaknya kalian benar-benar memerintahkan pada kema'rufan, serta mencegah dari perbuatan mungkar, atau sampai Allah betul-betul akan memberikan siksaan untuk kalian dari sisiNya, yakni meskipun kalian berdoa kepadaNya dengan sungguh-sungguh, niscaya Dia tidak akan mengabulkan (doa) kalian.” [HR. Ahmad dan Tirmidziy]
Wallahu a'lam bish-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post