Menggagas Solusi atas Maraknya LGBT

Oleh : Nia Amalia, SP

Bulan Juli 2019 silam, kita dikejutkan dengan kriminalitas yang dilakukan oleh Purwanto, pemilik salon Purnanda di Tulungagung. Lelaki ini telah meniduri sedikitnya 50 orang laki laki sejak 2004. (https://jatimtimes.com). Kini masyarakat kembali dikejutkan  dengan tertangkapnya Mochammad Hasan di kota yang sama, Tulungagung.  Polda Jatim menetapkan Mochammad Hasan alias Mami Hasan (41) sebagai tersangka kasus pencabulan. Pria yang diketahui merupakan Ketua Ikatan Gay Tulungagung (IGATA) tersebut telah mengakui melakukan tindak cabul terhadap 11 korbannya yang masih berusia  anak-anak 

"Modusnya, saat ada anak-anak yang datang ke kedai kopi, biasanya pelaku membujuk dengan iming-iming sejumlah uang. Jumlahnya pada korban bervariasi, mulai dari Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu."
Demikian dirilis oleh Direskrimum Polda Jatim Kombes Pitra Ratulangi.

Hasan berhasil ditangkap di Desa Krajan Gondang, Kabupaten Tulungagung. Penangkapan berlangsung pada 15 Januari 2020 saat Hasan tengah bersembunyi di rumah salah satu rekannya. ( https://www.tulungagungtimes.com).

Demikian cepatnya virus LGBT di negeri ini menyebar dan membuat kerusakan di mana-mana. Bahkan, sasaran paling empuk saat ini adalah anak-anak dan remaja. Dicurigai, gerakan mereka terorganisir. Sebut saja, Cangkang Queer, salah satu organisasi pendukung LGBT di Medan, memiliki misi menyebarkan pemikiran disorientasi seksual mereka. Cangkang Queer juga memperkuat anggotanya yang baru masuk, ketika menghadapi 'diskriminasi' masyarakat. Bahkan aksi memberikan setangkai mawar merah pada pengendara motor pun kerap mereka lakukan, agar diterima oleh masyarakat.

Kelompok ini terus menyerukan kepada masyarakat, agar komunitas mereka diterima. Argumen para pelaku homoseksual ini bertebaran di media sosial. Salah satunya cuitan dari akun @HartoyoMdn, "Mau tanya lagi, coba beri aku SATU alasan rasional/ilmiah mengapa LGBT harus ditolak."

Opini pro dan kontra pun bersahutan di masyarakat, namun tidak ada tindakan tegas (sanksi) yang diberikan pemerintah dan aparat. Bahkan, kelompok nyleneh yang membahaya racun bagi masyarakat ini cenderung dilindungi. Seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo kepada BBC di Solo beberapa waktu lalu, "Tak ada diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia, dan jika ada yang terancam karena seksualitasnya, polisi harus bertindak melindungi mereka."

Pernyataan ini mengandung bahaya. Para pelaku LGBT diberi ruang untuk menyebarkan virus pergaulan yang tak normal itu. Mereka merasa benar, karena perilaku asusila mereka, tidak dianggap salah di mata hukum Indonesia atas nama hak asasi manusia.

 *Azab Dunia Sudah Pasti, Azab Akhirat Sudah Menanti* 

Begitulah kaum penyuka sesama jenis, dengan sombongnya mereka menentang hukum-hukum agama. Mereka berlindung dibawah hukum normatif, yang dipayungi atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Tentunya didukung oleh ide liberal yang lahir dari ideologi kapitalis. Selama negara tidak tegas memberikan sanksi, maka eksistensi mereka tetap nyata, bahkan kian berkembang dan cenderung meluas.

Pemerintah tentunya akan bingung, ketika  dihadapkan dengan virus HIV AIDS, yang notabene kaum LGBT sebagai penyumbang terbesarnya. Penyebaran virus ini ibaratnya menjadi momok yang mengancam masyarakat.

Dinas kesehatan Kabupaten Tulungagung telah merilis, jumlah pelaku seks menyimpang, lelaki suka lelaki (LSL) di kota marmer ini. Data per Januari hingga Juni 2019 terdapat sekitar 498 LSL yang tersebar di 7 kecamatan dari 19 kecamatan yang ada. 

“Usia pelajar orientasi seksual LSL sekitar 60 persen dari jumlah LSL yang terdata, yang terkecil berusia 11 tahun,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Tulungagung melalui Kasi P2M, Didik Eka, Selasa (23/7/19).

Anak yang mempunyai kecenderungan LSL itu ditemukan oleh Dinas Kesehatan saat dilakukan konseling tes HIV, hasilnya anak tersebut memang mempunyai orientasi LSL dan sudah pernah melakukan hubungan sesama jenis. (https://m.tulungagungtimes.com/). 

Berita ini, semakin menguatkan keyakinan, bahwa solusi LGBT haruslah sistemik. Patut diacungi jempol, untuk negara Brunei yang memberikan sanksi rajam untuk para pelaku gay. (https://international.sindonews.com/read/).

Banyak orang dari komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Brunei Darussalam sudah meninggalkan negara itu. Hal itu terjadi ketika  pada 2013 pemerintah mengumumkan akan mengadopsi Syariat Islam, termasuk merajam pelaku seks sesama jenis hingga mati.

Setelah sekitar enam tahun, hukum itu benar-benar diberlakukan hingga hari ini. Kerajaan Brunei berani mengabaikan kecaman global. Brunai berani meminta semua pihak menghormati hak negara itu dalam membuat dan menerapkan hukum sendiri.

 *Sanksi Bagi Pelaku LGBT* 

Dalam Islam, sistem sanksi atas pelaku LGBT dilaksanakan oleh negara. Penerapannya pun tidak sembarangan. Sebelum dijatuhkan sanksi, harus terbukti bahwa pelaku memang berbuat melanggar larangan tersebut. Pembuktian ini  bahkan mensyaratkan adanya saksi. Hukuman yang diberikan tegas, sehingga mencegah yang lain untuk melakukan hal serupa. Baik Alquran, Assunah dan Ijma Shahabat bersepakat, memberikan hukuman mati untuk pelaku LGBT, penjelasannya sebagai berikut :

1. Sangsi LGBT Menurut Alquran
Untuk pelaku liwath ada peringatan dalam Alquran dan Hadits. Alquran menyatakan liwath sebagai perbuatan keji. (lihat QS. Al-A’raf ayat 80-81). Alquran juga menjelaskan sanksi Allah bagi kaum Luth, yakni bahwa Allah Swt memberi sanksi kepada mereka dengan khasf (dilempar batu hingga mati). (lihat QS Hûd [11]: 82). (https://suaraislam.id/)

2. Sangsi LGBT Menurut Assunnah
Telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dari ‘Amru bin ‘Amru dan Nabi Saw bahwa beliau bersabda, “Terlaknatlah orang yang mengerjakan perbuatannya kaum Nabi Luth” Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbâs ra berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ”Barangsiapa yang kalian dapati sedangkan melakukan perbuatannya kaum Luth, maka bunuhlah keduanya.” Diriwayatkan oleh Imam yang lima kecuali Nasa’iy.

Dapatlah disimpulkan, hukum liwâth (LGBT) adalah dengan dibunuh. Aktifitas membunuh ini dengan cara rajam, gantung, ditembak dengan senapan, atau dengan wasilah yang lain. Karena hukum liwâth adalah hukuman mati, uslub atau wasilah yang digunakan untuk membunuh boleh berbeda-beda, karena yang penting adalah menjatuhkan hukuman mati. Seandainya pelaku liwâth adalah anak kecil, orang gila, atau dipaksa dengan pemaksaan yang sangat, maka ia tidak dijatuhi had liwâth.(https://suaraislam.id/hukuman-bagi-pelaku-homoseksual).

Dengan demikian,  permasalahan LGBT tidaklah bisa diselesaikan kecuali dengan penerapan sanksi yang tegas oleh negara. Adalah saat ini Mendesak adanya kebutuhàn terhadàp sistem sanksi ini  agar virus LGBT kelar untuk dihentikan penyebarannya. Sistem sanksi paripurna itu ada di dalam Islam. Tentu  aturan islam ini tegak hanya bila sistem islam ditegakkan. Sistem yang dimaksud adalah sistem  Khilafah Islamiyah. Bukan yang làin.
 _Wallohua'lam bisshowab_

Post a Comment

Previous Post Next Post