LGBTQ+, Bukan Sekedar Masalah Keluarga

Oleh : Riannisa Riu

Beberapa waktu yang lalu publik Indonesia dihebohkan dengan sebuah kasus menggemparkan yang terjadi di Manchester, Inggris. Bagaimana tidak, kasus ini melibatkan seorang mahasiswa asal Indonesia, yakni Reynhard Sinaga, yang rupanya adalah seorang pelaku pemerkosaan pria terbanyak di Inggris. Menurut cnnindonesia.com, korbannya mencapai jumlah 159 orang. Sementara korban yang tidak dilaporkan menurut penyidik diperkirakan mencapai kurang lebih 195 orang.

Berita pemerkosaan di zaman sekarang ini, sudah sangat jelas hal demikian bukanlah sesuatu yang baik, namun keberadaannya telah menjadi kasus yang umum menghiasi laman berita. Kasus pemerkosaan pria jelas bukanlah berita umum biasa-biasa, namun ini tentu diluar kenormalan, mengingat jumlah korban yang ditimbulkan begitu fantastis seperti halnya kasus ini.

Keberadaan kasus ini membuktikan bahwa LGBTQ+ adalah suatu masalah yang lahir akibat dari sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan, yang berkonsekuensi pemisahan agama dari negara, sebut saja sekulerisme biang keladinya. Paham inilah  yang kemudian melahirkan sistem kehidupan yang rusak yaitu demokrasi sekuler. Seperti yang kita ketahui, demokrasi melalui jargon-jargonnya selalu mendewakan yang namanya kebebasan, kebebasan yang  melahirkan kerusakan disemua sendi kehidupan. Kebebasan itu berhasil menjauhkan nilai iman dan takwa dari manusia. Padahal nilai keimanan dan ketakwaan adalah palang pertama pencegah penyimpangan pada seseorang, sehingga tidak akan terjadi yang namanya LGBTQ+. Kenyataan bahwa sang pelaku adalah seorang mahasiswa Indonesia memperjelas fakta bahwa virus LGBTQ+ mampu menyebar ke mana saja yang negaranya  mengusung kebebasan dalam sendi kehidupan, kebebasan kepribadian telah menghantarkan masyarakat termasuk negara Indonesia yang satu dengan budaya ketimurannya dan juga merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini menjadikan orang-orangnya hidup sebebas-bebasnya dengan tidak mengindahkan lagi aturan-aturan agamanya.

Perlu diketahui juga, LGBTQ+ bukanlah merupakan suatu hak asasi manusia, sehingga kita pandang adalah masalah sepele atau sebuah takdir dimana manusia tercipta seperti itu sejak ia dilahirkan ke dunia ini, bukan itu masalahnya. Akan tetapi yang jadi masalah LGBTQ+ adalah sebuah penyakit, virus yang bisa ditularkan kepada manusia lain, yang mampu menular dengan mudah dalam kurun waktu tertentu setelah cukup lama berinteraksi dengan orang yang sudah terjangkit virus ini.

Penularan LGBTQ+ bisa ditularkan oleh pria maupun wanita. Dengan memanfaatkan informasi tertentu, penularan sangat mungkin terjadi. Contoh media penularan LGBTQ+ yang paling populer di kalangan remaja adalah boyband Korea dan anime/manga BL (Boys Love) Jepang.

Tidak sedikit boyband Korea yang memberikan fanservice beradegan romantis sesama jenis hanya untuk menyenangkan para fansnya. Fans (sebagian besar wanita) menyukai adegan romantis tersebut karena mereka tidak perlu melihat idolanya bersama wanita lain, sehingga mereka tidak perlu merasa cemburu. Anehnya, tidak ada rasa cemburu saat idola mereka didekati oleh pria.

Dalam manga/anime BL Jepang, pendekatannya dilakukan lebih halus. Pada umumnya, kisah yang dibuat adalah bagaimana awalnya salah satu pria akan merasakan perasaan cinta, dan ia akan bertanya-tanya mengapa dirinya tidak normal, dan di bagian ini, dimasukkanlah bumbu-bumbu humor dan drama, sehingga pembaca akan terhanyut dengan kisah yang manis dan ikut sedih saat si tokoh utama harus menahan perasaannya karena takut dianggap tidak normal. Di saat pembaca mulai terhanyut, diberikanlah klimaks cerita bahwa si orang yang dicintai tokoh utama (yang juga sama-sama pria) ternyata mencintai tokoh utama! Dan akhirnya mereka memaksakan diri agar bisa bersama, meski harus menentang dunia.

Ini adalah tipikal kisah romantis biasa, namun ditambahkan bumbu-bumbu yang pas, sehingga pembaca akan terhanyut. Dan biasanya, dalam manga/anime, salah satu tokoh sengaja digambarkan berwajah manis dan mirip wanita, sementara tokoh satunya akan digambarkan maskulin dan kekar. Dengan penggambaran semacam ini, maka cerita akan sangat mudah diterima, dan penularan virus pun akhirnya terjadi.

Penularan virus LGBTQ+ dengan cara ini biasanya dilakukan oleh wanita, yang sering disebut sebagai “para fujoshi” alias penyuka cerita BL. Terlalu sering membaca/menonton kisah BL akan mampu membuat para fujoshi merekayasa kisah baru dalam benak mereka, menulis novel bertema LGBTQ+ dan mempostingnya secara online untuk dibaca oleh semua kalangan secara bebas, dan terkadang tidak segan menjodohkan laki-laki mana saja di sekitar mereka dengan lelaki lainnya. Alasan yang mereka kemukakan biasanya adalah “Aku ingin melihat adegan BL live!”.

Tanpa disadari, hal ini membuat area pergaulan mereka juga menjadi terbatas dengan para pecandu BL lainnya dan juga dengan para pria yang sudah tertular LGBTQ+. Mereka juga senang sekali menyanjung hak asasi manusia dan mengagung-agungkan pernikahan sesama jenis yang telah berhasil dilegalkan di Amerika dan beberapa negara sekuler lainnya.

Kemunculan para pembawa virus LGBTQ+ ini secara otomatis merupakan salah satu tambang emas bagi para konglomerasi media liberal, dengan ide HAM dan nilai kebebasan yang diusungnya tentu dengan senang hati akan semakin mendukung dan merangkul hak-hak kaum LGBTQ+ dengan mengatakan bahwa kelompok mana pun memiliki hak untuk hidup dan wajib mendapatkan suaka (perlindungan).

Setelah munculnya berita menghebohkan mengenai aksi predator seks Reynhard Sinaga, pihak wali kota Depok memerintahkan untuk merazia para LGBTQ+ di daerah mereka. Berbagai peraturan daerah (perda) pun dibuat guna mencegah wabah LGBTQ+. Namun, hasilnya tak memberi efek positif untuk mengurangi maraknya kasus LGBTQ+. Dalam daftar Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), saat ini terdapat 22 perda di berbagai daerah yang secara eksplisit mencantumkan istilah homoseksual dan waria. Sayangnya, tak ada satu pun peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang ‘mengharamkan’ LGBTQ+, yang semakin membuktikan betapa tidak seriusnya pemerintah dalam menangani kasus LGBTQ+.

Kasus ini juga memicu munculnya imbauan dari Aliansi Cinta Keluarga (Aila) untuk memperkuat ketahanan keluarga, agar tidak muncul lagi penderita LGBTQ+ yang bisa menjadi predator seks seperti Reynhard. Padahal, LGBTQ+ tidak melulu disebabkan oleh kondisi keluarga yang buruk atau karena tidak adanya ketahanan keluarga akan tetapi LGBTQ+ adalah masalah yang lahir secara  sistemik. Seperti yang telah disinggung diatas, masalah ini muncul dari kerusakan sistem. Justru semakin demokratis suatu bangsa, maka semakin subur LGBTQ+ akan berkembang. Karena sebesar apa pun upaya pencegahan kalau akar masalah nya tidak dicabut maka mustahil bisa diatasi.

Dalam Islam, penyakit LGBTQ+ ini disebut juga dengan fahisyah/liwath/ perbuatan keji, atau kemungkaran yang begitu besar. Perbuatan kaum Nabi Luth ini dilaknat langsung oleh Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya. Di zaman itu, Allah Azza wa Jalla mengirimkan batu-batu untuk menimpa kota Sodom. Karena itulah, hukuman bagi pelaku LGBTQ+ seharusnya bukanlah hanya dihukum seumur hidup, namun dijatuhkan dari tempat yang tinggi sampai mati. Hukuman qishash yang diterapkan dalam islam berfungsi bukan hanya untuk menghentikan penyebaran virus LGBTQ+ dengan menghukum si pelaku, namun juga berperan sebagai penebus dosa dan penyuci jiwa bagi si pelaku itu sendiri sekaligus pencegah agar tidak ada siapa pun yang hendak berbuat serupa dengan LGBTQ+.

Dengan demikian, tidak cukup hanya ketahanan keluarga saja yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah LGBTQ+ ini. Solusi satu-satunya yang paling berpengaruh adalah penerapan syariat islam secara kaffah. Kenapa Islam? Karena dengan diterapkannya syariat islam, rasa ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu akan senantiasa dipupuk, maka tidak akan ada lagi yang namanya pergaulan bebas, sebab aqidahnya akan dijadikan sebagai pengontrol tingkah lakunya sehingga tidak akan pernah bertentangan dengan akidahnya. Bukan hanya itu, dengan penerapan syariat Islam akan ada sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi sehingga tidak ada lagi yang namanya sikap individualistis diantara masyarakat, sehingga tidak akan ada penyebaran pornoaksi dan pornografi melalui berbagai media, tidak akan ada penyebaran kisah cinta sesama jenis melalui media sosial karena masyarakat Islam terbentuk oleh individu-individu yang dipengaruhi perasaan, pemikiran dan peraturan yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid.

Juga adanya negara sebagai pelaksanaan hukum syara yang akan dengan tegas menghukum pelaku penyebaran virus LGBTQ+, sehingga penyebaran virus ini akan terputus. Penerapan syariat islam dalam negara khilafah jelas adalah satu-satunya penyelesaian bagi masalah yang sistemis seperti LGBTQ+ ini. Wallahu’alam bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post