Lagi, HAM Bungkam Soal Ini!



Oleh : Widhy Lutfiah Marha 
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

Dunia geger atas pemberitaan Reynhard Sinaga,  pria asal Indonesia,  pascavonis hukuman penjara seumur hidup yang dijatuhkan pengadilan Inggris pada dirinya. 

Reynhard Sinaga (36), bersalah atas 159 kasus perkosaan dan serangan seksuasl terhadap 48 pria muda selama dua setengah tahun, berdasarkan keterangan polisi Greater Manchehester. Kasus ini oleh lembaga kejaksaan Inggris disebut-sebut sebagai “the most prolific rapisi” atau kasus paling besar sepanjang sejarah hukum Inggris. _(Tirto.id, 7/1/2020)_

Pemberitaannya viral sehingga media mainstream kuwalahan dengan serangan opini balik yang tidak hanya menyasar kekejaman Reynhard Sinaga, namun juga menyasar jantung peradaban Barat yang rusak. Di Inggris, media fokus pada penanganan teknis, sedangkan media Indonesia fokus _playing victim_ dengan mempublikasikan identitas kerabat pelaku.

Tak perlu diragukan lagi, bahwa kasus Reynhard Sinaga adalah buah subur peradaban rusak yang dipupuk sendiri. _Sexuality and Everyday Transnationalism among South Asian Gay and Bisexual Men in Manchester,_ meski ditolak, keberanian Reynhard mengajukan penelitian ini menggambarkan suasana lingkungan Barat yang sangat mendukung kejahatannya.

Gambaran lebih luas mengenai hal ini dapat dilihat dari rekaman data _endrapeoncampuss.org._ Dalam kanal data _‘Male’_, _The Campus Sexual Assault Study_ menemukan bahwa 1 dari 16 mahasiswa telah ‘diserang’ di kampus. Penelitian terbaru menemukan 19% hingga 31% mahasiswa memiliki pengalaman kontak seksual yang tidak diinginkan oleh rekan sebaya.

_The National Crime Victimization Survey_ menemukan bahwa hanya 38% insiden pemerkosaan dan serangan seksual yang bisa dilaporkan. Survey lain menyebutkan sekitar 1,267 juta pria telah dilaporkan menjadi korban kekerasan seksual. _The National Intimate Partner and Sexual Violence Survey_ menemukan data 40% laki-laki gay dan 47% laki-laki biseksual punya pengalaman kekerasan seksual di USA.

Diperkirakan antara 16% hingga 30% laki-laki dengan disabilitas telah mengalami kekerasan seksual. Bahkan sebelum usia 18 tahun, dua kali lebih banyak dibanding laki-laki tanpa disabilitas. Terakhir, diperkirakan 40% siswa tingkat SMP dan SMA dilaporkan mengalami kekerasan seksual, 28% diantaranya oleh teman sebaya.

Bagi yang tidak jeli, akan mudah digiring ke opini bawah sadar kesalahan Reynhard Sinaga hanya kasuistik, jangan berlebihan. Tidak ada yang salah dengan peradaban Barat, lihatlah kami (Barat) memberi keadilan yang lebih baik. _The Feed FBS_ mengeluarkan salah satu analisa ciri media Barat dalam menggambarkan sebuah peristiwa, _“Easy for us to say Muslim came from inferior culture, violent religion, broken society that they full of hate. But we can’t quite say that about the white (western) ones. Because to do so would be to say we’re just the same…we give the white (western) the privilege of humanity” – Australia, 2019._

Mari mundur pada bulan-bulan sebelumnya, jelas terekam dalam ingatan betapa Barat habis-habisan menyerang Brunei Darussalam karena menerapkan hukuman mati bagi kaum pelangi. Michelle Bachelet, Komisioner Hak Asasi Manusia PBB memberikan penyataan Senin (01/04), _"Saya menyerukan kepada pemerintah untuk membatalkan penerapan hukum pidana baru yang kejam itu, yang akan menjadi langkah mundur serius bagi perlindungan HAM rakyat Brunei jika tetap diberlakukan."_

Lewat cuitan media sosial twitter Mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden  menulis, _"Merajam orang sampai mati karena tindakan homoseksual atau perzinahan adalah mengerikan dan amoral. Tidak ada alasan—baik agama atau tradisi—atas kebencian dan tak berperikemanusiaan seperti ini."_

Disusul Senator Ted Cruz selaku wakil Partai Republik dari Texas, _"Ini salah. Ini barbar. Amerika harus mengecam hukum amoral dan tak berperikemanusiaan ini dan semua orang harus bersatu melawannya."_

Tak ketinggalan Menteri Pembangunan Internasional Inggris, Penny Mordaunt, merilis _"Tiada seorangpun harus menghadapi hukuman mati karena siapa yang mereka cintai. Keputusan Brunei barbar."_

Namun sayang, tokoh-tokoh ini bungkam seribu bahasa manakala korban-korban berjatuhan menuntut keadilan dengan dalih _human right_. Bahkan tahun 2011,  terbitnya tulisan _“Pedophiles want Same Rights as Homosexuals”_ yang ditulis Jack Minor, editor senior dari _greeleygazette.com_ memberi gambaran yang jelas atas peradaban Barat.

*Saatnya Ofensif, Tak Sekadar Defensif*

Tak cukup membuat Barat kuwalahan, kaum muslim harus mengupayakan maksimal untuk menumpas kerusakan dari akarnya. Berbicara mengenai LGBT, kemunculan dan pembiarannya tak lepas dari konstruksi masyarakat yang dibentuk peradaban rusak kapitalis Barat. Materi adalah tujuan. Kebebasan adalah kebutuhan. Keegoisan adalah keniscayaan. Konsekuensinya _Homo homini lupus_, manusia menjadi srigala bagi manusia yang lain.

Reynhard bukanlah yang pertama. Hanya ketiban sial terekspos yang terbesar. Dan pesimis rasanya akan menjadi yang terakhir. Perlu dipahami dengan jelas, kusutnya solusi untuk LGBT dengan segala kerusakan yang dibawa berawal dari standar nilai yang digunakan, yaitu liberalisme (kebebasan berperilaku). Alhasil, solusi yang teknis hadir hanya semacam ‘pemadam kebakaran’ tanpa mampu memusnahkan sumber api. Arogansi pelaku dan pengusung ide ini sama sekali tidak membantu meredakan kerusakan yang dibawa. Di Indonesia sendiri contohnya, RUU PKS yang masih panas bergulir, justru lebih berpotensi mempidanakan pencegah LGBT daripada pelaku LGBT itu sendiri. Untuk kasus Reynhard, lewat KBRI, Indonesia memutuskan untuk di sisi Reynhard. Memberikan bantuan perlindungan hukum berupa akses pengacara dan pemastian hal dalam pengadilan.

Sampai di sini jelas,  hanya sekedar solusi defensif, individual dan tidak terstruktur hingga level politis sangat tidak relevan untuk menghadapi serangan LGBT yang masif,  terstruktur dan politis.  Mengharapkan pemerintahan bercorak demokrasi _bagai pungguk merindukan bulan_. Jelas, harapan satu-satunya, terlebih bagi kaum muslimin adalah melawan yang menyerang balik kerusakan dengan pukulan politis.

Dalam pandangan Islam, homoseksual dan lesbian (termasuk di dalamnya biseksual dan transgender) adalah sebuah kejahatan besar. Maka, jika tradisi kaum homo dan lesbian yang merusak kehidupan ini dibiarkan, maka selamanya mereka akan tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Malah tak mustahil pula bila mereka tambah congkak dan sombong.

Apa hukuman yang akan dikenakan kepada kaum homo dan lesbian ini? Imam Syafi’i menetapkan pelaku dan orang-orang yang ‘dikumpuli’ (yang menyodomi dan disodomi) wajib dihukum mati, sebagaimana keterangan dalam hadis, _“Barangsiapa yang mendapatkan orang-orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (praktik homoseksual dan lesbian), maka ia harus menghukum mati; baik yang melakukannya maupun yang dikumpulinya.”_ *(HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Baihaqi). (dalam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz Al Malibaary, Irsyaadu Al ‘ibaadi ilaa Sabili Al Risyaad. Al Ma’aarif, Bandung, hlm. 110)*

Adapun teknis _(uslub)_ yang digunakan dalam eksekusinya tidak ditentukan oleh syara’. Para sahabat pun berbeda pendapat tentang masalah ini. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu memilih merajam dan membakar pelaku homoseks, sedang Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhuma berpendapat pelaku dibenturkan ke dinding sampai mati, dan menurut Ibnu Abbas dilempar dari gedung yang paling tinggi dalam keadaan terjungkir lalu diikuti (dihujani) dengan batu.

Kejam? Boleh jadi menurut nafsu sebagai manusia. Akan tetapi lebih kejam mana dibandingkan membiarkan korban-korban homoseks terus berjatuhan. Apalagi akibat ulah kaum Sodom ini penyakit mematikan, AIDS, kian merajalela. Lagipula sebagai seorang muslim yang beriman, kita wajib mentaati segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Maka atas kejadian ini, menjadi penting dan mendesak semua elemen ummat harus diajarkan pemahaman Islam. Ulama, cendekiawan, aktivis mengerahkan seluruh energi, difokuskan pada peruntuhan akar masalah LGBT, yakni Barat dan ideologi kapitalisnya. Pada saat yang sama memupuk kekuatan politis Islam yang setara untuk menandingi Kapitalis Barat, mulai dari level individu, masyarakat, dan negara. Bukan sembarang negara, namun negara yang mampu berdiri kokoh menanggalkan segala bentuk standar dan nilai Barat. Sebuah negara yang berani mandiri, kokoh melenggangkan Islam dalam panggung politik dunia. _Wallahu a’lam bishshawwab._

Post a Comment

Previous Post Next Post