Korupsi Sistemik Butuh Solusi Cantik




Oleh : Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Korupsi dan suap semakin menggurita dan merajalela, menandakan sudah membudaya. Pelakunya ialah para penguasa, elit politik dan pengusaha (pemilik modal). Dilakukan secara berjamaah dan sistemik.Tidak tanggung-tanggung, nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Menurut KPK Indonesia menyandang predikat korupsi peringkat ketiga se-ASEAN. Padahal, Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Ironis bukan? (national.tempo.co.reaf 11/12/2017)

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono membuat pernyataan bahwa aliran dana PT Asuransi Jiwasraya (Persero)  telah membuat negara rugi hingga belasan triliun rupiah. Selain Tipikor, Kejagung berpeluang jerat tersangka Jiwasraya dengan pasal pencucian uang.

Arief menengarai dana tersebut mengalir untuk kampanye petahana Joko Widodo pada Pilpres 2019. Namun pernyataan itu buru-buru ditampik politisi PDI Perjuangan, Dedi Sitorus. 

Menurutnya, Arief seperti sedang melempar tuduhan yang menyesatkan. Sebab posisi partai Gerindra sudah berada di dalam pemerintahan, jadi tidak pantas. Ujar Dedi di Bilangan Gondangdia, Jakarta.

Sebelumnya, Arief menyindir bekas direksi PT Jiwasraya yang pernah menjabat di Kantor Staf Presiden. Yakni eks Direktur Keuangan Jiwasraya, Harry Prasetyo.

Dimana Harry pernah menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP tersebut. Saat ini, dia terseret dalam kasus gagal bayar yang melilit Jiwasraya.

Menurut Arief, perlu diselidiki kaitan antara masuknya Harry sebagai pejabat di KSP dengan gagal bayar Jiwasraya.
"Jangan sampai ada dana Jiwasraya yang dibobol mantan Direksi Jiwasraya yang kemudian menjadi staf di KSP disalurkan ke dana pemenangan kampanye pilpres." katanya.(Moeslimchoice.com. 29/12/2019)

Ujang Komarudin mengatakan, aksi KPK melakukan OTT kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan terus jadi perbincangan. Kasus ini diduga menyeret petinggi PDI Perjuangan (PDIP), partai penguasa saat ini yang dipimpin Megawati bersama Hasto Kristiyanto, atas kasus Harun Masiku.

Kasus Harun Masiku mencuat setelah Komisioner KPK Wahyu Setiawan terkena OTT KPK. Diduga dana sogokan hingga Rp 900 juta, tapi yang diterima hanya 600 juta. Dengan maksud untuk memuluskan jalan caleg PDIP Harun Masiku masuk ke DPR melalui jalur pergantian antar waktu (PAW).

Harun Masiku ingin mengganti kursi Riezky Aprilia yang menggantikan Nazarudin Kiemas karena meninggal dunia pada Maret 2019. Almarhum Nazaruddin Kiemas adalah adik almarhum Taufiq Kiemas, ipar Megawati Soekarnoputri atau paman Puan Maharani. Dilansir oleh Moeslimcom.Akademi Universitas Al Azhar, Jakarta, (16/1/2020)

Mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelia tertangkap tangan terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji pada penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024. Dilansir Republika.co.id (10/1/2020)

Dengan terbongkarnya skandal korupsi Asuransi Jiwasraya dan
kasus dugaan suap yang menimpa komisioner komisi permilihan umum  (KPU) Wahyu Setiawan dan lainnya, membuktikan adanya korupsi di lingkaran kekuasaan. Hal tersebut merupakan penyakit bawaan sekularisme, yaitu sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan. Wajar jika menjadi biang kerok sumber problematika yang merusak tatanan kehidupan.

Melalui pesta demokrasi (Pemilu) itulah, penguasa dipilih dengan suara terbanyak. Terjadi perebutan dan persaingan kekuasaan yang tidak sehat, saling menjegal dan memfitnah. Membutuhkan biaya politik yang tinggi, sogok atau suap pun bukan rahasia lagi. Jadi wajar jika terpilih dan menduduki sebuah jabatan,  penguasa baik Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, berusaha untuk mengembalikan modal dengan melakukan korupsi, sogok atau suap. 

Berbahaya lagi jika menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya. Dengan dalih bekerjasama melalui penanaman modal atau investasi dengan asing dan aseng. Sejatinya justru menjual aset-aset berharga milik negara.

Dengan kasus suap yang menimpa komisioner komisi pemilihan umum (KPU) Wahyu Setiawan, menunjukkan perilaku koruptif yang merusak citra demokrasi itu sendiri. Apalagi hasil Pilpres tahun 2019 kemarin, terjadi sengketa sampai di persidangan. Hal ini akan menimbulkan tanda tanya dan ketidakpercayaan masyarakat.

Sekandal korupsi Jiwasraya, Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kementerian PUPR, kasus di Garuda dan suap di KPU yang melibatkan penguasa, menambah daftar panjang mega korupsi era sebelumnya yaitu korupsi BLBI, skandal Century, Hambalang E-KTP dan lainnya yang belum tertuntaskan hingga sekarang. Semua itu membuktikan KPK yang didirikan pada tahun 2002 dan sejak saat itu pula berjalan upaya pemberantasan korupsi (KKN), nyatanya telah gagal. Faktanya kasus korupsi dari hari ke hari bukannya berkurang tetapi malah bertambah menggurita. 

Dalam sistem demokrasi, bisa dibilang tidak ada pengawasan (mandul). Nyatanya justru terjadi kongkalikong untuk memperkaya diri, partai atau golongannya. Sehingga korupsi sulit diberantas. 

Korupsi di lingkaran kekuasaan sudah terjadi lama sekali yaitu sejak ORBA. Mustahil rasanya bisa diberantas dengan KPK, yang ada justru ditelikung oleh pusat-pusat kekuasaan yang mendapatkan keuntungan dari keadaan koruptif. Disamping itu kerja KPK lebih berorientasi pada penindakan dan sanksi.

Adanya kasus penyiraman air raksa ke muka Novel Bawesdan, upaya kriminalisasi, dan upaya pengkerdilan KPK, dan intervensi merupakan sebuah bukti. Ditambah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gagal menggeledah ruang seketaris jendral (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristianto di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta. Lantaran penyidik diduga dihalangi petugas markas partai banteng tersebut. Kantor berita RMOL.id (12/01/2020)

Dengan rentetan kejadian di atas, wajar jika masyarakat ragu dan tidak percaya dengan kemampuan KPK. Korupsi sistemik hanya bisa diselesaikan dengan sistem cantik yang diridai Allah yaitu Islam kaffah.

Hanya Islam Kaffah Solusinya

Islam sebuah agama sekaligus ideologi yang mengatur semua sendi kehidupan dengan aturan yang sempurna. 

Aturan yang bersumber dari Zat yang Maha Sempurna yaitu Allah Swt. Tertuang dalam syariat-Nya yang mengatur hubungan manusia dengan Allah meliputi akidah dan ibadah; Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi, makanan, minuman, pakaian dan akhlak; Aturan yang mengatur hubungan sesama manusia meliputi, bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, peradilan, pemerintahan, dan politik dalam/luar negeri.

Dengan diterapkannya syariat secara kaffah (sempurna), akan muncul spirit ruhiah yang kuat. Masing-masing individu terbentuk akidah yang kokoh. Merasa diawasi Allah dan meyakini adanya hisab di hari akhir. Dengan demikian akan ikhlas mengikatkan dirinya kepada syariat. Selain itu akan menggairahkan budaya amar ma'ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian bisa mencegah kejahatan dan kemaksiatan.

Islam mewajibkan penguasa untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dan memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Rasulullah saw. bersabda, "Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan ambillah pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah." (HR Abu Dawud) Hal tersebut merupakan cara efektif untuk mencegah korupsi karena kebutuhannya telah terpenuhi.

Islam melarang pejabat negara atau pegawai menerima hadiah. 
Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda : "Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul)." (HR.Abu Daud)

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: "Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap" (HR. Abu Daud).

Hukuman korupsi tidak ditetapkan berdasarkan nash, melainkan diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).

Rasulullah saw. bersabda, "Perampas, koruptor dan pengkhianat tidak dikenakan potong tangan". (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban)

Hukuman koruptor berbentuk ta'zir, bisa berupa hukuman tasyhr (pewartaan atas diri koruptor, diarak, disiarkan lewat media massa), dijilid (dicambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun, serta penyitaan harta hasil korupsi.

Sanksi hukum dalam Islam tegas, adil dan menimbulkan efek jera, serta tidak tebang pilih. Hal ini hanya ada dalam sistem Islam, bahwa Syariat Islam bersifat jawabir dan jawazir. 

Jawabir (penebus siksa akhirat) artinya di akhirat kelak tidak dimintai pertanggungjawaban karena dosa-dosanya sudah ditebus dengan dilaksanakannya hukuman. Adapun jawazir (pencegah terjadinya tindak kriminal yang baru terulang kembali), karena hukumannya tegas dan pelaksanaan hukuman disaksikan kaum muslimin maka akan menimbulkan efek jera bagi yang lainnya.

Hanya Islam kaffah yang bisa memberikan solusi tuntas terhadap semua problematika yang sistemik termasuk di dalamnya masalah korupsi. Islam kaffah bisa direalisasikan jika ada institusi yang menerapkannya yaitu khilafah. Saatnya kita memperjuangkan tegaknya khilafah, yang merupakan janji Allah dan bisyarah Rasulullah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post